BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia
merupakan negara dengan kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Total luas
laut Indonesia seluas 3,544 juta km2 (perikanan dan kelautan, dalam angka
2010). Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang kedua didunia
setelah Kanada dengan panjang 104 ribu km (Bakokorsunal, 2006). Selain garis
pantai yang panjang, Indonesia memiliki jumlah pulau terbanyak yaitu 17.504
pulau yang tersebar dari sabang sampai merauke (kemendagri, 2008). Sayangnya
potensi sumber daya alam di lautan yang begitu besar ini belum mendapat
perhatian yang proporsional dan belum dimanfaatkan secara optimal terutama sebagai salah satu sumber pangan.
Pengabaian
terhadap sektor kelautan dan perikanan memprekondisikan bahwa meskipun
masyarakat pantai memiliki potensi kekayaan alam yang cukup besar baik berbagai
jenis flora dan fauna laut, serta potensi keindahan alam yang merupakan sumber
ekonomi dan modal dasar dalam menyejahterakan masyarakat belum dapat diharapkan
secara penuh. Potensi kekayaan alam yang berlimpah belum dapat diandalkan
sebagai pemicu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, telah
terjadi paradoks, wilayah pantai yang kaya dengan sumber daya alam tetapi belum
dapat menyejahterakan masyarakat pesisir terutama nelayan kecil yang selalu
miskin dan bahkan seringkali dijadikan sebagai simbol kemiskinan (Semedi,
2003:301; Ramli, 2008:2).
1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk membuka wawasan pembaca mengenai
sejarah pangan hasil laut beserta potensinya.
1.3 Rumusan masalah
1.
Membahas Bagaimana sejarah pangan
laut
2.
Apa saja perusakan yang dilakukan terhadap laut
3.
Bagaimana upaya pemerintah yang dilakukan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah pangan laut
Pemanfaatan
sumber daya laut sebagai bahan pangan barang
kali
sudah dilakukan oleh berbagai komunitas historis yang mendiami pulau-pulau di
Nusantara sejak ribuan tahun yang lalu. Hal itu mudah dipahami mengingat bahwa
sebagai penghuni kawasan laut tentunya mereka sangat akrab dengan dunia laut.
Peninggalan arkeologis dari Zaman Batu Pertengahan (messolithikum) yang
disebut sebagai kjokkenmoddinger atau secara harafiah diterjemahkan
sebagai sampah dapur, yaitu sampah-sampah dapur yang sudah memfosil yang
berasal dari kulit kerang dan tulang berbagai binatang laut yang merupakan
sisa-sisa makanan jaman batu, menunjukkan betapa nenek moyang bangsa Indonesia
dahulu sudah memanfaatkan sumber daya laut sebagai bahan makanan mereka.
Keakraban nenek moyang bangsa Indonesia dengan dunia laut juga
dapat dilihat dari kenyataan bahwa sejak jaman prasejarah, penduduk kepulauan
Nusantara merupakan pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Bahkan
menurut penelitian antropologis dan etno-linguistik, persebaran nenek moyang
bangsa Indonesia ke arah barat diyakini telah mencapai pantai timur Afrika dan
pulau Madagaskar dengan menggunakan perahu-perahu bercadik.
Kemampuan
untuk menguasai dunia laut ini akan menjadi kekuatan besar ketika sebuah
komunitas tersebut mampu mengembangkan teknologi yang maju. Hal ini dapat
dilihat dari kemunculan kerajaan Sriwijaya sebagai kekuatan maritim utama di
Asia Tenggara dengan menguasai teknologi pelayaran dan perkapalan yang
digunakan untuk berdagang dan mengontrol keamanan perairan sekitar Selat
Malaka. Sementara itu, komunitas di pedalaman juga mengalami perkembangan yang
pesat setelah memakan waktu yang lebih lama untuk membangun sistem sosial,
budaya, ekonomi, dan politik yang solid dengan dasar feodalisme. Dengan
organisasi sosial yang kuat inilah mereka mampu membangun surplus pangan yang
dapat digunakan untuk membangun monumen-monumen keagamaan yang besar.
Hal
yang sangat menarik adalah jika terjadi sinergitas antara kekuatan daratan
dengan kekuatan laut. Barangkali hal itu dapat dilihat dari potret kerajaan
Majapahit. Kerajaan ini tidak semata-mata mengembangkan satu sektor ekonomi
saja tetapi mengembangkan kedua sektor itu secara simultan dan saling
memperkuat. Apa yang menjadi kunci suksesnya adalah kemampuan untuk memproduksi
barang atau komoditi baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
ekspor dan kemampuan armada negara untuk mengontrol dan mengamankan wilayah
laut serta armada dagang yang mampu melayani arus perdagangan baik dalam skala
lokal maupun internasional.
Angkatan
laut Majapahit mampu untuk mengontrol wilayah dan lalu lintas laut di sekitar
Selat Malaka yang merupakan pintu gerbang perdagangan internasional di kawasan
ini. Pada saat yang sama, kerajaan itu mampu memproduksi dan menjual komoditi
perdagangan yang dibutuhkan oleh pasar. Di satu sisi para pedagang dan pelaut
dapat memperoleh keuntungan, sedangkan pemerintah dapat menarik pajak dan
berbagai pendapatan yang terkait dengan kegiatan perdagangan dan para pemilik
kapal memiliki peluang untuk mengembangkan investasi mereka menjadi usaha yang
lebih besar.
2.1.1 Masalah tekonologi, ekonomi dan Pemanfaatan sumber daya laut
2.1.1.1 masalah teknologi dan kemajuannya
Pemanfaatan sumber daya pangan yang ada di laut masih menjadi
masalah yang harus di hadapi oleh bangsa indonesia, yaitu terbatasnya masyarakat
indonesia dalam mengkonsumsi hasil laut.
Hal ini barangkali juga terkait dengan kemajuan teknologi, khususnya
teknologi penangkapan dan pengawetan. Oleh karena itu, meskipun pemanfaatan
produk laut sebagai bahan pangan sudah dikenal sejak zaman batu, namun selama
ribuan tahun belum berkembang sebagai komoditas dagang yang penting.
Sejalan dengan perkembangan
tingkat kemajuan masyarakat Indonesia, berbagai jenis ikan dan kerang tidak
hanya ditangkap dan langsung dimakan, namun juga ada kemajuan untuk mengemas
produk tangkap kelautan itu sebagai bahan pangan yang awet. Jenis-jenis ikan
tertentu dibuat menjadi terasi sebagai bumbu penyedap masakan yang sangat
digemari. Mereka juga mengawetkan ikan segar menjadi ikan asin dan ikan kering.
Hal ini sejalan dengan kemampuan mereka untuk melakukan budidaya garam. Dengan
adanya kemajuan teknologi pengawetan ini, produk makanan laut tidak hanya
dimakan sesaat tetapi juga dapat diperdagangkan, yaitu dalam bentuk komoditas
terasi, ikan asin, dan garam. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di Asia
Tenggara, beras (produk pertanian), garam, dan ikan (produk kebaharian)
merupakan komoditi yang paling banyak diperdagangkan dan ikan merupakan salah
satu bahan pangan pokok masyarakat (Reid, 1992:6).
Garam dibuat di berbagai
kawasan pantai di Nusantara, seperti di Maluku, pantai Utara Jawa antara Juwana
dan Surabaya. Para pelayar Belanda awal menceritakan bahwa garam sudah menjadi
konsumsi dan komoditi yang sangat terkenal. Para pedagang mengangkut garam dari
berbagai wilayah di pantai utara Jawa ke Sumatera. Bahkan Knaap mengatakan
bahwa garam merupakan produk kebaharian yang bukan hanya untuk skala lokal
tetapi merupakan komoditi yang diperdagangkan dalam skala regional di kawasan
Asia Tenggara (Knapp, 1991:127-157).
Salah satu komoditi dan
sekaligus bahan pangan yang berasal dari sumber daya laut adalah terasi.
Meskipun pada saat ini barangkali terasi merupakan bahan pangan yang tidak
populer di kalangan tertentu, namun pada zaman dahulu produk ini sangat
terkenal luas di kalangan masyarakat kepulauan. Terasi merupakan salah satu
jenis makanan yang berasal dari sumber daya
laut yang paling digemari di Asia Tenggara dan Indonesia pada khususnya.
Pada waktu itu terasi dibuat dari ikan kering yang ditumbuk dan dibasahi,
kemudian diiris-iris sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Oleh karena
merupakan salah satu jenis makanan yang favorit dan tidak semua daerah
menghasilkan komiditi ini, maka terasi juga menjadi komoditi yang
diperdagangkan di mana-mana baik pada masyarakat pesisir maupun pedalaman.
Sambal terasi merupakan salah satu masakan favorit di hampir seluruh kawasan di
Asia Tenggara.
Dari uraian di atas dapt
diambil garis penting jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa
Eropa, pemanfaatan sumber daya bahari sebagai bahan pangan sudah dilakukan
secara luas di dalam masyarakat kepulauan Nusantara. Bahkan pada masa kerajaan
Majapahit dapat diketahui secara pasti bahwa masyarakat nelayan sudah tidak
hanya menangkap ikan di laut tetapi sudah membudidayakannya di tambak.
Tantangan utama yang dihadapi masyarakat
dalam pengolahan dan pemanfaatan bahan pangan bahari adalah masalah keawetan (durability).
Jenis-jenis ikan merupakan bahan pangan yang cepat basi. Oleh karena itu,
sejalan dengan kemajuan pengalaman dalam pemanfaatan dan pengolahan sumber daya
pangan bahari mulai ditemukan cara-cara untuk mengawetkannya agar dapat
memiliki durabilitas yang lama sehingga dapat disimpan dan dikonsumsi untuk
jangka waktu yang lebih panjang. Dengan menggunakan garam, mereka dapat
mengawetkan ikan melalui penggaraman dan pengeringan. Selain itu, penemuan
teknologi pembuatan terasi juga merupakan terobosan tertentu yang memungkinkan
sumber daya pangan bahari dapat dikonsumsi masyarakat secara luas.
Dengan penemuan teknologi pengawetan
terhadap bahan pangan bahari ini, perdagangan produk bahan pangan bahari juga
semakin meluas tidak hanya terbatas di daerah pantai saja tetapi juga jauh
mencapai daerah pedalaman.
2.1.1.2 Masalah ekonomi, mayarakat dan perkembangannya
Semenjak awal abad XVI, bangsa-bangsa
Barat mulai datang di perairan Nusantara. Setelah kedatangan mereka, ada
kecenderungan aktivitas perdagangan mengalami proses militerisasi, apalagi
ketika Portugis mengumumkan “Perang
Salib di lautan‟[1]
(Chauduri, 1989:15). Hal ini menjadikan kawasan perairan Indonesia sebagai
arena pertarungan yang semakin seru dari berbagai kekuatan maritim lokal dan
internasional.
Datangnya banyak bangsa Barat di
perairan Indonesia menyebabkan kawasan Indonesia menjadi battlefield[2]
di antara kekuatan-kekuatan yang bersaing. Tidak mengherankan jika periode
ini selalu diwarnai dengan persaingan, konflik, dan peperangan laut yang tak
terhitung jumlahnya. Pada prinsipnya perang yang terjadi pada periode ini
merupakan perang memperebutkan monopoli perdagangan.Meskipun para penguasa
menerapkan prinsip laut bebas, namun mereka memiliki monopoli atas perdagangan
komoditi tertentu. Para penguasa memanfaatkan kekuasaan dan fasilitasnya untuk
ikut ambil bagian penting dalam perdagangan.
Peperangan laut pada periode ini pada
hakikatnya merupakan perang memperebutkan monopoli. Tanpa monopoli mereka akan
gulung tikar karena kebebasan perdagangan belum dijamin oleh hukum
internasional. Perdagangan bisa menghalalkan segala cara termasuk perompakan (Anderson,
1997:88-89).Sistem perdagangan yang dipersenjatai (armed-trading system)
yang telah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Barat menyebabkan para pelaut lokal
semakin tersingkir (Manguin, 1993 :198-199). Dalam hubungan itu, akhirnya VOC
memperoleh kemenangan yang gemilang di beberapa daerah di Nusantara.
Belanda memaksakan monopoli
kepada orang Eropa lain dan kepada masyarakat pribumi. Di samping itu, VOC juga
memaksakan hak pembelian kepada pedagang dan petani untuk pasar Amsterdam.
Dengan demikian, tidak ada p``asar bebas tempat para pertani dapat
menjual produk mereka dengan harga yang lebih tinggi.Dengan
cara demikian, VOC mempermiskin daerah luar Jawa, menghancurkan perdagangan
masyarakat setempat tanpa membangkitkannya kembali (Nagtegaal, 1996:21).
Di Jawa, VOC juga menguasai teritorial
sebagai imbalan atas jasanya dalam „menyelesaikan‟ konflik-konflik di
kerajaan-kerajaan Jawa. Setelah menguasai teritorial, VOC memperlakukan
wilayah-wilayah itu sebagaimana
layaknya aset perdagangan yang memberikan keuntungan kepada VOC sebagai
perusahaan dagang. Dengan cara memanfaatkan ikatan-ikatan tradisional yang ada,
VOC memberlakukan kerja wajib bagi penduduk di daerah yang dikuasainya, memaksa
penyerahan wajib, dan memonopoli serta penyewaan terhadap wilayah ataupun
bidang bisnis tertentu dalam rangka memperoleh uang bagi perusahaan. Sementara
itu, di dunia kelautan Belanda menerapkan monopoli perdagangan dan menguasai
pelabuhan-pelabuhan sebagai urat nadi perekonomian. Dalam konteks pemanfaatan
sumber daya kelautan, VOC juga melakukan monopoli budidaya dan perdagangan
garam serta mengontrol usaha perikanan.
Setelah secara langsung
menguasai berbagai wilayah yang memiliki laut, VOC sebagai badan dagang yang
selalu haus keuntungan menyewakan atau memborongkan pelabuhan pendaratan ikan.
Sebagaimana yang terjadi pada properti VOC di daratan, para pachter[3]
biasanya terutama terdiri dari orang-orang Cina, orang Eropa swasta, dan
orang-orang timur asing lainnya.
