BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ketahanan pangan merupakan hak
asasi semua manusia. Setiap manusia berhak mendapatkan makanan yang layak dan
sesuai dengan kebutuhannya. Hak atas pangan sebagai salah satu hak paling
mendasar, dapat diartikan sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur,
tetap, dan bebas, baik secara langsung atau dengan membeli, atas pangan yang
memadai dan cukup baik secara kualitatif dan kuantitatif, yang berhubungan
secara langsung pada tradisi masyarakat di mana suatu konsumsi itu berasal.
Akibat berkembangnya teknologi yang amat pesat, ada yang dapat memberikan
dampak negatif dan juga dampak positifnya terhadap pangan. Salah satu dampak
buruknya yaitu meningkatnya tingkat kemiskinan serta para balita yang tumbuh
dengan kekurangan gizi. Ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Ketahanan pangan salah satu unsur penting dari ketahanan kualitas hidup rumah
tangga. Ketahanan kualitas hidup rumah tangga (Household livelihood security)
didefinisikan sebagai kecukupan dan keberlanjutan akses terhadap pendapatan dan
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya (pangan, air bersih, kesehatan, pendidikan, perumahan) .
Menurut rhamadania
El Hida – detik finance , penduduk indonesia yang kini kurang lebih
237,6 juta jiwa, masih rentan terhadap orang-orang yang rawan kelaparan.
Masalah ini sepatutnya dapat segera diselesaikan dengan berpatokan kepada tujuan utama ketahanan pangan yaitu:
meningkatkan ketersediaan pangan, mengembangkan diversifikasi pangan,
mengembangkan kelembagaan pangan daan mengembangkan usaha pengelolaan pangan.
Hal tersebut sulit diselesaikan karena banyak kalangan praktisi kurang memahami atau salah pengetian
dalam memahami arti dari ketahanan pangan. Sehingga konsep ketahanan dari
pemikiran tersebut sering disamakan dengan proses penambahan atau peningkatan
produksi atau penyediaan pangan yang cukup.
1.2 Rumusan Masalah
-
Bagaiman cara
mempertahankan ketahanan pangan dengan berbagai pelanggaran HAM yang ada di
Indonesia
-
Apa saja langkah yang
dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ketahanan pangan dan HAM di Indonesia
-
Siapa yang berperan
penting dalam mempertahankan ketahanan pangan di Indonesia
-
Mengapa di negara
berkembang (Indonesia) lebih banyak memiliki masalah ketahanan pangan dan HAM
dari pada di negara maju
1.3 Tujuan
-
Untuk mengetahui cara
mempertahankan ketahanan pangan dengan berbagai pelanggaran HAM yang ada di
Indonesia
-
Mengetahui
langkah-langkah dalam mengatasi masalah ketahanan pangan dan HAM di Indonesia
-
Mengetahui pentingnya peran
pemerintah dan masyarakat dalam mempertahankan ketahanan pangan di Indonesia
-
Mengetahui penyebab
sumber masalah di negara berkembang (Indonesia) lebih banyak memiliki masalah
ketahanan pangan dan HAM dari pada di negara maju
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Undang-Undang Pangan
Negara
Indonesia merupakan negara agraria yang memiliki berbagai sumber daya alam
hayati folra dan fauna yang amat melimpah.
Kalimat tersebut sering sekali kita dengar pada saat kita masih kecil
atau pada saat duduk di Sekolah Dasar. Tetapi pada kenyataanya yang terjadi di
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kemiskinan, kelaparan dan juga gagal
panen. Hal tersebut terjadi dibeberapa daerah-daerah di Indoensia diakibatkan
oleh sistem produksi, distribusi yang mencakup dalam sistem pangan terjadi
ketidak adilan.
Kedaulatan pangan
merupakan harga mati bagi setiap negara yang telah merdeka. Sepatutnya
kemerdekaan bangsa Indonesia diisi dengan menjaga dan melindungi hak-hak warga
negara. Salah satu-nya adalah memperoleh hak untuk mendapatkan pangan yang
cukup, aman, bermutu, dan terjangkau, sesuai undang-undang nomor 7 tahun 1996
tentang pangan. Undang-undang tersebut berbunyi bahwa “Ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.
Berdasakan UU no. 7 tahun 1996 bahwa masyarakat Indonesia ber-hak mendapatkan
pangan:
1.
Tersedianya pangan
yang cukup untuk masyarakat
2.
Mutu
3.
Aman
4.
Merata
5.
Terjangkau
Pendefinisian demikian ini
belum menunjukkan pemihakan pada upaya mengutamakan produksi dalam negeri yang
mensyaratkan perlunya jaminan atas akses sumber daya produktif (lahan dan
modal), bagi setiap orang. Tafsir demikian ini menyebabkan tersisihnya kelompok
rentan dan marjinal dari sistem pengadaan pangan dan menjadikan kelompok ini
semata-mata purely food consumer dan bukan produsen yang bermartabat.
Kedaulatan pangan mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi
kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global. Kedaulatan pangan
mencakup hak untuk memproteksi dan mengatur kebijakan pertanian nasional dan
melindungi pasar domestik dari dumping dan kelebihan produksi negara
lain yang dijual sangat murah. Oleh karena itu, petani kecil dan buruh tani
harus diberikan akses terhadap tanah, air, benih, dan sumber-sumber agraria
lainnya[1].
Kemudian UU No. 7 Tahun 1996 belum mengatur
mekanisme untuk menjamin alokasi anggaran untuk menjamin realisasi hak atas
pangan bagi kelompok miskin dan rentan termasuk perempuan. Kemudian
Undang-undang nomor 7 tahun 1996 ini sangat memungkikann terjadi pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh para produsen. Hal tersebut terbukti dari
keadaan pangan yang ada, karena pemerintah lebih memfasilitasi para produsen
untuk memproduksi pangan yang memenuhi standar nasional atau internasional
tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kondisi tersebut tecermin dari
kasus-kasus kekerasan para pemodal. Kasus yang sudah nyata-nyata terjadi, seperti
rekayasa genetika (kasus PT Sanghyang Seri, kasus Monsanto, Kapas Transgenik),
kemasan (kasus halal versus tidak halal), dan kasus impor beras (kasus petani
yang dirugikan akibat impor beras)[2].
Menurut Wakil Ketua
Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron di Jakarta, Minggu, UU Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan itu hanya fokus pada pengaturan konsumsi pangan dan belum
mencakup aspek produksi dan distribusi. Ia
menambahkan, substansi pengaturan pemenuhan kebutuhan pangan dalam UU Nomor 7
Tahun 1996 masih sangat umum dan banyak dilakukan pendelegasian sehingga
terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaannya. Sehingga dilakukan amandemen
dan menjadi undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan. Undang-yndang tersebut berbunyi “Ketahanan Pangan adalah
kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.” Revisi UU Nomor 7 Tahun 1996, utamanya akan
dilakukan pada Pasal 23 hingga 60 yang mengatur cadangan pangan, pemasukan dan
pengeluaran, penganekaragaman pangan, krisis pangan dan keterjangkauan pangan[3].
2.2 Konvensi Internasional Tentang HAM untuk Pangan
Pangan merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi
yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan masyarakatnya. Hak atas
pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk
Indonesia. Akhir-akhir ini isu pangan sebagai hak asasi semakin gencar
disuarakan di berbagai forum dunia, tak kurang tema Hari Pangan Sedunia tahun
2007 adalah tentang Hak Atas Pangan.
Agenda modern tentang
Hak asazi Manusia (HAM) untuk pangan dimulai dari pidato presiden Amerika
Serikat F. Roosevelts 1941 tentang 4 kebebasan (four freedoms), dimana salah
satu di antaranya adalah hak pangan. Komitmen bahwa pangan merupakan Hak Asasi
Manusia (HAM) yang harus diepenuhi tertuang dalam dukumen : (1) Deklarasi
Universal Tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
pada tahun 1948 yang menyatakan bahwa hak atas pangan adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari hak asasi manusia; (2) Konvensi Internasional tentang Ekonomi,
Sosial dan Budaya (The International Covenant on Economic, Social, and Cultural
Rights) tahun 1966, bahwa kecukupan pangan dan terbebas dari kelaparan (the
fundamental right to freedom from hunger and malnutrition) adalah hak dasar
setiap indvidu; (3) Konvensi tentang Hak Anak (International Convention on the
Right of Child) pada tahun 1989, bahwa hak asasi dari setiap anak untuk
memperoleh pangan dan gizi yang layak bagi perkembangan fisik, mental,
spiritual, moral dan sosial anak. Pengertian HAM untuk pangan yang sekarang
dikenal banyak terkait dengan Rome Declaration on World Food Security and World
Food Summit 1996 yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat
tinggi dari 186 negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara
penandatangannya. Hal khusus terpenting dari Deklarasi tersebut di atas adalah
pemberian tekanan pada hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup (human
right to adequate food), dan perlunya aksi bersama antar negara untuk
mengurangi kelaparan.[4]
Konvensi – konvensi
Internasional yang telah ada ini jelas menunjukkan adanya usaha pemberian hak
pangan untuk seluruh manusia di dunia. Adapun sebuah perjanjian yang telah
ditandatangani indonesia dalam Declaration on World Food Security and World
Food Summit 1996 semakin menuntut Indonesia untuk menepati janjinya. Pada
perjanjian tersebut telah dikatakan bahwa harus adanya tekanan pada hak atas
pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup dan perlunya aksi bersama antar negara
untuk mengurangi kelaparan. Perjanjian yang ditanda tangani pada tahun 1996 ini
sampai sekarang tidak dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Komitmen Indonesia
tentang pangan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 yang
mengamanatkan pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan
pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Pasal 45
menyebutkan bahwa kewajiban untuk mewujudkan ketahanan pangan tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat. Pasal berikutnya
(pasal 46) membahas peran pemerintah dalam menyelenggarakan dan
mengkoordinasikan cadangan pangan nasional; mengatur dan menyelenggarakan
persediaan, pengadaan, dan penyaluran pangan yang bersifat pokok. Pemerintah
perlu mengambil tindakan tegas untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala
kekurangan pangan, keadaan darurat, spekulasi dan manipulasi dalam pengadaan
dan peredaran pangan. Dalam pasal 47 antara lain disebutkan bahwa pemerintah
mengembangkan, membina dan atau membantu penyelenggarakan cadangan pangan
masyarakat, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peran koperasi dan
swasta dalam mewujudkan keperluan tersebut. Sedangkan pada pasal 48 disebutkan
bahwa pemerintah mencegah terjadinya gejolak harga pangan tertentu yang
merugikan ketahanan pangan, dan mengendalikan harga pangan pokok. Undang-undang
tersebut telah mencakup ke tiga aspek peran pemerintah yang harus dilakukan
dalam penjamin ketahanan pangan yaitu: kewajiban menghargai (respect),
melindungi (protect) dan memenuhi (fulfill).
Konvensi serta komitmen
yang telah dibuat oleh Indonesia sepertinya hanya menjadi wacana dan tidak
terealisasikan sampai saat ini. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya
penduduk Indonesia yang mengalami kemiskinan serta kelaparan. Peran pemerintah
dalam menjamin ketahanan panganpun tidak terlaksanan.
Kewajiban pemerintah
untuk menghargai, melindungi serta memenuhi kebutuhan yang tertuang dalam
Undang – Undang maupun konvensi Internasional hanya bisa dirasakan oleh
kalangan tertentu. Kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya merukan
salah satu pelanggaran terbesar dan berdampak buruk untuk ketahanan pangan di
Indonesia. Selain pemerintah, seperti yang telah tertuang dalam Undang – Undang
Nomor 7 tahun 1996 masyarakat juga harus bertanggung jawab dalam pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk Indonesia. Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1996 ini
lahir sebagai bentuk komitmen Indonesia terhadap Declaration on World Food
Security and World Food Summit 1996 yang telah dilakukan.
2.3 Hak Asasi Petani
Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber agraria yang
melimpah. Hal ini pulalah yang menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia
terlibat dalam dunia pertanian. Data terkini yang dihimpun Serikat Petani
Indonesia (SPI) dan berbagai elemen petani menyebutkan saat ini setidaknya ada
21 juta kepala keluarga (KK) yang hidup dari pertanian. Karena itu,
perlindungan atas sumber-sumber agraria dan produk-produk pertanian harus
menjadi kepentingan nasional Indonesia untuk menuju kemakmuran bangsa
Indonesia.
Deklarasi Universal Has Asasi Manusia (HAM) yang telah
dikeluarkan 10 Desember 1948 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam hal
ini Komisi HAM (sekarang Dewan HAM) terus-menerus melengkapi dan memperkuat
deklarasi HAM tersebut dengan melahirkan sejumlah kovenan[5] dan konvensi dalam bidang
HAM yang sifatnya khusus. Di antara kovenan dan konvensi dimaksud adalah
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (1966), Konvensi Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (1979), Konvensi Hak Anak-Anak (1989), dan
Konvensi Perlindungan Hak-Hak semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya
(1990). Semua kovenan dan konvensi ini dimaksudkan oleh PBB untuk menjamin
perlindungan HAM benar-benar berlaku secara universal, dalam arti di seluruh
dunia serta pada semua kelompok masyarakat dan segenap sektor kehidupan.
Seluruh konvensi yang diselenggarakan hanya menyangkut HAM anak,
perempuan dan buruh migran. Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas
penduduknya memiliki profesi sebagai petani sangat memerlukan sebuah konvensi
yang membahas Hak Asasi Petani (HAP). Sampai saat ini belum ada konvensi atau
kovenan HAM khusus untuk petani, namun usaha-usaha PBB untuk menjamin
penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAP bukannya tidak ada.
Salah satu instrumen paling penting dalam pemenuhan dan perlindungan HAP adalah
mengenai hak atas pangan. Rancangan hak atas pangan ini tercantum dalam
Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta perjanjian-perjanjian
yang terdapat dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, yang keduanya
disahkan pada 16 Desember 1966.
Selain kedua
kovenan induk tersebut, beberapa kegiatan yang diprakarsai UN-FAO(Organisasi
Pangan dan Pertanian PBB) telah menjadi landasan penguat hak atas pangan.
Kegiatan-kegiatan dimaksud antara lain Konferensi Dunia tentang Reforma Agraria
dan Pembangungan Pedesaan (KDRAPP) tahun 1979 yang melahirkan Piagam Petani (Peasants
Charter)[6],
Pedoman Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Hak atas Pangan yang layak
dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional tahun 2004, dan KDRAPP tahun 2007.
Instrumen lain yang memuat pemenuhan segi-segi tertentu dari HAP adalah
Konvensi ILO No. 169, Klausa 8-J dari Konvensi Biodeversiti, dan Kartagena Protocol.
Akan tetapi,
instrumen-instrumen untuk pemenuhan dan perlindungan HAP dalam sejumlah
kovenan, konveksi, dan piagam di atas, di samping sifatnya yang parsial, pada
kenyataannya tidak mampu mencegah pelanggaran hak asasi petani. Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya secara empiris telah memperlihatkan
keterbatasannya melindungi hak-hak petani. Demikian pula dengan Piagam Petani
yang dihasilkan pada KDRAPP tahun 1979 dan hasil KDRAPP tahun 2007 juga tidak
mampu melindungi petani dari kebijakan liberalisasi, derugulasi dan privatisasi
secara internasional. Sementara instrumen lainnya seperti Konvensi ILO No. 169,
Klausa 8-J dari Konvensi Biodeversiti dan Kartagena Protocol tidak
bisa ditetapkan secara optimal.
Terbatasnya kemampuan berbagai instrumen hak asasi manusia yang
ada saat ini dalam menjamin perlindungan hak-hak petani dan rentannya kelompok
masyarakat tani terhadap pelanggaran hak asasi, telah menyebabkan pelanggaran
hak asasi petani menjadi sangat tinggi diberbagai kawasan dunia, terutama di
negara-negara berkembang dan negara-negara miskin salah satunya Indonesia.
Tercatat sejak
tahun 2007 hingga 2011, menurut catatan Serikat Petani Indonesia (SPI) dan juga
BPN, terdapat setidaknya 1.894 kasus konflik agraria dengan berbagai latar
konflik yg mengiringinya, dengan luasan lahan konflik yang mencapai tidak
kurang dari 650.691 Ha, sebanyak 668 orang petani dikriminalisasikan, hampir
82.726 KK tergusur dari lahan-lahan garapannya, dan yang lebih mengenaskan lagi
tentunya, 34 orang tercacat tewas akibat konflik agraria. Sementara itu,
laporan Komnas HAM tahun 2009 menunjukkan dari sekitar 4.000 kasus pelanggaran
HAM yang masuk, lebih dari 62 persennya adalah kasus lingkungan hidup dan
konflik agraria.[7]
Menyadari kenyataan terbatas dan lemahnya kemampuan berbagai
instrumen HAM yang ada untuk menjamin penghormatan, pemenuhan dan perlindungan
hak asasi petani, yang berakibat pada tingginya angka pelanggaran hak asasi
petani diberbagai kawasan dunia, Gerakan Petani Internasional (La Via
Campesina) memandang mutlak perlu adanya konvensi HAM khusus untuk petani.
Tuntutan ini juga memiliki keabsahan hukumnya dalam Deklarasi Universal HAM
serta Deklarasi Vienna dan Program Aksi dari Konferensi Dunia tentang HAM tahun
1993 maupun dalam hukum dan mekanisme HAP yang lebih khusus di PBB, seperti
penetapan standar hak atas pangan dan HAP serta penetapan standar petani
sebagai pembela HAM.
2.4 Pasar Bebas
Globalisasi
memberi peluang bagi pelaku pasar untuk berkompetisi secara setara. Globalisasi
juga membuat kondisi yang memaksa setiap pelaku pasar untuk bergerak dalam
sistem pasar bebas. Pasar bebas ini bergulir seiring dengan ekskalasi lalu
lintas barang dan jasa di dunia internasional dan nasional. Ekspor dan impor
barang serta transaksi jasa antarnegara berlangsung semakin mudah, teratur, dan
terorganisasi dibandingkan sebelum era globalisasi. Hal-hal tersebutlah yang
menandakan sistem pasar bebas menguat.
Sistem
ekonomi liberal atau pasar bebas adalah suatu sistem ekonomi dimana seluruh kegiatan
ekonomi mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi diserahkan sepenuhnya
kepada mekanisme pasar. Sistem ini sesuai dengan ajaran dari Adam Smith di
dalam buku “An Inquiry Into the Nature
and Causes of the Wealth of Nations”.
Penciptaan sistem liberalisasi perdagangan ditandai dengan lahirnya suatu
perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement
on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1994. GATT merupakan forum negosiasi
perdagangan antarpemerintah, dibangun di atas asumsi bahwa sistem dagang yang
terbuka lebih efisien dibanding sistem yang proteksionis serta keyakinan bahwa
persaingan bebas akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-prinsip
efektivitas dan efisiensi. Sejak 1995, GATT berubah menjadi World Trade
Organization (WTO). Bila GATT hanya mengatur perdagangan barang saja, maka
peraturan WTO meliputi tiga bidang, yaitu perdagangan barang (termasuk
pertanian), perdagangan jasa, dan hak cipta terkait perdagangan.
Kegiatan
yang ada di dalam pasar bebas adalah persaingan. Pasar bebas merupakan pasar
dimana harga barang dan jasa disusun secara lengkap oleh ketidak saling memaksa
yang disetujui para penjual dan pembeli, ditetapkan umumnya oleh hukum
penawaran dan permintaan dengan tanpa campur tangan pemerintah dalam regulasi
harga, penawaran dan permintaan. Dalam etika pasar islami, ekuiblirium sebagai
titik pertemuan persamaan hak antara pembeli dan penjual. Hak pembeli untuk
mendapatkan barang dan hak penjual untuk mendapatkan uang yang sepantasnya dari
barang yang dijualnya. Dalam konteks hak ini, kewajiban-kewajiban masing-masing
pihak harus terpenuhi terlebih dahulu. Kewajiban penjual untuk membuat produk
berkualitas dan bermanfaat dan bagi pembeli untuk membayar uang yang sesuai
sebagai pangganti harga barang yang diperoleh.
2.5 Kedelai Impor
Salah
satu bentuk sistem liberalisasi (pasar bebas) yang dilakukan oleh Indonesia
dengan WTO dalam bidang pertanian dalam bentuk perjanjian pertanian, Agreement
on Agriculture (AoA). Tujuannya adalah reformasi kebijakan perdagangan di
bidang pertanian, dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian
yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi ini berisi
komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor
dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin yang
kuat dan efektif
Sebelum
AoA diterapkan, perdagangan luar negeri Indonesia pada awalnya lebih fokus pada
pengenaan lisensi impor. Di tahun 1990, kebijakan ini terbukti ampuh untuk
memproteksi komoditas pertanian Indonesia. Jumlah komoditas yang dikenai
lisensi impor berjumlah 1000 komoditas. Tetapi setelah AoA diterapkan, di tahun
1996 jumlah tersebut turun menjadi hanya 200 komoditas (Magiera, 2000 di dalam
Amaliyah 2010). Penurunan jumlah ini diakibat kan oleh penghapusan hambatan
non-tarif untuk komoditas yang diikat di WTO.
Indonesia
memberlakukan tarif riil (applied tariff)[8] yang
lebih rendah dari tarif yang diikat (bound tariff)[9] dalam
AoA (Swastika and Nuryanti 2006, 260). Misalnya,
tarif riil yang dipakai untuk beras dan gula adalah Rp 430/kg dan Rp 700/kg,
yang mana sekitar 30 persen dan 60 persen dari tarif yang diikat. Sementara
itu, tarif yang diikat untuk kedelai sebesar 27 persen dan 210 persen, tetapi
tarif riilnya hanya 0 persen dan hampir seluruh applied tariff produk
pertanian Indonesia lebih rendah dari bound tariff AoA. Beberapa
komoditas malah tidak dikenakan tarif. Dibandingkan dengan negara maju, bound
tariff Indonesia pada umumnya jauh lebih rendah dari negara maju, bahkan
dari beberapa berkembang lainnya. Hal ini jelas terlihat dari rata-rata bound
tariff Indonesia yang rata-rata berada pada kisaran 40%, hanya beras, susu,
dan gula yang berada pada level tinggi. Rendahnya tarif yang dikenakan telah
memicu membanjirnya produk pertanian negara lain masuk ke Indonesia, seperti
kasus kedelai impor.
Separuh
diantara kedelai impor yang masuk ke Indonesia berasal dari negara maju dan
beberapa dari negara Amerika Latin, seperti Argentina dan Brazil. AS
mendominasi ekspor kedelai ke Indonesia, mencapai hampir 50% dari total impor
kedelai Indonesia setiap tahunnya sehingga harga produk pertanian impor menjadi
lebih rendah dari yang seharusnya (Swastika and Nuryanti 2006, 260). Periode
tahun 2002-2004, harga kedelai impor dari AS dan China Rp.1.800 - Rp.1.900 per
kilogram, sedangkan harga kedelai domestik hanya Rp.2.500 per kilogram (Kompas,
2004 di dalam Amaliyah 2010). Kondisi ini jelas membuat kedelai domestik tidak
kompetitif dibanding dengan kedelai impor.
Pada
tahun 2004, Salah satu usaha Departemen Pertanian dalam menekan laju import
kedelai pernah dengan meningkatkan tarif impor kedelai hingga 27 persen (sesuai
dengan bound tariff tertinggi yang diperbolehkan WTO). Namun, tim tarif
dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengisyaratkan hanya akan
menetapkan tarif impor 10-15 persen dan jika tarif itu diberlakukan, harga
kedelai impor akan jauh di atas kedelai lokal. Kondisi tersebut jelas akan
sangat menguntungkan petani Indonesia. Namun pada akhirnya, pemerintah lebih
berpihak pada konsumen dengan memutuskan untuk tetap pada tarif semula (0
persen) karena dengan begitu kedelai tetap murah di pasaran. Dilema antara
menyediakan pangan murah dengan memberikan harga yang tinggi di tingkat
produsen akan selalu ada dalam kebijakan pertanian, baik di negara maju maupun
berkembang (Diaz-Bonilla et al. 2002, 19). Perbedaannya terletak pada solusi
yang diambil. Negara maju memilih untuk menyiasati kenaikan harga di tingkat
produsen melalui pajak. Sedangkan di negara berkembang, penyediaan pangan murah
bagi rakyat banyak menjadi solusi tetap.
AoA
membawa beberapa dampak bagi perkedelaian Indonesia, baik secara langsung dan
tidak langsung. Damapak langsung bagi perkedelaiaan Indonesia, yaitu Indonesia
menjadi negara yang ketergantungan terhadap kedelai impor, perubahan pada tata
niaga kedelai, perubahan orientasi pertanian.
Tabel 1.
Import Kedelai Indonesia tahun 1995-2004
Sumber: www. agribisnis.deptan.go.id
Ketergantungan
terhadap impor kedelai terus berlanjut dan terus meningkat. Dari tahun 1999,
Indonesia sudah memenuhi separuh kebutuhan kedelai nasional dengan mengimpor.
Di tahun 2002-2003 bahkan mencapai angka ketergantungan 70 persen, meski
akhirnya turun sedikit menjadi 69,94 persen di tahun 2004. Rata-rata
ketergantungan impor kedelai per tahun meningkat hampir dua kali dari sepuluh
tahun sebelumnya hingga mencapai 51,5 persen.
Melihat
besarnya nilai import, pihak pemerintah justru menyatakan bahwa impor merupakan
bagian dari usaha memenuhi ketahanan pangan. Hal ini pernah disampaikan oleh
Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Krisnamurthi
(2003). Kebijakan impor menjadi pilihan untuk mengamankan kepentingan yang
lebih besar. Pilihan ini merupakan konsekuensi yang dapat diterima di era
globalisasi. Apalagi, kegiatan mengimpor ini didukung adanya kemudahan kredit
ekspor yang diberikan khusus oleh pemerintah AS untuk para importir kedelai di
Indonesia. Di tahun 2000, Departemen Pertanian AS (USDA - United State
Department of Agriculture) meluncurkan kredit ekspor, GSM 102. Hal Ini
dilakukan untuk menjaga insentif harga bagi petani AS yang produksinya
melimpah. Kredit ekspor yang memberikan keleluasaan pembayaran hingga dua
sampai tiga tahun ini, diberikan sebesar 12 juta dollar AS di tahun 2000 dan
sebesar 750 juta dollar AS di tahun 2001. Dengan fasilitas kredit ini, importir
Indonesia banyak yang mendatangkan kedelai dari AS[10].
Dampak
akibat penerapan AoA juga dirasakan pada orientasi pertanian Indonesia.
Akibat-akibat empiris penerapan AoA di Indonesia dan penyesuaian struktural ala
IMF telah menyebabkan hampir semua ekspor komoditas pertanian merosot.
Pertanian kedelai ditinggalkan petaninya karena kurang menguntungkan. Selain
itu, sistem perdagangan kedelai di Indonesia menjadi bersifat oligopolis.
Struktur ini rentan terhadap gejolak harga dan mudah bagi importir untuk
mengendalikan pasokan dan akhirnya mengendalikan harga. Kasus kedelai impor
menunjukkan adanya kebijakan kosong dalam hal ketahanan pangan, khususnya untuk
kedelai yang menjadi bahan baku tempe sebagai makanan murah. Kebijakan pangan
dan strategi produksi kedelai bisa dikatakan tidak ada sama sekali karena
kebijakan liberal yang dibuat oleh pemerintah hampir tanpa tarif sama sekali
sejak lama. Penurunan tarif impor hingga nol persen menjadikan kedelai sebagai
tanaman pangan yang tidak menguntungkan untuk ditanam. Akibatnya, pertanian
kedelai semakin memburuk dan tenggelam karena banyaknya kedelai impor.
2.6 Impor daging dan hubungannya dengan HAM
Proses
impor merupakan usaha sebuah negara dalam melakukan suatu perdagangan
internasional. Dari negara pengekspor
maupun pengimport mendapatkan keuntungan dari adanya perdagangan internasional.
Negara pengekspor memperoleh pasar dan negara pengimpor memperoleh kemudahan
dalam mendapatkan barang yang dibutuhkan. Dampak baiknya antara lain pertama
dapat mempererat persahabatan , dari proses perdagagan ini akan ada rasa saling
membutuhkan satu sama lain. Kedua adalah menambah kemakmuran negara , proses
ekspor impor ini akan menaikkan
pendapatan masing-masing negara. Ketiga menjadi sumber pemasukan kas negara ,
proses perdagangan internasional dapat meningkatkan sumber devisa negara bahkan
banyak negara yang mengandalkan sumber pendapatan dari pajak ekspor impor.
Keempat menciptakan efisiensi dan spesialisasi Perdagangan internasional menciptakan spesialisasi produk.
Negara-negara yang melakukan perdagangan internasional tidak perlu memproduksi
semua barang yang dibutuhkan. Akan tetapi hanya memproduksi barang dan jasa
yang diproduksi secara efisien dibandingkan dengan negara lain. Namun dari
dampak positif yang dihasilkan terdapat celah dimana dampak negatif itu timbul.
Pertama adalah adanya ketergantungan suatu negara dengan negara lain , kedua
persaingan yang tidak sehat dalam perdagangan , ketiga banyaknya industri kecil
yang kurang mampu menjadi gulung tikar , keempat adanya pola konsumsi
masyarakat yang meniru konsumsi negara yang lebih maju. Dalam kasus ini diambil
saja contohnya
impor daging. Daging dengan kualitas
tentu sangat disukai oleh masyarakat, namun apakah setiap golongan dapat
menjangkau harga dari daging impor? Tentu tidak. Pertanyaan kedua apakah setiap
pedagang tradisional dapat menjual daging impor dengan harga tinggi? Ini
merupakan permasalahan yang rumit yang dialami masyarakat sekitar. Para penjual
yang tersaingi dengan harga daging impor yang hampir sama dengan daging lokal
lalu memiliki kualitas baik. rencana pemerintah menaikkan kuota impor daging
menyalahi Undang-undang (UU) Pangan. Alasannya, sesuai pasal 14 ayat 2 UU
Pangan maka impor hanya bisa dilakukan manakala produksi dalam negeri tidak
mencukupi. harga daging sapi yang terus meroket bisa jadi karena suplai yang
tidak cukup. Selain itu, ia juga menduga distribusi tidak berjalan dengan baik.
tiga faktor penyebab tingginya harga daging sapi di Indonesia. Yaitu akibat
tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan permintaan, karena jalur
distribusi yang sangat mahal, dan tak adanya sentra produksi sapi di sekitar
kota-kota besar terutama di Jakarta.
2.7 Mengatasi Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian
Politik Pangan merupakan
komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional
yang berbasis Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan. Kedaulatan Pangan
mencerminkan hak menentukan kebijakan secara mandiri, menjamin hak atas pangan
bagi rakyat, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha
sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan Kemandirian Pangan
merupakan wujud kemampuan negara memproduksi pangan di dalam negeri secara
bermartabat. Terwujudnya ketahanan pangan hanyalah ultimate goal,
karena sejatinya pencapaian akhir yang diharapkan dari kondisi tersebut adalah
ketahanan nasional yang tangguh.
Politik Pangan ini penting
ditegaskan kembali karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling
dasar, sehingga semua bangsa berupaya untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh
warga negaranya dan menyimpan sebagian untuk cadangan pangan nasional.
Indonesia memerlukan politik pangan berbasis kedaulatan dan kemandiran pangan
didasarkan atas pertimbangan kondisi lingkungan internal dan eksternal serta
analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang dihadapi Indonesia.
Ditinjau dari kondisi
global, konsumsi pangan akan cenderung meningkat di seluruh dunia. Proyeksi PBB
menyebutkan populasi penduduk dunia di tahun 2050 mencapai lebih dari 9 miliar
jiwa, memerlukan tambahan pangan sebesar 70% dibandingkan sekarang. Di masa
depan diprediksi akan terjadi kelangkaan pangan yang diakibatkan oleh beberapa
hal seperti kerusakan lingkungan, konversi lahan, tingginya harga bahan bakar
fosil, pemanasan iklim dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan negara produsen
pangan akan mengamankan produksinya untuk kebutuhan dalam negeri dan bahkan
meningkatkan impor pangan untuk mengamankan stok dalam negerinya.
Namun dengan keragaman
sumberdaya dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda maka setiap negara memiliki
cara sendiri untuk mewujudkan ketahanan pangan nasionalnya. Penelitian Zoelick (former
President World Bank) yang mengamati progress pertumbuhan
ekonomi di 101 negara pada tahun 1960 dan 2012, menunjukkan, bahwa hanya
negara-negara yang konsisten membangun ketahanan pangannya, menyediakan
infrastruktur yang mengkoneksi antar wilayah dan memberikan perlindungan sosial
bagi warga negaranya yang mampu terlepas dari jeratan "middle income
trap"[11].
Indonesia tidak akan
terjebak sebagai negara middle income trap karena politik
pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah tetap konsisten di jalurnya. Sektor
pertanian/pangan menjadi prioritas dalam pembangunan. Produksi pangan dalam
negeri terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat yang
terus tumbuh baik jumlah maupun keragaman jenis pangannya.
Golongan menengah di
Indonesia juga meningkat, ini berarti konsumsi bahan pangan lebih banyak lagi.
Saat ini Indonesia memiliki 45 juta pangsa klas konsumen dan pada tahun 2030,
akan tumbuh menjadi 135 juta. Demikian pula market opportunities dari
0,5 miliar menjadi 1,8 miliar di tahun 2030.
Sistem logistik dan
distribusi pangan menjadi perhatian pemerintah dalam politik pangan nasional
untuk memastikan bahwa ketahanan pangan dinikmati oleh setiap orang di
Indonesia hingga ke pulau terdepan dan di daerah yang sulit terjangkau
sekalipun. Untuk menghubungkan antar wilayah dan mempersingkat waktu tempuh
bahan pangan, pemerintah memfokuskan pada pembangunan infrastruktur dan
konektivitas antar wilayah Indonesia.
Menyadari pentingnya
penataan sistem logistik dalam persaingan domestik dan internasional, Indonesia
telah menyusun blueprint pengembangan logistik yang menelaah
jarak geografis antara kota-kota besar di Indonesia dan Singapura. Hal ini
dilakukan agar biaya translaut dan kontainer dari sentra produksi ke sentra
konsumen tidak lebih mahal jika dibandingkan pengiriman ke Singapura.
2.8 Kekuatan Indonesia
Indonesia diuntungkan
oleh bonus demografi dengan tingginya jumlah angkatan muda dan mulai dirasakan
pengaruhnya pada perekonomian nasional. Arus urbanisasi menyebabkan pertumbuhan
daerah perkotaan sehingga menambah pangsa kelas konsumen. Indonesia juga
terbukti mampu mengendalikan laju inflasi, menurunkan tingkat kemiskinan dan
angka pengangguran. Untuk mengimbanginya, maka pemenuhan pangan harus dilakukan
dengan cara meningkatkan produksi dan produktivitasnya melalui intensifikasi
(bukan ekstensifikasi), diversifikasi konsumsi melalui pengembangan pangan
lokal, peningkatan daya saing, dan menurunkan kehilangan paska panen dan value-chain.
Pangan lokal
dikembangkan karena Indonesia memiliki keragaman hayati yang sangat kaya dan
belum dimanfaatkan secara optimal. Keanekaragaman tersebut mencakup tingkat
ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetik, yang melibatkan makhluk hidup
beserta interaksi dengan lingkungannya.
Produsen pangan nasional
sudah saatnya menghidupkan kembali sumber-sumber pangan lokal untuk
menghentikan kemerosotan keragaman varietas jenis pangan yang dibudidayakan
oleh petani. Apabila kondisi ini terus dikembangkan di seluruh wilayah
nusantara, maka kemampuan nasional untuk meningkatkan produksi pangan pasti
akan meningkat sekaligus menghindarkan ketergantungan terhadap jenis pangan
tertentu. Ini diperkuat oleh adanya UU No. 18 tahun 2012[12] Tentang Pangan, yaitu
pada pasal 12 dijelaskan bahwa penyediaan pangan diwujudkan untuk memenuhi
kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan
secara berkelanjuta. Dalam pasal 12 pemerintah juga menetapkan sentra produksi
pangan lokal sesuai dengan usulan pemerintah daerah.
Kekuatan lain yang
dimiliki oleh Indonesia adalah konsumen domestik yang besar menjadi pasar dalam
negeri yang potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Disamping itu
pemerintah telah berhasil dalam melakukan pengendalian tingkat inflasi,
penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Di sisi lain, situasi
dunia akibat perubahan iklim dan faktor-faktor yang lain, seringkali
menyebabkan supply pangan global terganggu sehingga
menimbulkan fluktuasi harga secara cepat.
Perdagangan bebas
dan Free Trade Area akan menciptakan global economic
connectivity danborderless state. Asia menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi di dunia sehingga posisi Indonesia yang strategis akan
mendapatkan keuntungan. Dependency ratio negara maju meningkat
seiring dengan majunya pertumbuhan ekonomi negara Asia. Situasi ini
mengharuskan Indonesia memenuhi kecukupan pangannya diutamakan dari produksi
dalam negeri. Potensi sumber pangan yang beragam dan letak geografis Indonesia
di jalur khatulistiwa menyebabkan Indonesia relatif aman dari dampak global
climate change, merupakan opportunity yang tidak boleh
dilewatkan. Diperkuat dengan meningkatnya kesadaran terhadap green
economy memberikan peluang Indonesia khususnya sebagai negara
penyuplai pangan dunia (feed the world).
Kemampuan memproduksi
pangan nasional diimbangi dengan keberadaan lembaga pemerintah yang menjalankan
fungsi sebagai stabilisator harga pangan strategis di pasar dalam negeri
sekaligus mengelola sistem logistik pangan pemerintah. Pemerintah saat ini
telah menetapkan Perum BULOG menjalankan fungsi tersebut, agar harga pangan
tidak berfluktuasi dan cadangan pangan untuk kondisi darurat tetap terjaga.
Bulog diharapkan mampu menjaga harga pangan di pasar lokal sehingga petani
menerima harga jual yang tetap memberikan keuntungan bagi usaha taninya dan
konsumen dapat membeli pangan dengan harga terjangkau. Setidaknya untuk
beberapa produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging
sapi dan minyak goreng.
2.9 Empat Strategi
Memperhatikan kondisi
lingkungan eksternal, regulasi yang mendukung seperti MP3EI dan analisis SWOT,
setidaknya terdapat empat strategi yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan
politik pangan yang berbasis pada kedaulatan dan kemandirian.
Pertama, Regulasi. Harmonisasi implementasi
Peraturan dan Undang-Undang antar kementerian lembaga/ legislatif dan antara
pusat/daerah ; Sinergitas program Kementerian/ Lembaga, fokus pada sektor
pertanian dalam arti luas (mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, hortikultura,
perkebunan, perikanan, dan kehutanan) ; Alokasi anggaran APBD untuk pembangunan
sektor pertanian yang signifikan; Penguatan Kelembagaan yang terkait
dengan pertanian, seperti R & D, Perbankan dan penyuluhan; dan Sinergitas
Akademisi, Bisnis, Government (ABG) dan LSM untuk peningkatan inovasi dan
produktivitas.
Kedua, Ketersediaan. Kesungguhan Pemerintah
Daerah untuk mengembangkan potensi pangan lokal di wilayah masing-masing;
Revitalisasi BUMN pangan guna meningkatkan produksi untuk mendapatkan economy
of scale sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan; dan dukungan
Pemerintah untuk pengembangan sistem perbenihan dan perbibitan melalui
pemanfaatan hasil riset baik oleh lembaga pemerintah, perguruan tinggi, swasta,
maupun masyarakat.
Ketiga, Keterjangkauan. Melakukan penataan
sistem logistik melalui perbaikan infrastruktur jalan, perhubungan dan
pergudangan agar dapat menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan daya saing;
Memperpendek supply chain pangan melalui peningkatan peran
Bulog untuk stabilisasi harga komoditas pangan strategis dan menekan pasar yang
bersifat oligopoli; dan Membangun Sistem Pengawasan terhadap distribusi pangan
dan berbagai subsidi input produksi.
Keempat, Ketercukupan Gizi. Perbaikan gizi masyarakat
melalui peningkatan konsumsi protein dan menurunkan konsumsi karbohidrat sesuai
dengan Pola Pangan Harapan; Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan lokal
melalui pengembangan dan pemanfaatan sumber pangan di masing-masing wilayahnya;
Modernisasi industri pangan lokal mulai dari pengolahan hingga pengemasan
sehingga dapat menjadi kebanggaan dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat
daerah; Peningkatan keamanan pangan untuk menjamin keselamatan konsumen melalui
pemberdayaan Badan POM dan Laboratorium Universitas di masing-masing daerah.
Jadi, pelaksanaan
Politik Pangan Indonesia memerlukan sikap dan tindakan yang konsisten dan
dinamis berdasarkan pertimbangan perkembangan lingkungan eksternal dan
dihadapkan dengan analisis SWOT guna meningkatkan daya saing untuk menuju
IndonesiaIncorporated. Juga, penjabaran Politik Pangan membutuhkan
sinergitas pemerintah pusat dan daerah, antar kementerian/lembaga dengan
melibatkan peran aktif perguruan tinggi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam
membentuk regulasi untuk membangun ketahanan pangan (ketersediaan,
keterjangkauan dan ketercukupan gizi) sehingga dapat mewujudkan IndonesiaFeed
the World.
2.10 Kebijakan Antisipatif Untuk Pengendalian Harga Daging Sapi
Seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan pendidikan yang semakin
baik di Indonesia, maka permintaan dan kebutuhan konsumsi atas komoditas daging
sapi di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan trend meningkat.
Berdasarkan data Susenas
BPS 2011, tingkat kebutuhan konsumsi daging sapi bagi penduduk Indonesia (terbesar
ke-4 dunia), rata-rata sebesar 1,83 kg/kapita/tahun atau meningkat konsumsi
dari tahun sebelumnya sebesar 0,14 kg. Sedangkan jumlah total kebutuhan
konsumsi daging sapi domestik selama tahun 2012 (tidak termasuk industri dan
hotel, restoran serta katering) angkanya mencapai 441.605 ton. Jika
dibandingkan dengan jumlah total produksi daging sapi yang dihasilkan di dalam
negeri, masih mengalami kelebihan produksi sebesar 75.782 ton dari total
produksi keseluruhan mencapai 465.823 ton. Prediksi awal, dengan kelebihan
jumlah produksi tersebut diharapkan akan dapat mencukupi dan memenuhi
permintaan kebutuhan daging sapi baik untuk konsumsi rumah tangga, industri dan
sektor horeka selama satu tahun.
Harga komoditas daging
sapi di dalam negeri dari tahun ke tahun kenyataannya terus mengalami kenaikan.
Kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya sangat
berhubungan erat dengan kenaikan permintaan, jumlah pasokan yang berkurang,
serta impor dan harga daging sapi yang berlaku di pasar internasional. Kenaikan
pemintaan komoditas daging sapi sangat signifikan pada saat menghadapi Hari
Besar Keagamaan Nasional (HKBN) dan berpotensi pada harga daging sapi menjadi
naik, apalagi jika tidak diimbangi dengan pasokan yang cukup maka lonjakan
kenaikan harga akan semakin meningkat tajam.
Menurut data terbaru
tahun 2013 yang dilansir dari Bank Dunia, harga komoditas daging sapi di
Indonesia saat ini termasuk yang termahal di dunia dengan tingkat harga pada
bulan Desember 2012 mencapai kisaran 9,76 dollar AS. Sementara tingkat harga
yang terjadi di negara tetangga dan beberapa negara lainnya, seperti Malaysia
kisarannya sebesar 4,3 dollar AS, Thailand 4,2 dollar AS, Australia sebesar 4,2
dollar AS, Jepang 3,9 dollar AS dan Jerman 4,3 dollar AS serta Negara India
sebesar 7,4 dollar AS.
2.11 Fluktuasi Harga Daging Sapi
Selama periode tahun
2012, terpantau rata-rata harga daging sapi di tingkat eceran angkanya telah
mencapai Rp 74.991/kg atau mengalami kenaikan sebesar 7,6% dibandingkan tahun
sebelumnya. Sementara itu, jika menjelang hari Lebaran, harga daging sapi di
beberapa kota di Indonesia dipastikan akan terus meningkat, angkanya sempat
menyentuh Rp 85.000/kg sampai dengan Rp 100.000/kg atau mengalami kenaikan
sekitar 20% dari bulan sebelumnya.
Berdasarkan data dari
Kementerian Perdagangan (Kemendag), rata-rata kenaikan harga komoditas daging
sapi per tahun mencapai 9,0%. Dengan kenaikan harga tertinggi terjadi pada
tahun 2008 yang mencapai angka 14,4% dibandingkan pada tahun sebelumnya, yaitu
dari Rp 50.036/kg menjadi Rp 57.259/kg. Harga daging sapi pada periode tahun
2003-2012 mengalami gejolak kenaikan harga dengan tingkat koefisien variasi
sebesar 27,3%. Secara nasional, perkembangan situasi harga daging sapi pada
tahun 2012 (sampai dengan bulan September 2012) berangsur-angsur mengalami
kenaikan dari awal Januari dan mulai mengalami lonjakan harga pada bulan Juli
(menjelang puasa), yaitu mencapai angka 3,36% dari Rp 74.393/kg menjadi Rp
76.895/kg. Sedang tingkat harga pada bulan Agustus 2012 terus bergerak naik
mencapai 3,78% dari Rp 76.895/kg menjadi Rp 79.800/kg.
Sudah 3 (tiga) bulan
terakhir ini, harga daging sapi tidak kunjung mengalami penurunan harga
dan bertahan pada dikisaran sebesar Rp 90.000/kg dan diperkirakan akan bisa
menyentuh pada tingkat level Rp 120.000/kg bila mendekati puasa dan lebaran,
yang artinya harga tersebut sudah melampaui tingkat kemampuan daya beli
masyarakat Indonesia. Sementara itu berdasarkan pemantauan dari data yang
dirilis oleh BPS Tahun 2012, di beberapa daerah sentra produksi telah terjadi
fluktuasi harga komoditas daging sapi baik tingkat konsumen antar waktu dan
propinsi. Fluktuasi harga terbesar antar waktu terjadi pada periode tahun 2012
dan fluktuasi harga antar propinsi terjadi di daerah Aceh dan yang terendah ada
di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
2.12 Stabilisasi Harga Daging Sapi
Komoditas daging sapi
merupakan salah satu komoditas yang selama ini mempunyai andil yang cukup besar
pada perbaikan gizi masyarakat, khususnya kebutuhan protein hewani. Protein
hewani sangat dibutuhkan dalam pembangunan manusia Indonesia karena sangat erat
hubungannya dengan kondisi kesehatan fisik dan perkembangan kecerdasan manusia.
Untuk mengantisipasi
kenaikan harga komoditas daging sapi, pemerintah perlu segera melakukan
berbagai langkah-langkah dan upaya terobosan yang mendesak untuk dilakukan
dalam jangka pendek maupun jangka menengah, agar stabilitas harga atas
komoditas daging sapi di pasaran dapat tetap terjaga dan terjangkau oleh daya
beli masyarakat.
Selama ini fluktuasi
naiknya harga komoditas daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah pasokan yang
mencukupi dalam mengimbangi tingginya permintaan lewat mekanisme pasar. Upaya
intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga komoditas daging sapi pada
tingkat yang normal sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, adalah dengan
melakukan intervensi lewat keduanya, yaitu dari sisi jumlah pasokan dan
konsumsi.
Pemerintah dapat menjaga
dan mengatur titik keseimbangan atas jumlah pasokan berdasarkan hasil
pemantauan mengenai peta jumlahnya, wilayah-wilayah produksinya serta tingkat
konsumsi masyarakat terhadap daging sapi untuk kebutuhan per wilayah di seluruh
Indonesia. Dengan demikian, perkiraan mengenai jumlah pasokan yang harus tetap
tersedia dapat terpantau dengan baik, apakah dengan menambah ataupun menjaga
kondisi pasokannya pada area/pasar di wilayah tertentu.
Dampak lain yang dapat
dicegah adalah harga pada tingkat konsumen tidak akan dapat dipermainkan lagi
oleh pihak produsen. Pemerintah tentunya dapat menjaga kecukupan secara
konsisten dan cepat tanggap dalam memperhitungkan jumlah pasokan dan kebutuhan
yang harus selalu tersedia di wilayah pasar-pasar tertentu, yang didasarkan
pada hasil kegiatan pemantauan yang sudah dilakukan sejak awal sebelum
mengelontorkan pasokan komoditas daging sapi pada tingkat tertentu.
2.13 Akurasi dan Ketersediaan Data
Untuk memperhitungkan
jumlah pasokan dan kebutuhan yang harus selalu tersedia di wilayah-wilayah
pasar tertentu, seyogyanya dibarengi dengan kemampuan yang andal dalam
melakukan proses pemantauan sehingga dapat diperoleh ketersediaan data yang
cukup lengkap mengenai jumlah kemampuan pasokan maupun angka volume konsumsi
masyarakat, sehingga pada akhirnya akan dapat dijadikan bahan pertimbangan
untuk mengambil langkah-langkah kebijakan yang antisiaptif dalam mengendalikan
stabilitas, baik harga maupun jumlah suatu komoditas atas produk pangan
utamanya komoditas daging sapi.
Sayangnya di Indonesia
mengenai data, selalu menjadi titik kelemahan utama. Untuk data konsumsi,
misalnya, terdapat perbedaan sangat menyolok. Data pedagang menunjukan konsumsi
daging masyarakat sekitar 4,5 kg/kapita/tahun, sedangkan menurut data dari
pemerintah kurang dari 2 kg/kapita/tahun. Akurasi dan ketersediaan data itu
akan sangat menentukan kualitas kebijakan yang akan ditempuh. Apabila
pemerintah menggunakan data resmi dari pedagang, terjadi kekurangan pasokan dan
kenaikan harga akan terjadi. Sebaliknya, apabila digunakan data pemerintah,
karena dianggap lebih tepat, akan terjadi membanjirnya impor komoditas daging
sapi yang tentu saja akan menghambat program pemerintah di bidang swasembada
daging sapi. Harga yang rendah dan pasar makin sempit, akibat gempuran impor,
pada akhirnya menjadi disinsentif bagi para peternak dalam negeri.
Data ini penting, tidak
hanya untuk merencanakan pemenuhan pasokan dan pengendalian harga, tetapi juga
sebagai salah satu upaya target besar pemerintah mencapai swasembada daging
sapi. Target swasembada itu terus bergeser dari semula 2010 menjadi 2014.
Bahkan, dikawatirkan mundur lagi karena sangat kuatnya desakan dari para
pebisnis lewat organisasi internasional seperti OECD dan APEC, yang meminta
pihak pemerintah Indonesia agar tidak menerapkan swasembada komoditas pangan
utama termasuk komoditas daging sapi. Untuk mengatasi hal tersbut pemerintah
membuat UU No. 18 Tahun 2012[13], pada pasal 36 dibahas
bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri
tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
2.14 Gerakan Massal Penganekaragaman Pangan
Intervensi mendesak yang
dapat dilakukan pemerintah lainnya, adalah dengan mengintensifkan
pelaksanaan/implementasi di lapangan yang tertuang sebelumnya dalam Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009[14] tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Dalam Perpres tersebut,
pemerintah melalui pemerintah daerah memberikan arahan pentingnya penerapan
gerakan massal kepada masyarakat melalui kegiatan
deversifikasi/penganekaragaman atas komoditas pangan sebagai sumber energi,
yaitu mengkonsumsi daging selain daging sapi, seperti daging ayam, itik, ikan
dll. Jika diperlukan diperlombakan dalam event tingkat provinsi ataupun
nasional, sehingga dapat merangsang masyarakat untuk membuat bahan baku makanan
sebagai sumber gizi dan kesehatan dari komoditas pangan yang berbasis lokal.
Dari hasil sensus yang
tercatat di BPS, 2012, bahwa populasi ternak sapi di indonesia jumlahnya
sebanyak 14,5 juta ekor. Jumlah ini tentu masih dapat ditingkatkan lagi secara
bertahap sehingga pada akhirnya akan dapat diperoleh jumlah produksi untuk
mencapai kondisi swasembada daging sapi pada tahun 2014 yang dicanangkan
pemerintah. Namun kita tidak boleh pesimistis, justru kebijakan pangan
Indonesia dengan jumlah penduduk 240 juta tidak boleh berhenti hanya sebatas
menjaga pasokan tanpa peduli akan sumber-sumber bahan pangan lainnya yang
berlimpah di wilayah Nusantara yang dapat diolah sebagai sumber alternatif
pasokan energi dan gizi bagi konsumsi masyarakat. Semua negara berpenduduk
besar termasuk Indonesia selalu mendukung kebijakan pencapaian swasembada
berbagai komoditas pangan.
Hal itu tentu sangat
memerlukan komitmen tinggi dari pengambil kebijakan dan hasil kebijakan
tersebut hendaknya dapat lebih komprehensif, baik mempertimbangkan sisi nilai
produksi maupun jumlah konsumsinya. Dibarengi dengan upaya menekan biaya
produksi agar terjadi efisiensi serta menciptakan kepastian harga dengan
menjaga stabilitas harga di tingkat pasar konsumen, agar tidak terjadi gejolak
ataupun fluktuasi kenaikan harga yang pada akhirnya memberatkan masyarakat.
Memang hal tersebut tidak bisa hanya dengan kebijakan kulit sisi hilir, tetapi
harus dapat menyentuh pada akar masalahnya dengan memetakan secara lebih
terperinci baik data-data dan perhitungan yang tepat dan cermat mengenai jumlah
produksi dan tingkat konsumsi masyarakat di wilayah tertentu di Indonesia
sehingga dapat menjadi pedoman untuk mengambil kebijakan antisipatif baik saat
ini maupun ke depan dalam mengatasi dan menjaga stabilitas gejolak tingkat harga
komoditas produk pangan terutama harga komoditas daging sapi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
Upaya yang telah dilakukan pemerintah atas langkah-langkah internasional
tentang permasalahan kelaparan khususnya di negara-negara berkembang, masih
belum terealisasikan untuk ketahanan pangan di Indonesia sendiri.
Regulasi-regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah masih belum berjalan secara
optimal hingga saat ini.
3.2 Saran
Tingkatkan
sektor pertanian agar mensejahterakan penduduk Indonesia untuk mempertahankan
pangan dikalangan masyarakat Indonesia yang belum memadai keanekaragaman, serta
kestabilannya. Perlunya ketegasan dalam melaksanakan regulasi-regulasi
ketahanan pangan yang telah dibuat pemerintah, agar berjalan sesuai dengan
target dan yang diharapkan.
Disusun oleh:
Kelompok 7/A-P1
Ade Setiawan J3E111015
Rico Fernando
Theo J3E111044
Indah Kharisma J3E111097
M. Fauzan J3E111129
Jessica Putri J3E211163
[1]
Dikutip dari IAAS indonesia
[2]
Dikutip dari Southeast Asian Food & Agricultural Sciene & Technology
Center
[3]
Dikutip dari KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK IDNONESIA
[4]
Dikutip dari: www.downtoearth-indonesia.org
[5] Kovenan adalah sebuah perjanjian mulitilateral
yang mengikat pemerintahan suatu negara dengan hukum internasional untuk
membuat satu aturan tentang satu hal/pemasalahan
[6] Piagam Petani menyatakan bahwa tujuan reforma agraria dan
pembangunan pedesaan adalah transformasi kehidupan dan kegiatan pedesaan dalam
semua aspeknya yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya, kelembagaan,
lingkungan dan kemanusiaan.
[7] Dikutip dari:
http://www.spi.or.id
[8]
Daftar produk untuk tarif sesungguhnya
[9]
daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat
[11]
Jebakan Kelas Menengah
[12]
Dikutip dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
[13]
Dikutip dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
[14]
Dikutip dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar