Minggu, 20 Oktober 2013

SEJARAH PANGAN DALAM BIDANG BAHARI


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Total luas laut Indonesia seluas 3,544 juta km2 (perikanan dan kelautan, dalam angka 2010). Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang kedua didunia setelah Kanada dengan panjang 104 ribu km (Bakokorsunal, 2006). Selain garis pantai yang panjang, Indonesia memiliki jumlah pulau terbanyak yaitu 17.504 pulau yang tersebar dari sabang sampai merauke (kemendagri, 2008). Sayangnya potensi sumber daya alam di lautan yang begitu besar ini belum mendapat perhatian yang proporsional dan belum dimanfaatkan secara optimal  terutama sebagai salah satu sumber pangan.
Pengabaian terhadap sektor kelautan dan perikanan memprekondisikan bahwa meskipun masyarakat pantai memiliki potensi kekayaan alam yang cukup besar baik berbagai jenis flora dan fauna laut, serta potensi keindahan alam yang merupakan sumber ekonomi dan modal dasar dalam menyejahterakan masyarakat belum dapat diharapkan secara penuh. Potensi kekayaan alam yang berlimpah belum dapat diandalkan sebagai pemicu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, telah terjadi paradoks, wilayah pantai yang kaya dengan sumber daya alam tetapi belum dapat menyejahterakan masyarakat pesisir terutama nelayan kecil yang selalu miskin dan bahkan seringkali dijadikan sebagai simbol kemiskinan (Semedi, 2003:301; Ramli, 2008:2).

1.2 Tujuan

     Penulisan makalah ini bertujuan untuk membuka wawasan pembaca mengenai sejarah pangan hasil laut beserta potensinya.

1.3 Rumusan masalah

1.      Membahas Bagaimana sejarah pangan laut
2.      Apa saja perusakan yang dilakukan terhadap laut
3.      Bagaimana upaya pemerintah yang dilakukan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah pangan laut


Pemanfaatan sumber daya laut sebagai bahan pangan barang kali sudah dilakukan oleh berbagai komunitas historis yang mendiami pulau-pulau di Nusantara sejak ribuan tahun yang lalu. Hal itu mudah dipahami mengingat bahwa sebagai penghuni kawasan laut tentunya mereka sangat akrab dengan dunia laut. Peninggalan arkeologis dari Zaman Batu Pertengahan (messolithikum) yang disebut sebagai kjokkenmoddinger atau secara harafiah diterjemahkan sebagai sampah dapur, yaitu sampah-sampah dapur yang sudah memfosil yang berasal dari kulit kerang dan tulang berbagai binatang laut yang merupakan sisa-sisa makanan jaman batu, menunjukkan betapa nenek moyang bangsa Indonesia dahulu sudah memanfaatkan sumber daya laut sebagai bahan makanan mereka.
Keakraban nenek moyang bangsa Indonesia dengan dunia laut juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa sejak jaman prasejarah, penduduk kepulauan Nusantara merupakan pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Bahkan menurut penelitian antropologis dan etno-linguistik, persebaran nenek moyang bangsa Indonesia ke arah barat diyakini telah mencapai pantai timur Afrika dan pulau Madagaskar dengan menggunakan perahu-perahu bercadik.
Kemampuan untuk menguasai dunia laut ini akan menjadi kekuatan besar ketika sebuah komunitas tersebut mampu mengembangkan teknologi yang maju. Hal ini dapat dilihat dari kemunculan kerajaan Sriwijaya sebagai kekuatan maritim utama di Asia Tenggara dengan menguasai teknologi pelayaran dan perkapalan yang digunakan untuk berdagang dan mengontrol keamanan perairan sekitar Selat Malaka. Sementara itu, komunitas di pedalaman juga mengalami perkembangan yang pesat setelah memakan waktu yang lebih lama untuk membangun sistem sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang solid dengan dasar feodalisme. Dengan organisasi sosial yang kuat inilah mereka mampu membangun surplus pangan yang dapat digunakan untuk membangun monumen-monumen keagamaan yang besar.
Hal yang sangat menarik adalah jika terjadi sinergitas antara kekuatan daratan dengan kekuatan laut. Barangkali hal itu dapat dilihat dari potret kerajaan Majapahit. Kerajaan ini tidak semata-mata mengembangkan satu sektor ekonomi saja tetapi mengembangkan kedua sektor itu secara simultan dan saling memperkuat. Apa yang menjadi kunci suksesnya adalah kemampuan untuk memproduksi barang atau komoditi baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan ekspor dan kemampuan armada negara untuk mengontrol dan mengamankan wilayah laut serta armada dagang yang mampu melayani arus perdagangan baik dalam skala lokal maupun internasional.
Angkatan laut Majapahit mampu untuk mengontrol wilayah dan lalu lintas laut di sekitar Selat Malaka yang merupakan pintu gerbang perdagangan internasional di kawasan ini. Pada saat yang sama, kerajaan itu mampu memproduksi dan menjual komoditi perdagangan yang dibutuhkan oleh pasar. Di satu sisi para pedagang dan pelaut dapat memperoleh keuntungan, sedangkan pemerintah dapat menarik pajak dan berbagai pendapatan yang terkait dengan kegiatan perdagangan dan para pemilik kapal memiliki peluang untuk mengembangkan investasi mereka menjadi usaha yang lebih besar.

2.1.1 Masalah tekonologi, ekonomi dan Pemanfaatan sumber daya laut

            2.1.1.1 masalah teknologi dan kemajuannya


Pemanfaatan sumber daya pangan yang ada di laut masih menjadi masalah yang harus di hadapi oleh bangsa indonesia, yaitu terbatasnya masyarakat indonesia dalam mengkonsumsi hasil laut.  Hal ini barangkali juga terkait dengan kemajuan teknologi, khususnya teknologi penangkapan dan pengawetan. Oleh karena itu, meskipun pemanfaatan produk laut sebagai bahan pangan sudah dikenal sejak zaman batu, namun selama ribuan tahun belum berkembang sebagai komoditas dagang yang penting.
Sejalan dengan perkembangan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia, berbagai jenis ikan dan kerang tidak hanya ditangkap dan langsung dimakan, namun juga ada kemajuan untuk mengemas produk tangkap kelautan itu sebagai bahan pangan yang awet. Jenis-jenis ikan tertentu dibuat menjadi terasi sebagai bumbu penyedap masakan yang sangat digemari. Mereka juga mengawetkan ikan segar menjadi ikan asin dan ikan kering. Hal ini sejalan dengan kemampuan mereka untuk melakukan budidaya garam. Dengan adanya kemajuan teknologi pengawetan ini, produk makanan laut tidak hanya dimakan sesaat tetapi juga dapat diperdagangkan, yaitu dalam bentuk komoditas terasi, ikan asin, dan garam. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di Asia Tenggara, beras (produk pertanian), garam, dan ikan (produk kebaharian) merupakan komoditi yang paling banyak diperdagangkan dan ikan merupakan salah satu bahan pangan pokok masyarakat (Reid, 1992:6).
Garam dibuat di berbagai kawasan pantai di Nusantara, seperti di Maluku, pantai Utara Jawa antara Juwana dan Surabaya. Para pelayar Belanda awal menceritakan bahwa garam sudah menjadi konsumsi dan komoditi yang sangat terkenal. Para pedagang mengangkut garam dari berbagai wilayah di pantai utara Jawa ke Sumatera. Bahkan Knaap mengatakan bahwa garam merupakan produk kebaharian yang bukan hanya untuk skala lokal tetapi merupakan komoditi yang diperdagangkan dalam skala regional di kawasan Asia Tenggara (Knapp, 1991:127-157).
Salah satu komoditi dan sekaligus bahan pangan yang berasal dari sumber daya laut adalah terasi. Meskipun pada saat ini barangkali terasi merupakan bahan pangan yang tidak populer di kalangan tertentu, namun pada zaman dahulu produk ini sangat terkenal luas di kalangan masyarakat kepulauan. Terasi merupakan salah satu jenis makanan yang berasal dari sumber daya  laut yang paling digemari di Asia Tenggara dan Indonesia pada khususnya. Pada waktu itu terasi dibuat dari ikan kering yang ditumbuk dan dibasahi, kemudian diiris-iris sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Oleh karena merupakan salah satu jenis makanan yang favorit dan tidak semua daerah menghasilkan komiditi ini, maka terasi juga menjadi komoditi yang diperdagangkan di mana-mana baik pada masyarakat pesisir maupun pedalaman. Sambal terasi merupakan salah satu masakan favorit di hampir seluruh kawasan di Asia Tenggara.
Dari uraian di atas dapt diambil garis penting jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pemanfaatan sumber daya bahari sebagai bahan pangan sudah dilakukan secara luas di dalam masyarakat kepulauan Nusantara. Bahkan pada masa kerajaan Majapahit dapat diketahui secara pasti bahwa masyarakat nelayan sudah tidak hanya menangkap ikan di laut tetapi sudah membudidayakannya di tambak.
Tantangan utama yang dihadapi masyarakat dalam pengolahan dan pemanfaatan bahan pangan bahari adalah masalah keawetan (durability). Jenis-jenis ikan merupakan bahan pangan yang cepat basi. Oleh karena itu, sejalan dengan kemajuan pengalaman dalam pemanfaatan dan pengolahan sumber daya pangan bahari mulai ditemukan cara-cara untuk mengawetkannya agar dapat memiliki durabilitas yang lama sehingga dapat disimpan dan dikonsumsi untuk jangka waktu yang lebih panjang. Dengan menggunakan garam, mereka dapat mengawetkan ikan melalui penggaraman dan pengeringan. Selain itu, penemuan teknologi pembuatan terasi juga merupakan terobosan tertentu yang memungkinkan sumber daya pangan bahari dapat dikonsumsi masyarakat secara luas.
Dengan penemuan teknologi pengawetan terhadap bahan pangan bahari ini, perdagangan produk bahan pangan bahari juga semakin meluas tidak hanya terbatas di daerah pantai saja tetapi juga jauh mencapai daerah pedalaman.

            2.1.1.2 Masalah ekonomi, mayarakat dan perkembangannya


Semenjak awal abad XVI, bangsa-bangsa Barat mulai datang di perairan Nusantara. Setelah kedatangan mereka, ada kecenderungan aktivitas perdagangan mengalami proses militerisasi, apalagi ketika Portugis mengumumkan Perang Salib di lautan‟[1] (Chauduri, 1989:15). Hal ini menjadikan kawasan perairan Indonesia sebagai arena pertarungan yang semakin seru dari berbagai kekuatan maritim lokal dan internasional.
Datangnya banyak bangsa Barat di perairan Indonesia menyebabkan kawasan Indonesia menjadi battlefield[2] di antara kekuatan-kekuatan yang bersaing. Tidak mengherankan jika periode ini selalu diwarnai dengan persaingan, konflik, dan peperangan laut yang tak terhitung jumlahnya. Pada prinsipnya perang yang terjadi pada periode ini merupakan perang memperebutkan monopoli perdagangan.Meskipun para penguasa menerapkan prinsip laut bebas, namun mereka memiliki monopoli atas perdagangan komoditi tertentu. Para penguasa memanfaatkan kekuasaan dan fasilitasnya untuk ikut ambil bagian penting dalam perdagangan.
Peperangan laut pada periode ini pada hakikatnya merupakan perang memperebutkan monopoli. Tanpa monopoli mereka akan gulung tikar karena kebebasan perdagangan belum dijamin oleh hukum internasional. Perdagangan bisa menghalalkan segala cara termasuk perompakan (Anderson, 1997:88-89).Sistem perdagangan yang dipersenjatai (armed-trading system) yang telah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Barat menyebabkan para pelaut lokal semakin tersingkir (Manguin, 1993 :198-199). Dalam hubungan itu, akhirnya VOC memperoleh kemenangan yang gemilang di beberapa daerah di Nusantara.
Belanda memaksakan monopoli kepada orang Eropa lain dan kepada masyarakat pribumi. Di samping itu, VOC juga memaksakan hak pembelian kepada pedagang dan petani untuk pasar Amsterdam. Dengan demikian, tidak ada p``asar bebas tempat para pertani dapat menjual produk mereka dengan harga yang lebih tinggi.Dengan cara demikian, VOC mempermiskin daerah luar Jawa, menghancurkan perdagangan masyarakat setempat tanpa membangkitkannya kembali (Nagtegaal, 1996:21).
Di Jawa, VOC juga menguasai teritorial sebagai imbalan atas jasanya dalam „menyelesaikan‟ konflik-konflik di kerajaan-kerajaan Jawa. Setelah menguasai teritorial, VOC memperlakukan wilayah-wilayah itu sebagaimana layaknya aset perdagangan yang memberikan keuntungan kepada VOC sebagai perusahaan dagang. Dengan cara memanfaatkan ikatan-ikatan tradisional yang ada, VOC memberlakukan kerja wajib bagi penduduk di daerah yang dikuasainya, memaksa penyerahan wajib, dan memonopoli serta penyewaan terhadap wilayah ataupun bidang bisnis tertentu dalam rangka memperoleh uang bagi perusahaan. Sementara itu, di dunia kelautan Belanda menerapkan monopoli perdagangan dan menguasai pelabuhan-pelabuhan sebagai urat nadi perekonomian. Dalam konteks pemanfaatan sumber daya kelautan, VOC juga melakukan monopoli budidaya dan perdagangan garam serta mengontrol usaha perikanan.
Setelah secara langsung menguasai berbagai wilayah yang memiliki laut, VOC sebagai badan dagang yang selalu haus keuntungan menyewakan atau memborongkan pelabuhan pendaratan ikan. Sebagaimana yang terjadi pada properti VOC di daratan, para pachter[3] biasanya terutama terdiri dari orang-orang Cina, orang Eropa swasta, dan orang-orang timur asing lainnya.
Namun demikian, terdapat informasi bahwa penyalahgunaan leasing ini tampaknya sering terjadi. Oleh karena para pachter ini merasa sudah membayar borongan itu kepada VOC maka seringkali para pachter itu mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka bisa melakukan itu karena VOC memberikan otoritas yang besar kepada para pachter untuk mengeksploitasi penduduk. Para pachter yang memborong pengelolaan pelabuhan perikanan dan memonopoli penyediaan alat-alat tangkap, biasanya menuntut syarat-syarat penyerahan jenis-jenis ikan yang terbaik dan terbesar dari para nelayan yang berada di bawah kekuasaannya dan nelayan-nelayan lain yang ingin mendaratkan ikan-ikannya di pelabuhan pendaratan tersebut. Tempat pendaratan ikan biasanya juga berfungsi sebagai pasar ikan tempat para konsumen dan pedagang sudah menunggu.
Dengan adanya sistem pachter ini menyebabkan akses nelayan kecil menjadi semakin terpinggirkan dan akibatnya kemungkinan terjadi penurunan konsumsi ikan di kalangan masyarakat bawah. Namun demikian dari sumber-sumber sejarah yang ada, pada masa VOC ini produk-produk pangan kelautan seperti garam dan ikan asin merupakan komoditiyang ramai diperdagangkan (lihat Knapp, 1996).
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan semakin intensifnya VOC melakukan eksploitasi di pedalaman yang melibatkan jumlah tenaga kerja yang semakin besar, maka kebutuhan ikan asin dan ikan kering sebagai lauk yang merupakan sumber protein juga tentunya mengalami peningkatan. Padahal di sisi lain dengan adanya sistem pachter ini nelayan-nelayan kecil yang jumlahnya lebih besar juga mengalami penurunan karena kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan adanya sistem sewa. Dalam kaitan itu sekitar pertengahan abad ke-18 VOC melakukan penyelidikan mengenai upaya-upaya untuk perbaikan-perbaikan perikanan laut untuk para pribumi, terutama untuk peningkatan produksi ikan segar dan ikan asin serta ikan kering. Hal itu untuk mengurangi impor ikan dari Kamboja, Siam, Macao, Manila, Cina, dan berbagai tempat lain yang cukup besar (Stibbe, 1921:574).
Kemunduran tersebut tampaknya tidak bisa dicegah dan berlangsung terus selama periode berikutnya. Banyak faktor yang terkait dengan kemunduran, di samping karena sistem pachter juga ada tekanan dari pemerintah kolonial terhadap masyarakat untuk bergelut di sektor pertanian melalui proyek Cultuur Stelsel dan selanjutnya sistem ekonomi liberal yang membuka seluas-luasnya usaha-usaha perkebunan di kawasan pertanian. Selain itu, ekspansi impor ikan dari negara-negara sekitar juga tentu menyusutkan usaha perikanan rakyat. Pada tahun 1870 terdapat sekitar 37.000 kapal dan perahu penangkap ikan dengan volume sekitar 620.000 M³ dengan awak kapal/perahu sebanyak 550.000 orang dengan nilai sekitar 60 juta gulden. Sementara itu pada akhir abad ke-20 ketika muncul isu mengenai kemunduran kemakmuran rakyat pribumi, jumlah kapal/perahu menurun menjadi sekitar 16.000 dengan volume sekitar 200.000 M³ dengan jumlah nelayan sekitar 200.000orang dan dengan nilai 20 juta gulden (ibid.). Jadi paradoks mulai terjadi, sebuah kawasan yang terdiri dari lebih 70 persen berupa laut tetapi harus mengimpor ikan.
Meskipun telah terjadi kemunduran dalam usaha perikanan pribumi, bukan berarti jumlah konsumsi ikan mengalami penurunan. Barangkali persoalannya hanya siapa yang mampu menguasai bisnis perikanan: para nelayan lokal ataukah pedagang impor yang dapat mengambil keuntungan besar karena dapat memasok kebutuhan ikan masyarakat lokal dengan harga yang lebih murah. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan impor ikan, terutama ke Jawa, yang terus mengalami kenaikan. Jika tahun 1876 nilai impor ikan ke Jawa per tahun hanya sebesar f 2.000.000,00 maka pada tahun 1916 telah meningkat menjadi f 9.000.000,00. (Widodo, 2001:253). Jadi dengan kemunduran usaha perikanan pribumi belum berarti kemerosotan dalam pemanfaatan potensi bahari sebagai bahan pangan. Impor ikan, terutama ikan kering, sangat dibutuhkan bagi masyarakat pedalaman untuk konsumsi bagi tenaga kerja yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan.
Meskipun telah terjadi paradoks antara potensi alamiah kepulauan Indonesia yang didominasi oleh keberadaan laut dengan kemunduran usaha perikanan pribumi serta adanya ekspansi impor ikan yang semakin meningkat, namun pemerintah kolonial Belanda semakin menyadari bahwa ternyata sektor perikanan memiliki nilai strategis baik dalam kaitannya dengan permintaankonsumsi penduduk yang sangat besar.
Pengembangan sektor perikanan juga dilakukan melalui restrukturisasi birokrasi perikanan. Sejak tahun 1914, sektorperikanan tidak lagi ditangani oleh Departemen Dalam Negeri tetapi berada di bawah Departemen Pertanian, Perdagangan dan Industri (Departement van Landbouw, Handel, en Nijverheid). Sejak itu upaya-upaya untuk motorisasi kapal/perikanan mulai dilakukan. Selain itu, berbagai pelabuhan perikanan juga dibangun, seperti di Sarang (Residensi Rembang) dan Pasuruan pada tahun 1920, tidak untuk diborongkan kepada “orang partikelir”[4] namun dikelola oleh pemerintah. Selain itu pemerintah kolonial juga mendatangkan ahli-ahli perikanan dari negeri Belanda, pemberian kredit kepada nelayan, pemberian kesempatan kepada inisiatif swasta untuk mendirikan perusahaan perikanan, dan sebagainya.Sementara itu untuk mengurangi ketergantungan Jawa terhadap impor ikan, maka pemerintah kolonial juga mendorong pembukaan tambak-tambak di pantai utara Jawa. Selain itu usaha tambak ini juga meningkatkan pendapatan pajak bagi pemerintah (Stibee, 1921:575).
Dalam sejarah tercatat bahwa dalam masyarakat, ikan atau iwak (dalam bahasa Jawa) merupakan menu pendamping namun sangat penting. Tanpa ada pendamping ikan, maka masyarakat tidak dapat menikmati nasi dengan enak.Ikan yang dikonsumsi oleh penduduk dapat berupa baik ikan segar maupun ikan kering dan/atau diasinkan tergantung kepada situasi. Ikan laut segar biasanya dikonsumsi oleh masyarakat pantai yang dekat dengan laut atau daerah-daerah sekitarnya yang tidak membutuhkan waktu yang lama untuk pengangkutan ikan segar. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa pengangkutan belum dapat berjalan dengan cepat karena kondisi jalan dan alat transportasi modern sendiri yang masih langka, sementara itu alat pengawet seperti es (cold storage) belum berkembang secara populer.
Selain itu, pengaweten ikan juga dilakukan dengan cara pengasapan (pemanggangan) yang tidak selalu harus menggunakan garam. Selain di Jawa, model pengawetan ikan semacam ini juga dapat dijumpai di Kalimantan, Sulawesi (khususnya di Manado). Sementara itu, untuk hasil tangkapan yang beraneka macam ikan (rucah) yang tidak langsung dibeli oleh konsumen biasanya kemudian dibuat menjadi ikan asin kering yang sering disebut gereh, pethek, ataupun balur.
Masalah lainnya memacu kepada Ancaman  Perubahan Iklim  Terhadap Ketersediaan Pangan Di  Indonesia. Saat ini perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia. Semakin banyak terjadi fenomena penyimpangan cuaca seperti badai, angin ribut, hujan deras, serta perubahan musim tanam. Belum lagi ancaman badai tropis, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, meningkatnya potensi kebakaran hutan, punahnya berbagai jenis ikan dan rusaknya terumbu karang, sertakrisis air bersih, bahkan peningkatan penyebaran penyakit parasitik seperti Malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD), serta terjadi peningkatan insiden alergi, penyakit pernafasan dan radang selaput otak ((encephalitis).(Vivi , 2008 )
   Perubahan iklim diperkirakan akan mengancam ketersediaan bahan makanan di seluruh penjuru dunia pada tahun 2100. Menurut Prof David Battisti dari University of Washington, Seattle, pemanasan global akan mengurangi produksi pertanian baik di wilayah tropis maupun subtropis. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), mengeluarkan peringatan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dapat menurunkan hasil pangan dan menimbulkan kelaparan diberbagai belahan bumi ini. Akibat dari pemanasan global ini bukan hanya menurunkan produksi pangan, tetapi dapat mengakibatkan menurunnya luas lahan pertanian dan meningkatkan berbagai hama dan penyakit Global warming sangat mempengaruhi prespitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat mencolok secara keseluruhan yang dapat mengancam keberhasilan produksi pangan. Kajian yang dilakukan oleh National Academy ofScience/NAS yang dilakukan pada tahun 2007 di bidang pertanian mengenai dampak perubahan iklim  Indonesia adalah negara agraris dengan tingkat produktivitas yang rawan mengalami gangguan akibat dampak global warming ini. Sementara itu, secara global, dengan luas wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia, posisi Indonesia sangat menentukan kondisi iklim dunia.

Di Indonesia, pengaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektare, yang 328.447 hektare di antaranya gagal panen.

Rosamond Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari Stanford University, melansir anomali cuaca El Nino, yang diperburuk oleh pemanasan global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali karena mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa kekeringan Juli-September nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi memadai. Sebelumnya, pada 2002, Rasamond Naylor, Water Falcon, dan kawan-kawan telah melakukan penelitian tentang "penggunaan data klimatologi El Nino/Osilasi Selatan untuk memprediksi produksi dan perencanaan kebijakan pangan Indonesia". Penelitian ini menyebutkan bahwa anomali iklim pada El Nino dapat mengurangi produksi padi hingga 4,8 juta ton gabah atau setara dengan 2,88 juta ton beras.   Panel on Climate Change dalam laporan yang berjudul "Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007 menyimpulkan perubahan iklim semakin mengancam produksi pangan Indonesia.
Dampak global warming  ( perubahan iklim )sudah nyata pengaruhnya terhadap pertanian berupa penurunan produksi pangan  kemudian tentunya akan berimbas pada ketersedian pangan nasional . Sehingga kedepannya sudah menjadi keharusan / komitmen bagi pemerintah untuk intensif dalam memperhatikan akan permasalahan  hal ini . Sehingga kita nantinya  bisa lepas dari  ancaman kekurangan stok pangan di masa mendatang.

            2.1.1.3 Pemanfaatan lainnya sumber laut indonesia


Selain digunakan sebagai bahan makanan, sumber daya pangan kelautan juga digunakan untuk kepentingan lain. Ikan hiu dan beberapa jenis ikan besar seperti paus yang terdapat di kawasan pantai Priangan, Sumatra, Sulawesi dan Maluku ditangkap dan diambil minyaknya. Di kawasan Sumatra dan Sulawesi, kulit ikan pari dikeringkan dan digunakan untuk membuat kerajinan. Sementara itu sisik ikan digunakan untuk bahan hiasan pembuatan tutup kepala dan bagian-bagian tertentu dari pakaian. Di Balangnipa, sisik ikan digunakan sebagai campuran untuk pupuk. Di Singkawang (Kalimantan), beberapa jenis ikan tertentu dijadikan sebagai bahan obat-obatan yang dapat dengan mudah ditemukan di toko-toko obat Cina. Di Maluku, jenis ikan kuda laut digunakan sebagai jimat dan dipercaya dapat membangkitkan gairah seksual. Ikan-ikan kecil jenis tertentu juga bisa dikeringkan seperti ikan teri dan sebagian lain juga bisa digunakan untuk memancing ikan yang lebih besar (ibid.).
Salah satu produk perikanan yang memiliki nilai jual yang tinggi dan permintaan pasar yang besar adalah teripang. Permintaan yang sangat besar terhadap produk perikanan ini adalah dari Cina sehingga memiliki nilai-nilai bisnis internasional dalam konteks perdagangan dengan Inggris. James Waren yang memfokuskan kajiannya pada respons lokal terhadap proses globalisasi ekonomi perdagangan, terutama antara Inggris dan Cina sangat menarik dalam mengkaji konteks global dari perdagangan teripang. Teripang dan sirip ikan hiu ini menjadi menu sangat prestisius di berbagai restoran.

2.2 Perusakan yang dilakukan


Enam dekade setelah kemerdekaan, kita menyaksikan terjadinya proses perusakan dan pemiskinan terhadap sumber daya pangan kebaharian baik yang berupa polusi, perusakan terumbu karang, over fishing,dan sebagainya (Waddel, 2009:172-194).
Selama masa pendudukan Jepang telah terjadi perpaduan yang aneh antara represi rezim militer, propaganda simpatik untuk mencari dukungan, dan eksploitasi sumber daya alam. Mobilisasi tenaga kerja secara besar-besaran dalam rangka kepentingan persiapan perang melawankekuatan Sekutu dan penyediaan supply pangan untuk tentara Jepang di medan peperangan di kawasan Samudera Pasifik menyebabkan kehancuran sektor tenaga kerja dan sumber daya alam khususnya pangan. Hal itu tidak hanya terjadi pada sektor pertanian pangan dan perkebunan saja tetapi juga sektor perikanan. Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang itu telah menimbulkan berbagai bencana yaitu kelaparan dan kematian. Pada masa pendudukan Jepang inilah, baru pertama kali dalam sejarah Indonesia modern, penduduk Jawa mengalami penurunan jumlah.Selain itu, bencana kelaparan dan kematian terjadi karena penduduk dipaksa menyerahkan bahan pangan untuk kepentingan Jepang. Akibatnya banyak penduduk yang memakan makanan yang biasanya dimakan oleh binatang (Economic Review of Indonesia, 1947:18).
Selain itu, para nelayan diharuskan untuk menyerahkan sebagian dari hasil tangkapan kepada pemerintah Jepang untuk kepentingan mereka. Kemungkinan besar konsumsi penduduk terhadap sumber daya pangan hasil laut juga menurun karena tekanan-tekanan eksploitasi dan penghancuran terhadap sarana dan prasarana perikanan. Namun demikian, pada waktu itu sektor perikanan menjadi salah satu bidang ekonomi yang digunakan sebagai jaring penyelamat (safety net) dari kehancuran pangan di sektor agraris terutama pada masyarakat pantai.
Lima tahun pertama setelah Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, kondisi pemanfaatan sumber daya kebaharian untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan tidak mengalami perkembangan yang berarti karena situasi revolusi kemerdekaan dan perang melawan Belanda. Beban pangan dari sektor agraris masih juga berat karena harus menanggung suplai makanan untuk para gerilyawan dan tentara sedangkan petani sendiri tidak memiliki konsentrasi yang baik untuk mengolah lahan pertanian mereka karena suasana perang yang mencekam. Demikian juga sektor pangan hasil laut di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia juga masih belum mengalami perkembangan yang berarti karena hampir semua kawasan pantai berada di bawah kontrol dan/atau blokade angkatan laut Belanda. Demikian juga perdagangan antara daerah pantai dengan daerah pedalaman juga diblokade oleh kekuatan Belanda untuk melumpuhkan para gerilyawan Republik Indonesia di pedalaman. Hal ini berbeda dengan kawasan yang secara langsung berada di bawah pemerintah NICA[5]. Di daerah-daerah pendudukan NICA, kegiatan produksi dan pengolahan ikan sangat digalakkan (lihat Economisch Weekblad, 1947).
Setelah perang usai, pemerintah sebetulnya memiliki kesempatan yang lebih luas untuk membangun diri sebagai bangsa pelaut yang besar sebagaimana yang sering dilontarkan oleh Presiden Sukarno (lihat Indonesian Review, 1951). Namun demikian, karena kurangnya modal untuk membangun sektor perikanan yang modern maka kemajuan sektor ini juga berjalan dengan lamban. Hal itu juga berkaitan dengan belum berkembangnya investasi di bidang perikanan ini, apalagi setelah tahun 1957 Indonesia cenderung menerapkan kebijakan yang tertutup terhadap investasi dari negara-negara kapitalis.

            2.2.1 Pencemaran laut mengancam potensi sumber daya


Pencemaran laut merupakan suatu peristiwa masuknya material pencemar seperti partikel kimia, limbah industri, limbah pertanian dan perumahan, ke dalam laut, yang bisa merusak lingkungan laut. Material berbahaya tersebut memiliki dampak yang bermacam-macam dalam perairan. Ada yang berdampak langsung, maupun tidak langsung. Sebagian besar sumber pencemaran laut berasal dari daratan, baik tertiup angin, terhanyut maupun melalui tumpahan. Salah satu penyebab pencemaran laut adalah kapal yang dapat mencemari sungai dan samudera dalam banyak cara. Misalnya melalui tumpahan minyak, air penyaring dan residu bahan bakar. Polusi dari kapal dapat mencemari pelabuhan, sungai dan lautan. Kapal juga membuat polusi suara yang mengganggu kehidupan organisme perairan, dan air dari balast tank yang bisa mempengaruhi suhu air sehingga menganggu kenyamanan organisme yang hidup dalam air. Bahan pencemar laut lainnya yang juga memberikan dampak yang negatif ke perairan adalah limbah plastik yang bahkan telah menjadi masalah global. Sampah plastik yang dibuang, terapung dan terendap di lautan. Sejak akhir Perang Dunia II, diperkirakan 80 persen sampah plastik terakumulasi di laut sebagai sampah padat yang mengganggu eksositem laut.  Massa plastik di lautan diperkirakan yang menumpuk hingga seratus juta metrik ton. Kondisi ini sangat berpengaruh buruk, dan sangat sulit terurai oleh bakteri. Sumber sampah plastik di laut juga berasal dari Jaring ikan yang sengaja dibuang atau tertinggal di dasar laut.
Limbah kimia yang bersifat toxic (racun) yang masuk ke perairan laut akan menimbulkan efek yang sangat berbahaya. Kelompok limbah kimia ini terbagi dua, pertama kelompok racun yang sifatnya cenderung masuk terus menerus seperti pestisida, furan, dioksin dan fenol. Terdapat pula logam berat, suatu unsur kimia metalik yang memiliki kepadatan yang relatif tinggi dan bersifat racun atau beracun pada konsentrasi rendah. Contoh logam berat yang sering mencemari  adalah air raksa, timah, nikel, arsenik dan kadmium. Ketika pestisida masuk ke dalam ekosistem laut, mereka segera diserap ke dalam jaring makanan di laut. Dalam jaring makanan, pestisida ini dapat menyebabkan mutasi, serta penyakit, yang dapat berbahaya bagi hewan laut, seluruh penyusun rantai makanan termasuk manusia. Racun semacam itu dapat terakumulasi dalam jaringan berbagai jenis organisme laut yang dikenal dengan istilah bioakumulasi. Racun ini juga diketahui terakumulasi dalam  dasar perairan yang berlumpur. Bahan-bahan ini dapat menyebabkan mutasi keturunan dari organisme yang tercemar serta penyakit dan kematian secara massal seperti yang terjadi pada kasus yang terjadi di Teluk Minamata.
Bahan kimia anorganik lain yang bisa berbahaya bagi ekosistem laut adalah nitrogen, dan fosfor. Sumber dari limbah ini umumnya berasal dari sisa pupuk pertanian yang terhanyut kedalam perairan, juga dari limbah rumah tangga berupa detergent yang banyak mengandung fosfor. Senyawa kimia ini dapat menyebabkan eutrofikasi, karena senyawa ini merupakan nutrien bagi tumbuhan air seperti alga dan phytoplankton. Tingginya konsentrasi bahan tersebut menyebabkan pertumbuhan tumbuhan air ini akan meningkat dan akan mendominasi perairan, sehingga menganggu organisme lain bahkan bisa mematikan. Muara merupakan wilayah yang paling rentan mengalami eutrofikasi karena nutrisi yang diturunkan dari tanah akan terkonsentrasi. Nutrisi ini kemudian dibawa oleh air hujan masuk ke lingkungan laut, dan cendrung menumpuk di muara. The World Resources Institute telah mengidentifikasi 375 hipoksia (kekurangan oksigen) wilayah pesisir di seluruh dunia. Laporan ini menyebutkan kejadian ini terkonsentrasi di wilayah pesisir di Eropa Barat, Timur dan pantai Selatan Amerika Serikat, dan Asia Timur, terutama di Jepang. Salah satu contohnya adalah meningkatnya alga merah secara signifikan (red tide) yang membunuh ikan dan mamalia laut serta menyebabkan masalah pernapasan pada manusia dan beberapa hewan domestik. Umumnya terjadi saat organisme mendekati ke arah pantai.
Lautan biasanya menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Karena kadar karbon dioksida atmosfer meningkat, lautan menjadi lebih asam. Potensi peningkatan keasaman laut dapat mempengaruhi kemampuan karang dan hewan bercangkang lainnya untuk membentuk cangkang atau rangka. Kehidupan laut dapat rentan terhadap pencemaran kebisingan atau suara dari sumber seperti kapal yang lewat, survei seismik eksplorasi minyak, dan frekuensi sonar angkatan laut. Perjalanan suara lebih cepat di laut daripada di udara. Hewan laut, seperti paus, cen­derung memiliki penglihatan lemah, dan hidup di dunia yang sebagian besar ditentukan oleh informasi akustik. Hal ini berlaku juga untuk banyak ikan laut yang hidup lebih dalam di dunia kegelapan. Dilaporkan bahwa antara tahun 1950 dan 1975, ambien kebisingan di laut naik sekitar sepuluh desibel (telah meningkat sepuluh kali lipat). Jelas sekarang bahwa sumber pencemaran sangat bervariasi. Tidak hanya dari hal-hal yang menurut kita hanya bisa dilakukan oleh industri besar, namun juga bisa disebabkan oleh aktiftas harian kita.

2.3  Upaya yang dilakukan oleh pemerintah


Pemerintah ingin menerapkan prinsip berdikari termasuk dalam sektor perikanan. Sementara itu pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat juga mengalami stagnasi dan bahkan menjelang terjadinya krisis politik menyusul terjadinya tragedi tahun 1965 mengalami kemunduran dan inflasi yang parah sehingga konsumsi ikan juga tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Titik balik dalam hal investasi modal asing terjadi setelah memasuki pemerintahan Orde Baru. Pada awalnya memang pembukaan kesempatan kepada investasi asing masih sangat malu-malu dan masih mempertimbangkan kepentingan nelayan kecil. Hal itu bisa dilihat dari Undang-Undang No. 1/1967 yang menyatakan bahwa penanaman modal asing tidak boleh mendesak, akan tetapi sebaliknya membantu perikanan lokal khususnya dan pembangunan perikanan pada umumnya. Selain itu, daerah-daerah yang sudah padat dengan pengusahaan perikanan seperti Riau, Sumatra Selatan, Lampung, dan sepanjang pantai utara Jawa ditutup dari investasi modal asing. Hal yang sangat spektakuler adalah bahwa penanaman modal asing dapat dilakukan secara 100 persen dan/atau bisa bekerja sama dengan pihak Indonesia baik dengan perusahaan negara maupun perusahaan swasta (Departemen Maritim, 1967).
Sejalan dengan pembukaan kesempatan yang luas bagi modal asing di bidang perikanan, pemerintah juga melaksanakan berbagai program untuk pengembangan perikanan rakyat. Pemerintah Orde Baru melaksanakan program baik intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui program motorisasi perahu layar, modernisasi alat-alat perikanan, mengembangkan teknik perikanan, menyebarluaskan hasil-hasil penelitian, meningkatkan pendidikan, mengatur pemasaran hasil perikanan rakyat, dan perbaikan sarana dan prasarana perikanan. Sementara itu ekstensifikasi dilakukan dengan melalui program menambah jumlah kapal perikanan, menambah jenis alat penangkapan ikan, memperluas daerah penangkapan, dan penanaman jiwa perikanan fishery minded bagi bangsa Indonesia (Pedoman Bahari, 1968:24-25).
Namun demikian kebijakan pembukaan bagi modal asing tersebut di atas telah menimbulkan berbagai persoalan baru terhadap nelayan kecil yang pada awalnya justru merupakan kelompok yang akan ditingkatkan kesejahteraannya. Dengan beroperasinya banyak perusahaan asing yang memiliki modal kuat dan alat tangkap yang lebih modern dan efektif serta efisien menyebabkan nelayan kecil semakin kehilangan aksesnya untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih baik (lihat Widodo, ibid., hlm. 132-133).
Sejalan dengan pendirian Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 (dahulu bernama Departemen Eksplorasi Kelautan), kinerja sektor perikanan dipacu dengan cepat. Tidak mengherankan jika produksi perikanan Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan statistik antara tahun 2005 hingga 2008, produksi perikanan Indonesia mengalami kenaikan. Penyediaan ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata pertahun 7,78% dari 23,95 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 29,98 kg/kapita/tahun pada tahun 2008. Salah satu target pembangunan perikanan di Indonesia ke depan adalah peningkatan penyediaan ikan untuk konsumsi yang sejajar dengan negara asia lainnya.

            2.3.1 kebijakan Indonesia dalam hal perairan


Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah negara kepulauan terbesar didunia yang terletak di Asia Tenggara, melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Indonesia berbatasan dengan Malaysia di pulau Kalimantan, berbatasan dengan Papua Nugini di pulau Papua dan berbatasan dengan Timor Leste di pulau Timor.Setiap Negara didunia memiliki politik luar negeri yang berbeda satu sama lainnya. Politik luar negeri suatu negara sesungguhnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional maupun internasional. Demikian pula halnya dengan politik luar negeri Indonesia yang tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor, antara lain posisi geografis yang strategis, yaitu posisi silang antara dua benua dan dua samudra; potensi sumber daya alam dan manusia berikut susunan demografi; dan sistem sosial-politik yang sangat mempengaruhi sikap, cara pandang serta cara kita memposisikan diri di fora internasional.
            Indonesia memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar khatulistiwa, memberikan cuaca tropis. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 97°' - 141°45'BT serta terletak di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi 1,9 juta mil². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km², Sumatra dengan luas 473.606 km², Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan luas 421.981 km².
            Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonik yang berarti Indonesia sering terkena gempa bumi dan juga menimbulkan tsunami. Indonesia juga banyak memiliki gunung berapi, salah satu yang sangat terkenal adalah gunung Krakatau, terletak antara pulau Sumatra dan Jawa.
Karena letaknya yang sangat strategi itulah yang membuat Indonesia mengambil tindakan preventif dengan jalan memberlakukan peraturan perundang-undangan terhadap negara-negara asing yang melintasi daerah perairan Indonesia. Sebagai negara dengan posisi seperti tadi membuat Indonesia difungsikan sebagai jalur perdagangan dan pintu masuk antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Banyak negara-negara Eropa yang lebih memilih memanfaatkan jalur perairan Indonesia untuk menuju ke negara-negara Timur karena dengan melaui Indonesia, negara Eropa tersebut tidak perlu lagi berputar dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk menuju ke Autralia ataupun ke negara-negara yang ada di bagian timur.

            Untuk melindungi kedaulatan negaranya, Indonesia mengambil kebijakan untuk memberlakukan aturan-aturan bagi kapal-kapal mancanegara baik kapal dagang maupun kapal militer untuk tidak bertindak semena-mena selama berada di perairan Indonesia.  Ada banyak perubahan-perubahan dalam tata hubungan intemasional yang kini dihadapi politik luar negeri Indonesia diwarnai oleh sejumlah kecenderungan global yang fundamental,yaitu:
• Tampilnya Amerika Serikat (AS) sebagai adidaya politik-militer satu-satunya di dunia yang bersumbu pada kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur;
• Arus globalisasi dan interdependensi semakin menguat, serta adanya saling keterkaitan antara berbagai masalah-masalah global, baik dalam bidang-bidang politik, ekonomi, sosial, keamanan, lingkungan hidup, dan lain,sebagainya;
• Semakin menguatnya peranan aktor non-pemerintah dalam percaturan internasional atau multi-track diplomacy dalam hubungan internasional;
• semakin menonjolnya masalah-masalah transnasional, seperti Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, good governance, dan lingkungan hidup dalam agenda internasional. 
Hal ini pulalah yang membuat Indonesia semakin berhati-hati dalam mengambil berbagai kebijakan baik kebijakan internal maupun ekternal karena hal itu menyangkut kelangsungan hidup bangsa Indonesia sendiri kedepannya. Oleh karena itu, pelaksanaan politik luar negeri pun dengan sendirinya diarahkan pada prioritas mengupayakan dan mengamankan serta meningkatkan kerja sama dan dukungan negara-negara sahabat serta badan-badan internasional bagi percepatan pemulihan perekonomian nasional dan sekaligus mengupayakan pulihnya kepercayaan internasional terhadap tekad dan kemampuan Pemerintahan baru untuk mengatasi krisis multidimensional yang sedang Indonesia hadapi saat ini. Dalam kaitan ini yang perlu diwaspadai adalah munculnya pertentangan persepsi di antara komponen-komponen bangsa mengenai berbagai isu nasional yang bukan hanya memperburuk citra Indonesia di mata dunia, bahkan dapat mengancam keutuhan.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis moneter/ekonomi yang parah hingga mengharuskan adanya keterlibatan yang lebih intensif dari negara-negara donor guna membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia. Dampak langsung dari berbagai krisis tersebut adalah jatuhnya citra Indonesia di mata internasional yang kian mempersulit upaya pemulihan kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya.
            Di lingkup internasional, perubahan-perubahan mendasar dalam dinamika internasional dan globalisasi saat ini dicirikan antara lain, perubahan sistem politik global dari bipolar ke multipolar; menguatnya interlinkages antara forum global, interregional, regional, subregional dan bilateral; meningkatnya peranan aktor-aktor non-negara dalam hubungan internasional; dan munculnya isu-isu baru di dalam agenda internasional seperti HAM, demokratisasi, lingkungan hidup dan sebagainya yang dampak utamanya adalah semakin kaburnya batas dan kedaulatan negara dalam pergaulan antarbangsa.
            Dalam pelaksanaanya, kebijakan luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis moneter/ekonomi yang parah hingga mengharuskan adanya keterlibatan yang lebih intensif dari negara-negara donor guna membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia. Dampak langsung dari berbagai krisis tersebut adalah jatuhnya citra Indonesia di mata internasional yang kian mempersulit upaya pemulihan kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya.

            Bagi Departemen Luar Negeri sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia di fora intenasional, sikap pemerintah yang lebih aspiratif terhadap tuntutan rakyat membuka peluang untuk digulirkannya berbagai prakarsa serta terobosan baru guna mengupayakan penyelesaian berbagai masalah yang menjadi pusat perhatian di dalam hubungan luar negeri. Untuk menyikapi tuntutan rakyat tersebut khususnya dalam hal masalah kelautan indonesia, maka Negara mengeluarkan beberapa kebijakan menyangkut masalah perairan Indonesia.
            Penerapan kebijakan perairan seperti pelarangan bagi negara-negara yang melintasi Indonesia untuk mengambil kekayaan laut yang dimiliki Indonesia baik dalam jumlah besar maupun dalam jumlah besar karena hal itu melanggar UU negara Indonesia. Indonesia sendiri menyadari akan potensi sumber daya laut yang dimilikinya dan memberikan perhatian khusus terhadap perairan yang ada di Indonesia.






















BAB III

PENUTUP


3.1 KESIMUPULAN

            Sejarah pangan laut di Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu begitupun teknologinya yang berkembang seiring munculnya kerajaan kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan beragamnya jenis hasil laut Indonesia telah memunculkan bangsa asing untuk berusaha menguasai hasil laut Indonesia. Hasil pengolahan laut yang sudah umum ada sejak dulu adalah terasi dan garam yang biasanya di produksi oleh para nelayan yang tinggal disekitar pesisisr laut Indonesia. Sejalan dengan perkembangan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia, berbagai jenis ikan dan kerang tidak hanya ditangkap dan langsung dimakan, namun juga ada kemajuan untuk mengemas produk tangkap kelautan itu sebagai bahan pangan yang awet.
            Dengan perkembanagan zaman yang semakin maju setelah masa kekuasaan dari VOC, Indonesia mampu memperbaiki pada sistem hasil lautnya dengan mengolah pangan laut dengan berbagai teknologi yang dikembangkan, namun disamping berkembangnya kemajuan pangan laut pun mengalami keterpurukan dengan iklim yang semakin berubah dan mengancam punahnya keanekaragaman laut Indonesia. Dan kerusakan akibat bom laut yang belakangan sering muncul di Indonesia bisa menyebabkan punahnya pula keanekaragaman yang ada.

3.2 SARAN

            Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan sumber panagn khususnya dari laut, karena melihat dari kondisi alam Indonesia yang sebagian besar adalah maritim bisa memajukan perkembangan pangan di sektor bahari nya.




DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J.L. “Piracy in the Eastern Seas, 1870-1850: Some Economic     Implications”, dalam D.J. Starkey, E.S. van Eyck van Heslinga, J.A. de          Moor (eds). 1997. Pirates       and Privateers: New Perspectives on the        War on Trade in the Eghteenth and            Nineteenth Century. Exeter, Devon:   University of Exeter Press.

Chauduri, K.N. 1989. Trade and Civilization in Indian Ocean: An Economic          History from    the Rise of Islam to 1750. Cambridge: Cambridge             University Press.

Economische Berichten uit de Archipel”, Enonomisch Weekblad 14 (1)       (December 1947) 13.

Knaap, Gerrit J. “A Forgotten Trade: Salt in Southeast Asia 1670-1813”, dalam:    Gerrit J. Knaap, Luc Nagtegaal, Roderick Ptak (eds). 1991.     Emporia,         Commodities and        Enterpreneurs in Asian Maritime Trade, C.                           1400-1750 . Wiesbanden: Steiner.

Knaap, Gerrit J. 1996. Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade in Java     around 1775. Leiden: KITLV Press.

Manguin, Pierre-Yves. “The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleet in        Trade and        War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)”, dalam A. Reid        (ed.). 1993. Southeast             Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and      Belief. Ithaca-London: Cornell           University Press.

Ramli, “Program Agromenirepolitan: Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan            Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir”, Pidato Pengukuhan Guru Besar        Tetap   dalam Bidang Ilmu Ekonomi Pertanian pada Fakultas Ekonomi             Universitas      Sumatra Utara. Medan, 5 April 2008.

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680; Jilid I:         Tanah di Bawah Angin (terjemahan Mochtar Pabotinggi). Jakarta: Obor.

Semedi, Pujo. 2003. Close to the Stone, Far from the Throne: The Story of A         Javanese `Fishing Community 1820s-1990s. Yogyakarta: Benang Merah.

Stibbe, D.G. 1921. Encyclopaedie van Nederlandsch-IndiĆ«, Tweede Druk, Vierde   Deel.    Gravenhage-Leiden: Martinus Nijhoff-E.J. Brill.

Vital Statistics under the Japanese Rule”, Economic Review of Indonesia 1 (4)        (1947) 18.



MODERATOR: ADE (KEL 5)

1.      SONYA (KEL 5)
Restrukturisasi, bagaimana metode yang dilakukan?
2.      Ayen Nita (Kel 3)
Banyak pemodal asing, sama kah pajak perusahaan dalam negeri dengan asing?
Bagaimana kebijakan pemerintah dlm memperhatikan nelayan kecil?
Aksesibilitas, kenapa pangan laut (seafood) mahal?
3.      Zulkifli (Kel
Program intensifikasi dan ekstensifikasi masa orde baru?
4.      Rendi (
Upaya pemerinta dalam menangani ekplorasi bahari?
Bagaimana ekplorasi daerah terpencil
5.      Salsa (
Paus yg dimanfaatkan, bagaimana jenis paus yg dilarang dunia?
6.      Astrid (Kel 10)
Dizaman apa Indonesia mencapai zaman kejayaan dibidang bahari? Kenapa dan bagaimana caranya?

Mevi:
Banyaknya pencurian, pengrusakan, eksploitasi bahari, bagamaana kontrol bahari Indonesia ?
Rekomendasi tentang ketahanan pangan bahari?

Harus ada sebuah road map yang membagi wilayah indonesia dalam hal eksplorasi bahari. Ada bahari dalam pemanfaatan laut, wilayah mana bahari ikan (ikan banyak macamnya), pariwisata, ada daerah bahari yang dijadikan taman laut, penangkaran, misalnya daerah perbatasan itu daerah larangan ekspolorasi bahari (dilihat dari daerahnya, keadaan lautnya, ombaknya, kecenderungan alamnya, iklim dan cuacanya\

Perbankan tidak pernah mau memberi kredit kepada nelayan


KELOMPOK 6 / JMP A
Desi sugianti               J3E111014
Suci saelan AB            J3E111068
Annisa Naila Tami      J3E111043
Humaira rahma            J3E111096
Myrawati armen          J3E111126
Arsy novia S               J3E211158



[1] Perang salib adalah perang yang dilakukan oleh kaum portugis untuk menguasai perairan maritim internasional.
[2] Battlefield adalah pertarungan antara dua kubu.
[3] Pachter adalah penyewa
[4] Orang partikelir adalah orang orang kecil.
[5] (Netherlands Indies Civil Administration).`

Tidak ada komentar:

Posting Komentar