Namun demikian, terdapat
informasi bahwa penyalahgunaan leasing ini tampaknya sering terjadi. Oleh
karena para pachter ini merasa sudah membayar borongan itu kepada VOC
maka seringkali para pachter itu mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya. Mereka bisa melakukan itu karena VOC memberikan otoritas yang
besar kepada para pachter untuk mengeksploitasi penduduk. Para pachter
yang memborong pengelolaan pelabuhan perikanan dan memonopoli penyediaan
alat-alat tangkap, biasanya menuntut syarat-syarat penyerahan jenis-jenis ikan
yang terbaik dan terbesar dari para nelayan yang berada di bawah kekuasaannya
dan nelayan-nelayan lain yang ingin mendaratkan ikan-ikannya di pelabuhan
pendaratan tersebut. Tempat pendaratan ikan biasanya juga berfungsi sebagai
pasar ikan tempat para konsumen dan pedagang sudah menunggu.
Dengan adanya sistem pachter ini
menyebabkan akses nelayan kecil menjadi semakin terpinggirkan dan akibatnya
kemungkinan terjadi penurunan konsumsi ikan di kalangan masyarakat bawah. Namun
demikian dari sumber-sumber sejarah yang ada, pada masa VOC ini produk-produk
pangan kelautan seperti garam dan ikan asin merupakan komoditiyang ramai
diperdagangkan (lihat Knapp, 1996).
Sejalan dengan pertumbuhan
penduduk dan semakin intensifnya VOC melakukan eksploitasi di pedalaman yang
melibatkan jumlah tenaga kerja yang semakin besar, maka kebutuhan ikan asin dan
ikan kering sebagai lauk yang merupakan sumber protein juga tentunya mengalami
peningkatan. Padahal di sisi lain dengan adanya sistem pachter ini
nelayan-nelayan kecil yang jumlahnya lebih besar juga mengalami penurunan
karena kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan adanya sistem sewa. Dalam
kaitan itu sekitar pertengahan abad ke-18 VOC melakukan penyelidikan mengenai
upaya-upaya untuk perbaikan-perbaikan perikanan laut untuk para pribumi,
terutama untuk peningkatan produksi ikan segar dan ikan asin serta ikan kering.
Hal itu untuk mengurangi impor ikan dari Kamboja, Siam, Macao, Manila, Cina,
dan berbagai tempat lain yang cukup besar (Stibbe, 1921:574).
Kemunduran tersebut
tampaknya tidak bisa dicegah dan berlangsung terus selama periode berikutnya.
Banyak faktor yang terkait dengan kemunduran, di samping karena sistem pachter
juga ada tekanan dari pemerintah kolonial terhadap masyarakat untuk
bergelut di sektor pertanian melalui proyek Cultuur Stelsel dan
selanjutnya sistem ekonomi liberal yang membuka seluas-luasnya usaha-usaha
perkebunan di kawasan pertanian. Selain itu, ekspansi impor ikan dari
negara-negara sekitar juga tentu menyusutkan usaha perikanan rakyat. Pada tahun
1870 terdapat sekitar 37.000 kapal dan perahu penangkap ikan dengan volume
sekitar 620.000 M³ dengan awak kapal/perahu sebanyak 550.000 orang dengan nilai
sekitar 60 juta gulden. Sementara itu pada akhir abad ke-20 ketika muncul isu
mengenai kemunduran kemakmuran rakyat pribumi, jumlah kapal/perahu menurun
menjadi sekitar 16.000 dengan volume sekitar 200.000 M³ dengan jumlah nelayan
sekitar 200.000orang dan dengan nilai 20 juta gulden
(ibid.). Jadi paradoks mulai terjadi, sebuah kawasan yang terdiri dari lebih 70
persen berupa laut tetapi harus mengimpor ikan.
Meskipun telah terjadi
kemunduran dalam usaha perikanan pribumi, bukan berarti jumlah konsumsi ikan
mengalami penurunan. Barangkali persoalannya hanya siapa yang mampu menguasai
bisnis perikanan: para nelayan lokal ataukah pedagang impor yang dapat
mengambil keuntungan besar karena dapat memasok kebutuhan ikan masyarakat lokal
dengan harga yang lebih murah. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan impor
ikan, terutama ke Jawa, yang terus mengalami kenaikan. Jika tahun 1876 nilai
impor ikan ke Jawa per tahun hanya sebesar f 2.000.000,00 maka pada tahun 1916
telah meningkat menjadi f 9.000.000,00. (Widodo, 2001:253). Jadi dengan
kemunduran usaha perikanan pribumi belum berarti kemerosotan dalam pemanfaatan
potensi bahari sebagai bahan pangan. Impor ikan, terutama ikan kering, sangat
dibutuhkan bagi masyarakat pedalaman untuk konsumsi bagi tenaga kerja yang
bergerak di bidang pertanian dan perkebunan.
Meskipun telah terjadi
paradoks antara potensi alamiah kepulauan Indonesia yang didominasi oleh
keberadaan laut dengan kemunduran usaha perikanan pribumi serta adanya ekspansi
impor ikan yang semakin meningkat, namun pemerintah kolonial Belanda semakin
menyadari bahwa ternyata sektor perikanan memiliki nilai strategis baik dalam
kaitannya dengan permintaankonsumsi penduduk yang sangat
besar.
Pengembangan sektor perikanan juga
dilakukan melalui restrukturisasi birokrasi perikanan. Sejak tahun 1914,
sektorperikanan tidak lagi ditangani oleh Departemen Dalam Negeri tetapi berada
di bawah Departemen Pertanian, Perdagangan dan Industri (Departement van
Landbouw, Handel, en Nijverheid). Sejak itu upaya-upaya untuk motorisasi
kapal/perikanan mulai dilakukan. Selain itu, berbagai pelabuhan perikanan juga
dibangun, seperti di Sarang (Residensi Rembang) dan Pasuruan pada tahun 1920,
tidak untuk diborongkan kepada “orang partikelir”[4]
namun dikelola oleh pemerintah. Selain itu pemerintah kolonial juga
mendatangkan ahli-ahli perikanan dari negeri Belanda, pemberian kredit kepada
nelayan, pemberian kesempatan kepada inisiatif swasta untuk mendirikan
perusahaan perikanan, dan sebagainya.Sementara itu untuk mengurangi
ketergantungan Jawa terhadap impor ikan, maka pemerintah kolonial juga
mendorong pembukaan tambak-tambak di pantai utara Jawa. Selain itu usaha tambak
ini juga meningkatkan pendapatan pajak bagi pemerintah (Stibee, 1921:575).
Dalam sejarah tercatat bahwa dalam
masyarakat, ikan atau iwak (dalam bahasa Jawa) merupakan menu pendamping
namun sangat penting. Tanpa ada pendamping ikan, maka masyarakat tidak dapat
menikmati nasi dengan enak.Ikan yang dikonsumsi oleh penduduk dapat berupa baik
ikan segar maupun ikan kering dan/atau diasinkan tergantung kepada situasi.
Ikan laut segar biasanya dikonsumsi oleh masyarakat pantai yang dekat dengan
laut atau daerah-daerah sekitarnya yang tidak membutuhkan waktu yang lama untuk
pengangkutan ikan segar. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa pengangkutan
belum dapat berjalan dengan cepat karena kondisi jalan dan alat transportasi
modern sendiri yang masih langka, sementara itu alat pengawet seperti es (cold
storage) belum berkembang secara populer.
Selain itu, pengaweten ikan
juga dilakukan dengan cara pengasapan (pemanggangan) yang tidak selalu harus
menggunakan garam. Selain di Jawa, model pengawetan ikan semacam ini juga dapat
dijumpai di Kalimantan, Sulawesi (khususnya di Manado). Sementara itu, untuk
hasil tangkapan yang beraneka macam ikan (rucah) yang tidak langsung
dibeli oleh konsumen biasanya kemudian dibuat menjadi ikan asin kering yang
sering disebut gereh, pethek, ataupun balur.
Masalah lainnya
memacu kepada Ancaman Perubahan Iklim Terhadap
Ketersediaan Pangan Di Indonesia. Saat ini perubahan iklim merupakan tantangan paling
serius yang dihadapi dunia. Semakin banyak terjadi fenomena penyimpangan cuaca
seperti badai, angin ribut, hujan deras, serta perubahan musim tanam. Belum
lagi ancaman badai tropis, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, meningkatnya
potensi kebakaran hutan, punahnya berbagai jenis ikan dan rusaknya terumbu
karang, sertakrisis air bersih, bahkan peningkatan penyebaran penyakit
parasitik seperti Malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD), serta terjadi
peningkatan insiden alergi, penyakit pernafasan dan radang selaput otak ((encephalitis).(Vivi
, 2008 )
Perubahan iklim
diperkirakan akan mengancam ketersediaan bahan makanan di seluruh penjuru dunia
pada tahun 2100. Menurut Prof David Battisti dari University of Washington,
Seattle, pemanasan global akan mengurangi produksi pertanian baik di wilayah
tropis maupun subtropis. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO),
mengeluarkan peringatan bahwa perubahan
iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dapat menurunkan hasil pangan dan
menimbulkan kelaparan diberbagai belahan bumi ini. Akibat dari pemanasan global
ini bukan hanya menurunkan produksi pangan, tetapi dapat mengakibatkan
menurunnya luas lahan pertanian dan meningkatkan berbagai hama dan penyakit Global warming sangat mempengaruhi
prespitasi, evaporasi, water run-off,
kelembaban
tanah dan variasi iklim yang sangat mencolok secara keseluruhan yang dapat mengancam keberhasilan produksi
pangan. Kajian yang dilakukan oleh National Academy
ofScience/NAS yang dilakukan pada tahun 2007 di bidang pertanian mengenai
dampak perubahan iklim Indonesia
adalah negara agraris dengan tingkat produktivitas yang rawan mengalami
gangguan akibat dampak global warming ini. Sementara itu, secara
global, dengan luas wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia, posisi
Indonesia sangat menentukan kondisi iklim dunia.
Di Indonesia, pengaruh pemanasan global telah
menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah hujan di bawah
normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian
wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk
semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai
gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir
berjumlah 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya
mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut
berjumlah 2.131.579 hektare, yang 328.447 hektare di antaranya gagal panen.
Rosamond Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan
dan Lingkungan dari Stanford University, melansir anomali cuaca El Nino, yang
diperburuk oleh pemanasan global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi beras
di kawasan Jawa-Bali karena mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa
kekeringan Juli-September nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi
memadai. Sebelumnya, pada 2002, Rasamond Naylor, Water Falcon, dan kawan-kawan
telah melakukan penelitian tentang "penggunaan data klimatologi El
Nino/Osilasi Selatan untuk memprediksi produksi dan perencanaan kebijakan
pangan Indonesia". Penelitian ini menyebutkan bahwa anomali iklim pada El
Nino dapat mengurangi produksi padi hingga 4,8 juta ton gabah atau setara
dengan 2,88 juta ton beras.
Panel on Climate Change dalam laporan yang berjudul "Climate Change
Impacts, Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007 menyimpulkan
perubahan iklim semakin mengancam produksi pangan Indonesia.
Dampak global warming ( perubahan iklim )sudah
nyata pengaruhnya terhadap pertanian berupa penurunan produksi pangan
kemudian tentunya akan berimbas pada ketersedian pangan nasional .
Sehingga kedepannya sudah menjadi keharusan / komitmen bagi pemerintah untuk
intensif dalam memperhatikan akan permasalahan hal ini . Sehingga kita
nantinya bisa lepas dari ancaman kekurangan stok pangan di masa
mendatang.
2.1.1.3 Pemanfaatan lainnya sumber laut indonesia
Selain digunakan sebagai
bahan makanan, sumber daya pangan kelautan juga digunakan untuk kepentingan
lain. Ikan hiu dan beberapa jenis ikan besar seperti paus yang terdapat di
kawasan pantai Priangan, Sumatra, Sulawesi dan Maluku ditangkap dan diambil
minyaknya. Di kawasan Sumatra dan Sulawesi, kulit ikan pari dikeringkan dan
digunakan untuk membuat kerajinan. Sementara itu sisik ikan digunakan untuk
bahan hiasan pembuatan tutup kepala dan bagian-bagian tertentu dari pakaian. Di
Balangnipa, sisik ikan digunakan sebagai campuran untuk pupuk. Di Singkawang
(Kalimantan), beberapa jenis ikan tertentu dijadikan sebagai bahan obat-obatan
yang dapat dengan mudah ditemukan di toko-toko obat Cina. Di Maluku, jenis ikan
kuda laut digunakan sebagai jimat dan dipercaya dapat membangkitkan gairah
seksual. Ikan-ikan kecil jenis tertentu juga bisa dikeringkan seperti ikan teri
dan sebagian lain juga bisa digunakan untuk memancing ikan yang lebih besar
(ibid.).
Salah satu produk perikanan
yang memiliki nilai jual yang tinggi dan permintaan pasar yang besar adalah
teripang. Permintaan yang sangat besar terhadap produk perikanan ini adalah
dari Cina sehingga memiliki nilai-nilai bisnis internasional dalam konteks
perdagangan dengan Inggris. James Waren yang memfokuskan kajiannya pada respons
lokal terhadap proses globalisasi ekonomi perdagangan, terutama antara Inggris
dan Cina sangat menarik dalam mengkaji konteks global dari perdagangan
teripang. Teripang dan sirip ikan hiu ini menjadi menu sangat prestisius di
berbagai restoran.
2.2 Perusakan yang dilakukan
Enam dekade setelah kemerdekaan, kita menyaksikan terjadinya
proses perusakan dan pemiskinan terhadap sumber daya pangan kebaharian baik
yang berupa polusi, perusakan terumbu karang, over fishing,dan
sebagainya (Waddel, 2009:172-194).
Selama masa pendudukan Jepang telah terjadi perpaduan yang aneh
antara represi rezim militer, propaganda simpatik untuk mencari dukungan, dan
eksploitasi sumber daya alam. Mobilisasi tenaga kerja secara besar-besaran
dalam rangka kepentingan persiapan perang melawankekuatan Sekutu
dan penyediaan supply pangan untuk tentara Jepang di medan peperangan di
kawasan Samudera Pasifik menyebabkan kehancuran sektor tenaga kerja dan sumber
daya alam khususnya pangan. Hal itu tidak hanya terjadi pada sektor pertanian
pangan dan perkebunan saja tetapi juga sektor perikanan. Kebijakan pemerintah
pendudukan Jepang itu telah menimbulkan berbagai bencana yaitu kelaparan dan
kematian. Pada masa pendudukan Jepang inilah, baru pertama kali dalam sejarah
Indonesia modern, penduduk Jawa mengalami penurunan jumlah.Selain itu, bencana
kelaparan dan kematian terjadi karena penduduk dipaksa menyerahkan bahan pangan
untuk kepentingan Jepang. Akibatnya banyak penduduk yang memakan makanan yang
biasanya dimakan oleh binatang (Economic Review of Indonesia, 1947:18).
Selain
itu, para nelayan diharuskan untuk menyerahkan sebagian dari hasil tangkapan
kepada pemerintah Jepang untuk kepentingan mereka. Kemungkinan besar konsumsi
penduduk terhadap sumber daya pangan hasil laut juga menurun karena
tekanan-tekanan eksploitasi dan penghancuran terhadap sarana dan prasarana
perikanan. Namun demikian, pada waktu itu sektor perikanan menjadi salah satu
bidang ekonomi yang digunakan sebagai jaring penyelamat (safety net)
dari kehancuran pangan di sektor agraris terutama pada masyarakat pantai.
Lima tahun pertama setelah Indonesia mencapai kemerdekaan pada
tahun 1945, kondisi pemanfaatan sumber daya kebaharian untuk kepentingan
pemenuhan kebutuhan pangan tidak mengalami perkembangan yang berarti karena
situasi revolusi kemerdekaan dan perang melawan Belanda. Beban pangan dari
sektor agraris masih juga berat karena harus menanggung suplai makanan untuk
para gerilyawan dan tentara sedangkan petani sendiri tidak memiliki konsentrasi
yang baik untuk mengolah lahan pertanian mereka karena suasana perang yang
mencekam. Demikian juga sektor pangan hasil laut di wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh Republik Indonesia juga masih belum mengalami perkembangan yang
berarti karena hampir semua kawasan pantai berada di bawah kontrol dan/atau
blokade angkatan laut Belanda. Demikian juga perdagangan antara daerah pantai
dengan daerah pedalaman juga diblokade oleh kekuatan Belanda untuk melumpuhkan
para gerilyawan Republik Indonesia di pedalaman. Hal ini berbeda dengan kawasan
yang secara langsung berada di bawah pemerintah NICA[5]. Di
daerah-daerah pendudukan NICA, kegiatan produksi dan pengolahan ikan sangat
digalakkan (lihat Economisch Weekblad, 1947).
Setelah perang usai, pemerintah sebetulnya memiliki kesempatan
yang lebih luas untuk membangun diri sebagai bangsa pelaut yang besar
sebagaimana yang sering dilontarkan oleh Presiden Sukarno (lihat Indonesian
Review, 1951). Namun demikian, karena kurangnya modal untuk membangun sektor
perikanan yang modern maka kemajuan sektor ini juga berjalan dengan lamban. Hal
itu juga berkaitan dengan belum berkembangnya investasi di bidang perikanan
ini, apalagi setelah tahun 1957 Indonesia cenderung menerapkan
kebijakan yang tertutup terhadap investasi dari negara-negara kapitalis.
2.2.1 Pencemaran laut mengancam potensi sumber daya
Pencemaran laut merupakan suatu
peristiwa masuknya material pencemar seperti partikel kimia, limbah industri,
limbah pertanian dan perumahan, ke dalam laut, yang bisa merusak lingkungan
laut. Material berbahaya tersebut memiliki dampak yang bermacam-macam dalam perairan.
Ada yang berdampak langsung, maupun tidak langsung. Sebagian besar sumber
pencemaran laut berasal dari daratan, baik tertiup angin, terhanyut maupun
melalui tumpahan. Salah satu penyebab pencemaran laut adalah kapal yang dapat
mencemari sungai dan samudera dalam banyak cara. Misalnya melalui tumpahan
minyak, air penyaring dan residu bahan bakar. Polusi dari kapal dapat mencemari
pelabuhan, sungai dan lautan. Kapal juga membuat polusi suara yang mengganggu
kehidupan organisme perairan, dan air dari balast tank yang bisa
mempengaruhi suhu air sehingga menganggu kenyamanan organisme yang hidup dalam
air. Bahan pencemar laut lainnya yang juga memberikan dampak yang negatif ke
perairan adalah limbah plastik yang bahkan telah menjadi masalah global. Sampah
plastik yang dibuang, terapung dan terendap di lautan. Sejak akhir Perang Dunia
II, diperkirakan 80 persen sampah plastik terakumulasi di laut sebagai sampah
padat yang mengganggu eksositem laut. Massa plastik di lautan
diperkirakan yang menumpuk hingga seratus juta metrik ton. Kondisi ini sangat
berpengaruh buruk, dan sangat sulit terurai oleh bakteri. Sumber sampah plastik
di laut juga berasal dari Jaring ikan yang sengaja dibuang atau tertinggal di
dasar laut.
Limbah kimia yang bersifat toxic (racun) yang masuk ke
perairan laut akan menimbulkan efek yang sangat berbahaya. Kelompok limbah
kimia ini terbagi dua, pertama kelompok racun yang sifatnya cenderung masuk
terus menerus seperti pestisida, furan, dioksin dan fenol. Terdapat pula logam
berat, suatu unsur kimia metalik yang memiliki kepadatan yang relatif tinggi
dan bersifat racun atau beracun pada konsentrasi rendah. Contoh logam berat
yang sering mencemari adalah air raksa, timah, nikel, arsenik dan
kadmium. Ketika pestisida masuk ke dalam ekosistem laut, mereka segera
diserap ke dalam jaring makanan di laut. Dalam jaring makanan, pestisida ini
dapat menyebabkan mutasi, serta penyakit, yang dapat berbahaya bagi hewan laut,
seluruh penyusun rantai makanan termasuk manusia. Racun semacam itu dapat
terakumulasi dalam jaringan berbagai jenis organisme laut yang dikenal dengan
istilah bioakumulasi. Racun ini juga diketahui terakumulasi dalam dasar
perairan yang berlumpur. Bahan-bahan ini dapat menyebabkan mutasi keturunan
dari organisme yang tercemar serta penyakit dan kematian secara massal seperti
yang terjadi pada kasus yang terjadi di Teluk Minamata.
Bahan kimia anorganik lain yang bisa berbahaya bagi ekosistem laut
adalah nitrogen, dan fosfor. Sumber dari limbah ini umumnya berasal dari sisa
pupuk pertanian yang terhanyut kedalam perairan, juga dari limbah rumah tangga
berupa detergent yang banyak mengandung fosfor. Senyawa kimia ini dapat
menyebabkan eutrofikasi, karena senyawa ini merupakan nutrien bagi tumbuhan air
seperti alga dan phytoplankton. Tingginya konsentrasi bahan tersebut
menyebabkan pertumbuhan tumbuhan air ini akan meningkat dan akan mendominasi
perairan, sehingga menganggu organisme lain bahkan bisa mematikan. Muara
merupakan wilayah yang paling rentan mengalami eutrofikasi karena nutrisi yang
diturunkan dari tanah akan terkonsentrasi. Nutrisi ini kemudian dibawa oleh air
hujan masuk ke lingkungan laut, dan cendrung menumpuk di muara. The
World Resources Institute telah mengidentifikasi 375 hipoksia (kekurangan
oksigen) wilayah pesisir di seluruh dunia. Laporan ini menyebutkan kejadian ini
terkonsentrasi di wilayah pesisir di Eropa Barat, Timur dan pantai Selatan
Amerika Serikat, dan Asia Timur, terutama di Jepang. Salah satu contohnya
adalah meningkatnya alga merah secara signifikan (red tide) yang membunuh ikan
dan mamalia laut serta menyebabkan masalah pernapasan pada manusia dan beberapa
hewan domestik. Umumnya terjadi saat organisme mendekati ke arah pantai.
Lautan biasanya menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Karena kadar
karbon dioksida atmosfer meningkat, lautan menjadi lebih asam. Potensi
peningkatan keasaman laut dapat mempengaruhi kemampuan karang dan hewan
bercangkang lainnya untuk membentuk cangkang atau rangka. Kehidupan laut dapat
rentan terhadap pencemaran kebisingan atau suara dari sumber seperti kapal yang
lewat, survei seismik eksplorasi minyak, dan frekuensi sonar angkatan laut.
Perjalanan suara lebih cepat di laut daripada di udara. Hewan laut, seperti
paus, cenderung memiliki penglihatan lemah, dan hidup di dunia yang sebagian
besar ditentukan oleh informasi akustik. Hal ini berlaku juga untuk banyak ikan
laut yang hidup lebih dalam di dunia kegelapan. Dilaporkan bahwa antara tahun
1950 dan 1975, ambien kebisingan di laut naik sekitar sepuluh desibel (telah
meningkat sepuluh kali lipat). Jelas sekarang bahwa sumber pencemaran sangat
bervariasi. Tidak hanya dari hal-hal yang menurut kita hanya bisa
dilakukan oleh industri besar, namun juga bisa disebabkan oleh aktiftas harian
kita.
2.3 Upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Pemerintah ingin menerapkan prinsip berdikari termasuk dalam
sektor perikanan. Sementara itu pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat
juga mengalami stagnasi dan bahkan menjelang terjadinya krisis politik menyusul
terjadinya tragedi tahun 1965 mengalami kemunduran dan inflasi yang parah
sehingga konsumsi ikan juga tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Titik balik dalam hal investasi modal asing terjadi setelah
memasuki pemerintahan Orde Baru. Pada awalnya memang pembukaan kesempatan
kepada investasi asing masih sangat malu-malu dan masih mempertimbangkan
kepentingan nelayan kecil. Hal itu bisa dilihat dari Undang-Undang No. 1/1967
yang menyatakan bahwa penanaman modal asing tidak boleh mendesak, akan tetapi
sebaliknya membantu perikanan lokal khususnya dan pembangunan perikanan pada
umumnya. Selain itu, daerah-daerah yang sudah padat dengan pengusahaan
perikanan seperti Riau, Sumatra Selatan, Lampung, dan sepanjang pantai utara
Jawa ditutup dari investasi modal asing. Hal yang sangat spektakuler adalah
bahwa penanaman modal asing dapat dilakukan secara 100 persen dan/atau bisa
bekerja sama dengan pihak Indonesia baik dengan perusahaan negara maupun
perusahaan swasta (Departemen Maritim, 1967).
Sejalan dengan pembukaan kesempatan yang luas bagi modal asing di
bidang perikanan, pemerintah juga melaksanakan berbagai program untuk
pengembangan perikanan rakyat. Pemerintah Orde Baru melaksanakan program baik
intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui program
motorisasi perahu layar, modernisasi alat-alat perikanan, mengembangkan teknik
perikanan, menyebarluaskan hasil-hasil penelitian, meningkatkan pendidikan,
mengatur pemasaran hasil perikanan rakyat, dan perbaikan sarana dan prasarana
perikanan. Sementara itu ekstensifikasi dilakukan dengan melalui program
menambah jumlah kapal perikanan, menambah jenis alat penangkapan ikan,
memperluas daerah penangkapan, dan penanaman jiwa perikanan fishery minded bagi
bangsa Indonesia (Pedoman Bahari, 1968:24-25).
Namun demikian kebijakan pembukaan bagi modal asing tersebut di
atas telah menimbulkan berbagai persoalan baru terhadap nelayan kecil yang pada
awalnya justru merupakan kelompok yang akan ditingkatkan kesejahteraannya.
Dengan beroperasinya banyak perusahaan asing yang memiliki modal kuat dan alat
tangkap yang lebih modern dan efektif serta efisien menyebabkan nelayan kecil
semakin kehilangan aksesnya untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih baik
(lihat Widodo, ibid., hlm. 132-133).
Sejalan
dengan pendirian Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 (dahulu
bernama Departemen Eksplorasi Kelautan), kinerja sektor perikanan dipacu dengan
cepat. Tidak mengherankan jika produksi perikanan Indonesia terus mengalami
peningkatan. Berdasarkan statistik antara tahun 2005 hingga 2008, produksi
perikanan Indonesia mengalami kenaikan. Penyediaan ikan untuk konsumsi
meningkat rata-rata pertahun 7,78% dari 23,95 kg/kapita/tahun pada tahun 2005
menjadi 29,98 kg/kapita/tahun pada tahun 2008. Salah satu target pembangunan perikanan
di Indonesia ke depan adalah peningkatan penyediaan ikan untuk konsumsi yang
sejajar dengan negara asia lainnya.
2.3.1 kebijakan Indonesia dalam hal perairan
Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah
negara kepulauan terbesar didunia yang terletak di Asia Tenggara, melintang di
khatulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua
samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Indonesia
berbatasan dengan Malaysia di pulau Kalimantan, berbatasan dengan Papua Nugini
di pulau Papua dan berbatasan dengan Timor Leste di pulau Timor.Setiap Negara didunia
memiliki politik luar negeri yang berbeda satu sama lainnya. Politik luar
negeri suatu negara sesungguhnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari
politik dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional maupun
internasional. Demikian pula halnya dengan politik luar negeri Indonesia yang
tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor, antara lain posisi geografis yang
strategis, yaitu posisi silang antara dua benua dan dua samudra; potensi sumber
daya alam dan manusia berikut susunan demografi; dan sistem sosial-politik yang
sangat mempengaruhi sikap, cara pandang serta cara kita memposisikan diri di
fora internasional.
Indonesia memiliki 17.504 pulau besar
dan kecil, sekitar 6000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar
khatulistiwa, memberikan cuaca tropis. Posisi Indonesia terletak pada koordinat
6°LU - 11°08'LS dan dari 97°' - 141°45'BT serta terletak di antara dua benua
yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania. Wilayah Indonesia terbentang
sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila
perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi 1,9
juta mil². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah
populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa
dengan luas 132.107 km², Sumatra dengan luas 473.606 km², Kalimantan dengan
luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan luas
421.981 km².
Lokasi Indonesia juga terletak di
lempeng tektonik yang berarti Indonesia sering terkena gempa bumi dan juga
menimbulkan tsunami. Indonesia juga banyak memiliki gunung berapi, salah satu
yang sangat terkenal adalah gunung Krakatau, terletak antara pulau Sumatra dan
Jawa.
Karena letaknya yang sangat strategi itulah yang membuat Indonesia mengambil tindakan preventif dengan jalan memberlakukan peraturan perundang-undangan terhadap negara-negara asing yang melintasi daerah perairan Indonesia. Sebagai negara dengan posisi seperti tadi membuat Indonesia difungsikan sebagai jalur perdagangan dan pintu masuk antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Banyak negara-negara Eropa yang lebih memilih memanfaatkan jalur perairan Indonesia untuk menuju ke negara-negara Timur karena dengan melaui Indonesia, negara Eropa tersebut tidak perlu lagi berputar dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk menuju ke Autralia ataupun ke negara-negara yang ada di bagian timur.
Untuk melindungi kedaulatan negaranya, Indonesia mengambil kebijakan untuk memberlakukan aturan-aturan bagi kapal-kapal mancanegara baik kapal dagang maupun kapal militer untuk tidak bertindak semena-mena selama berada di perairan Indonesia. Ada banyak perubahan-perubahan dalam tata hubungan intemasional yang kini dihadapi politik luar negeri Indonesia diwarnai oleh sejumlah kecenderungan global yang fundamental,yaitu:
Karena letaknya yang sangat strategi itulah yang membuat Indonesia mengambil tindakan preventif dengan jalan memberlakukan peraturan perundang-undangan terhadap negara-negara asing yang melintasi daerah perairan Indonesia. Sebagai negara dengan posisi seperti tadi membuat Indonesia difungsikan sebagai jalur perdagangan dan pintu masuk antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Banyak negara-negara Eropa yang lebih memilih memanfaatkan jalur perairan Indonesia untuk menuju ke negara-negara Timur karena dengan melaui Indonesia, negara Eropa tersebut tidak perlu lagi berputar dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk menuju ke Autralia ataupun ke negara-negara yang ada di bagian timur.
Untuk melindungi kedaulatan negaranya, Indonesia mengambil kebijakan untuk memberlakukan aturan-aturan bagi kapal-kapal mancanegara baik kapal dagang maupun kapal militer untuk tidak bertindak semena-mena selama berada di perairan Indonesia. Ada banyak perubahan-perubahan dalam tata hubungan intemasional yang kini dihadapi politik luar negeri Indonesia diwarnai oleh sejumlah kecenderungan global yang fundamental,yaitu:
•
Tampilnya Amerika Serikat (AS) sebagai adidaya politik-militer satu-satunya di
dunia yang bersumbu pada kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di Amerika Utara,
Eropa dan Asia Timur;
•
Arus globalisasi dan interdependensi semakin menguat, serta adanya saling
keterkaitan antara berbagai masalah-masalah global, baik dalam bidang-bidang
politik, ekonomi, sosial, keamanan, lingkungan hidup, dan lain,sebagainya;
• Semakin menguatnya peranan aktor non-pemerintah dalam percaturan internasional atau multi-track diplomacy dalam hubungan internasional;
• semakin menonjolnya masalah-masalah transnasional, seperti Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, good governance, dan lingkungan hidup dalam agenda internasional.
• Semakin menguatnya peranan aktor non-pemerintah dalam percaturan internasional atau multi-track diplomacy dalam hubungan internasional;
• semakin menonjolnya masalah-masalah transnasional, seperti Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, good governance, dan lingkungan hidup dalam agenda internasional.
Hal
ini pulalah yang membuat Indonesia semakin berhati-hati dalam mengambil
berbagai kebijakan baik kebijakan internal maupun ekternal karena hal itu
menyangkut kelangsungan hidup bangsa Indonesia sendiri kedepannya. Oleh karena
itu, pelaksanaan politik luar negeri pun dengan sendirinya diarahkan pada
prioritas mengupayakan dan mengamankan serta meningkatkan kerja sama dan
dukungan negara-negara sahabat serta badan-badan internasional bagi percepatan
pemulihan perekonomian nasional dan sekaligus mengupayakan pulihnya kepercayaan
internasional terhadap tekad dan kemampuan Pemerintahan baru untuk mengatasi
krisis multidimensional yang sedang Indonesia hadapi saat ini. Dalam kaitan ini
yang perlu diwaspadai adalah munculnya pertentangan persepsi di antara
komponen-komponen bangsa mengenai berbagai isu nasional yang bukan hanya
memperburuk citra Indonesia di mata dunia, bahkan dapat mengancam keutuhan.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan luar
negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang
sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia
yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia
antara lain ditandai dengan krisis moneter/ekonomi yang parah hingga
mengharuskan adanya keterlibatan yang lebih intensif dari negara-negara donor
guna membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Krisis ini dengan segera menjadi
pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis
kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia. Dampak
langsung dari berbagai krisis tersebut adalah jatuhnya citra Indonesia di mata
internasional yang kian mempersulit upaya pemulihan kondisi politik, ekonomi
dan sosial budaya.
Di lingkup internasional,
perubahan-perubahan mendasar dalam dinamika internasional dan globalisasi saat
ini dicirikan antara lain, perubahan sistem politik global dari bipolar ke
multipolar; menguatnya interlinkages antara forum global, interregional,
regional, subregional dan bilateral; meningkatnya peranan aktor-aktor
non-negara dalam hubungan internasional; dan munculnya isu-isu baru di dalam
agenda internasional seperti HAM, demokratisasi, lingkungan hidup dan sebagainya
yang dampak utamanya adalah semakin kaburnya batas dan kedaulatan negara dalam
pergaulan antarbangsa.
Dalam pelaksanaanya, kebijakan luar
negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang
sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia
yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan kebijakan luar negeri
Indonesia antara lain ditandai dengan krisis moneter/ekonomi yang parah hingga
mengharuskan adanya keterlibatan yang lebih intensif dari negara-negara donor
guna membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Krisis ini dengan segera menjadi
pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis
kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia. Dampak
langsung dari berbagai krisis tersebut adalah jatuhnya citra Indonesia di mata
internasional yang kian mempersulit upaya pemulihan kondisi politik, ekonomi
dan sosial budaya.
Bagi Departemen Luar Negeri sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia di fora intenasional, sikap pemerintah yang lebih aspiratif terhadap tuntutan rakyat membuka peluang untuk digulirkannya berbagai prakarsa serta terobosan baru guna mengupayakan penyelesaian berbagai masalah yang menjadi pusat perhatian di dalam hubungan luar negeri. Untuk menyikapi tuntutan rakyat tersebut khususnya dalam hal masalah kelautan indonesia, maka Negara mengeluarkan beberapa kebijakan menyangkut masalah perairan Indonesia.
Penerapan kebijakan perairan seperti pelarangan bagi negara-negara yang melintasi Indonesia untuk mengambil kekayaan laut yang dimiliki Indonesia baik dalam jumlah besar maupun dalam jumlah besar karena hal itu melanggar UU negara Indonesia. Indonesia sendiri menyadari akan potensi sumber daya laut yang dimilikinya dan memberikan perhatian khusus terhadap perairan yang ada di Indonesia.
Bagi Departemen Luar Negeri sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia di fora intenasional, sikap pemerintah yang lebih aspiratif terhadap tuntutan rakyat membuka peluang untuk digulirkannya berbagai prakarsa serta terobosan baru guna mengupayakan penyelesaian berbagai masalah yang menjadi pusat perhatian di dalam hubungan luar negeri. Untuk menyikapi tuntutan rakyat tersebut khususnya dalam hal masalah kelautan indonesia, maka Negara mengeluarkan beberapa kebijakan menyangkut masalah perairan Indonesia.
Penerapan kebijakan perairan seperti pelarangan bagi negara-negara yang melintasi Indonesia untuk mengambil kekayaan laut yang dimiliki Indonesia baik dalam jumlah besar maupun dalam jumlah besar karena hal itu melanggar UU negara Indonesia. Indonesia sendiri menyadari akan potensi sumber daya laut yang dimilikinya dan memberikan perhatian khusus terhadap perairan yang ada di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMUPULAN
Sejarah
pangan laut di Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu begitupun teknologinya
yang berkembang seiring munculnya kerajaan kerajaan yang ada di Indonesia.
Dengan beragamnya jenis hasil laut Indonesia telah memunculkan bangsa asing
untuk berusaha menguasai hasil laut Indonesia. Hasil pengolahan laut yang sudah
umum ada sejak dulu adalah terasi dan garam yang biasanya di produksi oleh para
nelayan yang tinggal disekitar pesisisr laut Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia, berbagai
jenis ikan dan kerang tidak hanya ditangkap dan langsung dimakan, namun juga
ada kemajuan untuk mengemas produk tangkap kelautan itu sebagai bahan pangan
yang awet.
Dengan
perkembanagan zaman yang semakin maju setelah masa kekuasaan dari VOC,
Indonesia mampu memperbaiki pada sistem hasil lautnya dengan mengolah pangan
laut dengan berbagai teknologi yang dikembangkan, namun disamping berkembangnya
kemajuan pangan laut pun mengalami keterpurukan dengan iklim yang semakin
berubah dan mengancam punahnya keanekaragaman laut Indonesia. Dan kerusakan
akibat bom laut yang belakangan sering muncul di Indonesia bisa menyebabkan
punahnya pula keanekaragaman yang ada.
3.2 SARAN
Pemerintah
seharusnya lebih memperhatikan sumber panagn khususnya dari laut, karena
melihat dari kondisi alam Indonesia yang sebagian besar adalah maritim bisa
memajukan perkembangan pangan di sektor bahari nya.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
J.L. “Piracy in the Eastern Seas, 1870-1850: Some Economic Implications”, dalam D.J.
Starkey, E.S. van Eyck van Heslinga, J.A. de Moor (eds).
1997. Pirates and Privateers: New Perspectives on the War on Trade in
the Eghteenth and Nineteenth Century. Exeter, Devon:
University of
Exeter Press.
Chauduri,
K.N. 1989. Trade and Civilization in Indian Ocean: An Economic History from the Rise of
Islam to 1750.
Cambridge: Cambridge University Press.
Economische
Berichten uit de Archipel”, Enonomisch Weekblad 14 (1) (December 1947)
13.
Knaap, Gerrit J.
“A Forgotten Trade: Salt in Southeast Asia 1670-1813”, dalam: Gerrit J. Knaap, Luc Nagtegaal, Roderick Ptak
(eds). 1991. Emporia, Commodities and Enterpreneurs in Asian Maritime Trade, C.
1400-1750 . Wiesbanden:
Steiner.
Knaap,
Gerrit J. 1996. Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade in Java around 1775. Leiden: KITLV
Press.
Manguin,
Pierre-Yves. “The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleet in Trade and War (Fifteenth
to Seventeenth Centuries)”, dalam A. Reid (ed.). 1993. Southeast
Asia in the
Early Modern Era: Trade, Power, and Belief. Ithaca-London:
Cornell University
Press.
Ramli, “Program
Agromenirepolitan: Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir”, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi Pertanian pada
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara. Medan, 5 April 2008.
Reid,
Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680; Jilid I: Tanah di Bawah
Angin (terjemahan
Mochtar Pabotinggi). Jakarta: Obor.
Semedi,
Pujo. 2003. Close to the Stone, Far from the Throne: The Story of A Javanese `Fishing Community 1820s-1990s. Yogyakarta: Benang
Merah.
Stibbe,
D.G. 1921. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indiƫ, Tweede Druk, Vierde Deel. Gravenhage-Leiden:
Martinus Nijhoff-E.J. Brill.
Vital
Statistics under the Japanese Rule”, Economic Review of Indonesia 1 (4) (1947) 18.
MODERATOR: ADE (KEL 5)
1.
SONYA
(KEL 5)
Restrukturisasi,
bagaimana metode yang dilakukan?
2.
Ayen
Nita (Kel 3)
Banyak pemodal
asing, sama kah pajak perusahaan dalam negeri dengan asing?
Bagaimana
kebijakan pemerintah dlm memperhatikan nelayan kecil?
Aksesibilitas,
kenapa pangan laut (seafood) mahal?
3.
Zulkifli
(Kel
Program
intensifikasi dan ekstensifikasi masa orde baru?
4.
Rendi
(
Upaya pemerinta
dalam menangani ekplorasi bahari?
Bagaimana
ekplorasi daerah terpencil
5.
Salsa
(
Paus yg
dimanfaatkan, bagaimana jenis paus yg dilarang dunia?
6.
Astrid
(Kel 10)
Dizaman apa Indonesia
mencapai zaman kejayaan dibidang bahari? Kenapa dan bagaimana caranya?
Mevi:
Banyaknya
pencurian, pengrusakan, eksploitasi bahari, bagamaana kontrol bahari Indonesia
?
Rekomendasi
tentang ketahanan pangan bahari?
Harus
ada sebuah road map yang membagi wilayah indonesia dalam hal eksplorasi bahari.
Ada bahari dalam pemanfaatan laut, wilayah mana bahari ikan (ikan banyak
macamnya), pariwisata, ada daerah bahari yang dijadikan taman laut,
penangkaran, misalnya daerah perbatasan itu daerah larangan ekspolorasi bahari
(dilihat dari daerahnya, keadaan lautnya, ombaknya, kecenderungan alamnya,
iklim dan cuacanya\
Perbankan
tidak pernah mau memberi kredit kepada nelayan
KELOMPOK 6 / JMP A
Desi sugianti J3E111014
Suci saelan AB J3E111068
Annisa Naila Tami J3E111043
Humaira rahma J3E111096
Myrawati armen J3E111126
Arsy novia S J3E211158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar