Minggu, 20 Oktober 2013

NASIB PERUT BANGSA INDONESIA



BAB I

PENDAHULUAN



1.1              Latar belakang

Ketahanan pangan merupakan hak asasi semua manusia. Setiap manusia berhak mendapatkan makanan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya. Hak atas pangan sebagai salah satu hak paling mendasar, dapat diartikan sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap, dan bebas, baik secara langsung atau dengan membeli, atas pangan yang memadai dan cukup baik secara kualitatif dan kuantitatif, yang berhubungan secara langsung pada tradisi masyarakat di mana suatu konsumsi itu berasal. Akibat berkembangnya teknologi yang amat pesat, ada yang dapat memberikan dampak negatif dan juga dampak positifnya terhadap pangan. Salah satu dampak buruknya yaitu meningkatnya tingkat kemiskinan serta para balita yang tumbuh dengan kekurangan gizi.  Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan salah satu unsur penting dari ketahanan kualitas hidup rumah tangga. Ketahanan  kualitas hidup  rumah tangga (Household livelihood security) didefinisikan sebagai kecukupan dan keberlanjutan akses terhadap pendapatan dan sumber daya untuk  memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, air bersih, kesehatan, pendidikan, perumahan) . 
Menurut rhamadania  El Hida – detik finance , penduduk indonesia yang kini kurang lebih 237,6 juta jiwa, masih rentan terhadap orang-orang yang rawan kelaparan. Masalah ini sepatutnya dapat segera diselesaikan dengan berpatokan  kepada tujuan utama ketahanan pangan yaitu: meningkatkan ketersediaan pangan, mengembangkan diversifikasi pangan, mengembangkan kelembagaan pangan daan mengembangkan usaha pengelolaan pangan. Hal tersebut sulit diselesaikan karena banyak kalangan  praktisi kurang memahami atau salah pengetian dalam memahami arti dari ketahanan pangan. Sehingga konsep ketahanan dari pemikiran tersebut sering disamakan dengan proses penambahan atau peningkatan produksi atau penyediaan pangan yang cukup.

1.2              Rumusan Masalah

-          Bagaiman cara mempertahankan ketahanan pangan dengan berbagai pelanggaran HAM yang ada di Indonesia
-          Apa saja langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ketahanan pangan dan HAM di Indonesia
-          Siapa yang berperan penting dalam mempertahankan ketahanan pangan di Indonesia
-          Mengapa di negara berkembang (Indonesia) lebih banyak memiliki masalah ketahanan pangan dan HAM dari pada di negara maju

1.3              Tujuan

-          Untuk mengetahui cara mempertahankan ketahanan pangan dengan berbagai pelanggaran HAM yang ada di Indonesia
-          Mengetahui langkah-langkah dalam mengatasi masalah ketahanan pangan dan HAM di Indonesia
-          Mengetahui pentingnya peran pemerintah dan masyarakat dalam mempertahankan ketahanan pangan di Indonesia
-          Mengetahui penyebab sumber masalah di negara berkembang (Indonesia) lebih banyak memiliki masalah ketahanan pangan dan HAM dari pada di negara maju





























BAB II
PEMBAHASAN



2.1              Undang-Undang Pangan

Negara Indonesia merupakan negara agraria yang memiliki berbagai sumber daya alam hayati folra dan fauna yang amat melimpah.  Kalimat tersebut sering sekali kita dengar pada saat kita masih kecil atau pada saat duduk di Sekolah Dasar. Tetapi pada kenyataanya yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kemiskinan, kelaparan dan juga gagal panen. Hal tersebut terjadi dibeberapa daerah-daerah di Indoensia diakibatkan oleh sistem produksi, distribusi yang mencakup dalam sistem pangan terjadi ketidak adilan.
Kedaulatan pangan merupakan harga mati bagi setiap negara yang telah merdeka. Sepatutnya kemerdekaan bangsa Indonesia diisi dengan menjaga dan melindungi hak-hak warga negara. Salah satu-nya adalah memperoleh hak untuk mendapatkan pangan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau, sesuai undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Undang-undang tersebut berbunyi bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Berdasakan UU no. 7 tahun 1996 bahwa masyarakat Indonesia ber-hak mendapatkan pangan:
1.                  Tersedianya pangan yang cukup untuk masyarakat
2.                  Mutu
3.                  Aman
4.                  Merata
5.                  Terjangkau
Pendefinisian demikian ini belum menunjukkan pemihakan pada upaya mengutamakan produksi dalam negeri yang mensyaratkan perlunya jaminan atas akses sumber daya produktif (lahan dan modal), bagi setiap orang. Tafsir demikian ini menyebabkan tersisihnya kelompok rentan dan marjinal dari sistem pengadaan pangan dan menjadikan kelompok ini semata-mata purely food consumer dan bukan produsen yang bermartabat. Kedaulatan pangan mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global. Kedaulatan pangan mencakup hak untuk memproteksi dan mengatur kebijakan pertanian nasional dan melindungi pasar domestik dari dumping dan kelebihan produksi negara lain yang dijual sangat murah. Oleh karena itu, petani kecil dan buruh tani harus diberikan akses terhadap tanah, air, benih, dan sumber-sumber agraria lainnya[1].
 Kemudian UU No. 7 Tahun 1996 belum mengatur mekanisme untuk menjamin alokasi anggaran untuk menjamin realisasi hak atas pangan bagi kelompok miskin dan rentan termasuk perempuan. Kemudian Undang-undang nomor 7 tahun 1996 ini sangat memungkikann terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh para produsen. Hal tersebut terbukti dari keadaan pangan yang ada, karena pemerintah lebih memfasilitasi para produsen untuk memproduksi pangan yang memenuhi standar nasional atau internasional tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kondisi tersebut tecermin dari kasus-kasus kekerasan para pemodal. Kasus yang sudah nyata-nyata terjadi, seperti rekayasa genetika (kasus PT Sanghyang Seri, kasus Monsanto, Kapas Transgenik), kemasan (kasus halal versus tidak halal), dan kasus impor beras (kasus petani yang dirugikan akibat impor beras)[2].
Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron di Jakarta, Minggu, UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan itu hanya fokus pada pengaturan konsumsi pangan dan belum mencakup aspek produksi dan distribusi. Ia menambahkan, substansi pengaturan pemenuhan kebutuhan pangan dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 masih sangat umum dan banyak dilakukan pendelegasian sehingga terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaannya. Sehingga dilakukan amandemen dan menjadi undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan. Undang-yndang tersebut berbunyi “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.” Revisi UU Nomor 7 Tahun 1996, utamanya akan dilakukan pada Pasal 23 hingga 60 yang mengatur cadangan pangan, pemasukan dan pengeluaran, penganekaragaman pangan, krisis pangan dan keterjangkauan pangan[3].

2.2           Konvensi Internasional Tentang HAM untuk Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan masyarakatnya. Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir-akhir ini isu pangan sebagai hak asasi semakin gencar disuarakan di berbagai forum dunia, tak kurang tema Hari Pangan Sedunia tahun 2007 adalah tentang Hak Atas Pangan.
Agenda modern tentang Hak asazi Manusia (HAM) untuk pangan dimulai dari pidato presiden Amerika Serikat F. Roosevelts 1941 tentang 4 kebebasan (four freedoms), dimana salah satu di antaranya adalah hak pangan. Komitmen bahwa pangan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus diepenuhi tertuang dalam dukumen : (1) Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tahun 1948 yang menyatakan bahwa hak atas pangan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia; (2) Konvensi Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) tahun 1966, bahwa kecukupan pangan dan terbebas dari kelaparan (the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition) adalah hak dasar setiap indvidu; (3) Konvensi tentang Hak Anak (International Convention on the Right of Child) pada tahun 1989, bahwa hak asasi dari setiap anak untuk memperoleh pangan dan gizi yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Pengertian HAM untuk pangan yang sekarang dikenal banyak terkait dengan Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara penandatangannya. Hal khusus terpenting dari Deklarasi tersebut di atas adalah pemberian tekanan pada hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup (human right to adequate food), dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.[4]
Konvensi – konvensi Internasional yang telah ada ini jelas menunjukkan adanya usaha pemberian hak pangan untuk seluruh manusia di dunia. Adapun sebuah perjanjian yang telah ditandatangani indonesia dalam Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 semakin menuntut Indonesia untuk menepati janjinya. Pada perjanjian tersebut telah dikatakan bahwa harus adanya tekanan pada hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan. Perjanjian yang ditanda tangani pada tahun 1996 ini sampai sekarang tidak dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Komitmen Indonesia tentang pangan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 yang mengamanatkan pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Pasal 45 menyebutkan bahwa kewajiban untuk mewujudkan ketahanan pangan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat. Pasal berikutnya (pasal 46) membahas peran pemerintah dalam menyelenggarakan dan mengkoordinasikan cadangan pangan nasional; mengatur dan menyelenggarakan persediaan, pengadaan, dan penyaluran pangan yang bersifat pokok. Pemerintah perlu mengambil tindakan tegas untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, spekulasi dan manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan. Dalam pasal 47 antara lain disebutkan bahwa pemerintah mengembangkan, membina dan atau membantu penyelenggarakan cadangan pangan masyarakat, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan keperluan tersebut. Sedangkan pada pasal 48 disebutkan bahwa pemerintah mencegah terjadinya gejolak harga pangan tertentu yang merugikan ketahanan pangan, dan mengendalikan harga pangan pokok. Undang-undang tersebut telah mencakup ke tiga aspek peran pemerintah yang harus dilakukan dalam penjamin ketahanan pangan yaitu: kewajiban menghargai (respect), melindungi (protect) dan memenuhi (fulfill).
Konvensi serta komitmen yang telah dibuat oleh Indonesia sepertinya hanya menjadi wacana dan tidak terealisasikan sampai saat ini. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya penduduk Indonesia yang mengalami kemiskinan serta kelaparan. Peran pemerintah dalam menjamin ketahanan panganpun tidak terlaksanan.
Kewajiban pemerintah untuk menghargai, melindungi serta memenuhi kebutuhan yang tertuang dalam Undang – Undang maupun konvensi Internasional hanya bisa dirasakan oleh kalangan tertentu. Kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya merukan salah satu pelanggaran terbesar dan berdampak buruk untuk ketahanan pangan di Indonesia. Selain pemerintah, seperti yang telah tertuang dalam Undang – Undang Nomor 7 tahun 1996 masyarakat juga harus bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar penduduk Indonesia. Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1996 ini lahir sebagai bentuk komitmen Indonesia terhadap Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang telah dilakukan.

2.3              Hak Asasi Petani

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber agraria yang melimpah. Hal ini pulalah yang menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia terlibat dalam dunia pertanian. Data terkini yang dihimpun Serikat Petani Indonesia (SPI) dan berbagai elemen petani menyebutkan saat ini setidaknya ada 21 juta kepala keluarga (KK) yang hidup dari pertanian. Karena itu, perlindungan atas sumber-sumber agraria dan produk-produk pertanian harus menjadi kepentingan nasional Indonesia untuk menuju kemakmuran bangsa Indonesia.
Deklarasi Universal Has Asasi Manusia (HAM) yang telah dikeluarkan 10 Desember 1948 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam hal ini Komisi HAM (sekarang Dewan HAM) terus-menerus melengkapi dan memperkuat deklarasi HAM tersebut dengan melahirkan sejumlah kovenan[5] dan konvensi dalam bidang HAM yang sifatnya khusus. Di antara kovenan dan konvensi dimaksud adalah Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966), Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979), Konvensi Hak Anak-Anak (1989), dan Konvensi Perlindungan Hak-Hak semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (1990). Semua kovenan dan konvensi ini dimaksudkan oleh PBB untuk menjamin perlindungan HAM benar-benar berlaku secara universal, dalam arti di seluruh dunia serta pada semua kelompok masyarakat dan segenap sektor kehidupan.
Seluruh konvensi yang diselenggarakan hanya menyangkut HAM anak, perempuan dan buruh migran. Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya memiliki profesi sebagai petani sangat memerlukan sebuah konvensi yang membahas Hak Asasi Petani (HAP). Sampai saat ini belum ada konvensi atau kovenan HAM khusus untuk petani, namun usaha-usaha PBB untuk menjamin penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAP bukannya tidak ada. Salah satu instrumen paling penting dalam pemenuhan dan perlindungan HAP adalah mengenai hak atas pangan. Rancangan hak atas pangan ini tercantum dalam Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, yang keduanya disahkan pada 16 Desember 1966.
            Selain kedua kovenan induk tersebut, beberapa kegiatan yang diprakarsai UN-FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) telah menjadi landasan penguat hak atas pangan. Kegiatan-kegiatan dimaksud antara lain Konferensi Dunia tentang Reforma Agraria dan Pembangungan Pedesaan (KDRAPP) tahun 1979 yang melahirkan Piagam Petani (Peasants Charter)[6], Pedoman Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Hak atas Pangan yang layak dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional tahun 2004, dan KDRAPP tahun 2007. Instrumen lain yang memuat pemenuhan segi-segi tertentu dari HAP adalah Konvensi ILO No. 169, Klausa 8-J dari Konvensi Biodeversiti, dan Kartagena Protocol.
            Akan tetapi, instrumen-instrumen untuk pemenuhan dan perlindungan HAP dalam sejumlah kovenan, konveksi, dan piagam di atas, di samping sifatnya yang parsial, pada kenyataannya tidak mampu mencegah pelanggaran hak asasi petani. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya secara empiris telah memperlihatkan keterbatasannya melindungi hak-hak petani. Demikian pula dengan Piagam Petani yang dihasilkan pada KDRAPP tahun 1979 dan hasil KDRAPP tahun 2007 juga tidak mampu melindungi petani dari kebijakan liberalisasi, derugulasi dan privatisasi secara internasional. Sementara instrumen lainnya seperti Konvensi ILO No. 169, Klausa 8-J dari Konvensi Biodeversiti dan Kartagena Protocol tidak bisa ditetapkan secara optimal.
Terbatasnya kemampuan berbagai instrumen hak asasi manusia yang ada saat ini dalam menjamin perlindungan hak-hak petani dan rentannya kelompok masyarakat tani terhadap pelanggaran hak asasi, telah menyebabkan pelanggaran hak asasi petani menjadi sangat tinggi diberbagai kawasan dunia, terutama di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin salah satunya Indonesia.
            Tercatat sejak tahun 2007 hingga 2011, menurut catatan Serikat Petani Indonesia (SPI) dan juga BPN, terdapat setidaknya 1.894 kasus konflik agraria dengan berbagai latar konflik yg mengiringinya, dengan luasan lahan konflik yang mencapai tidak kurang dari 650.691 Ha, sebanyak 668 orang petani dikriminalisasikan, hampir 82.726 KK tergusur dari lahan-lahan garapannya, dan yang lebih mengenaskan lagi tentunya, 34 orang tercacat tewas akibat konflik agraria. Sementara itu, laporan Komnas HAM tahun 2009 menunjukkan dari sekitar 4.000 kasus pelanggaran HAM yang masuk, lebih dari 62 persennya adalah kasus lingkungan hidup dan konflik agraria.[7]
Menyadari kenyataan terbatas dan lemahnya kemampuan berbagai instrumen HAM yang ada untuk menjamin penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi petani, yang berakibat pada tingginya angka pelanggaran hak asasi petani diberbagai kawasan dunia, Gerakan Petani Internasional (La Via Campesina) memandang mutlak perlu adanya konvensi HAM khusus untuk petani. Tuntutan ini juga memiliki keabsahan hukumnya dalam Deklarasi Universal HAM serta Deklarasi Vienna dan Program Aksi dari Konferensi Dunia tentang HAM tahun 1993 maupun dalam hukum dan mekanisme HAP yang lebih khusus di PBB, seperti penetapan standar hak atas pangan dan HAP serta penetapan standar petani sebagai pembela HAM.

2.4              Pasar Bebas

Globalisasi memberi peluang bagi pelaku pasar untuk berkompetisi secara setara. Globalisasi juga membuat kondisi yang memaksa setiap pelaku pasar untuk bergerak dalam sistem pasar bebas. Pasar bebas ini bergulir seiring dengan ekskalasi lalu lintas barang dan jasa di dunia internasional dan nasional. Ekspor dan impor barang serta transaksi jasa antarnegara berlangsung semakin mudah, teratur, dan terorganisasi dibandingkan sebelum era globalisasi. Hal-hal tersebutlah yang menandakan sistem pasar bebas menguat.
Sistem ekonomi liberal atau pasar bebas adalah suatu sistem ekonomi dimana seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Sistem ini sesuai dengan ajaran dari Adam Smith di dalam buku “An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Penciptaan sistem liberalisasi perdagangan ditandai dengan lahirnya suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1994. GATT merupakan forum negosiasi perdagangan antarpemerintah, dibangun di atas asumsi bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistem yang proteksionis serta keyakinan bahwa persaingan bebas akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi. Sejak 1995, GATT berubah menjadi World Trade Organization (WTO). Bila GATT hanya mengatur perdagangan barang saja, maka peraturan WTO meliputi tiga bidang, yaitu perdagangan barang (termasuk pertanian), perdagangan jasa, dan hak cipta terkait perdagangan.
Kegiatan yang ada di dalam pasar bebas adalah persaingan. Pasar bebas merupakan pasar dimana harga barang dan jasa disusun secara lengkap oleh ketidak saling memaksa yang disetujui para penjual dan pembeli, ditetapkan umumnya oleh hukum penawaran dan permintaan dengan tanpa campur tangan pemerintah dalam regulasi harga, penawaran dan permintaan. Dalam etika pasar islami, ekuiblirium sebagai titik pertemuan persamaan hak antara pembeli dan penjual. Hak pembeli untuk mendapatkan barang dan hak penjual untuk mendapatkan uang yang sepantasnya dari barang yang dijualnya. Dalam konteks hak ini, kewajiban-kewajiban masing-masing pihak harus terpenuhi terlebih dahulu. Kewajiban penjual untuk membuat produk berkualitas dan bermanfaat dan bagi pembeli untuk membayar uang yang sesuai sebagai pangganti harga barang yang diperoleh.

2.5              Kedelai Impor

Salah satu bentuk sistem liberalisasi (pasar bebas) yang dilakukan oleh Indonesia dengan WTO dalam bidang pertanian dalam bentuk perjanjian pertanian, Agreement on Agriculture (AoA). Tujuannya adalah reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian, dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi ini berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin yang kuat dan efektif
Sebelum AoA diterapkan, perdagangan luar negeri Indonesia pada awalnya lebih fokus pada pengenaan lisensi impor. Di tahun 1990, kebijakan ini terbukti ampuh untuk memproteksi komoditas pertanian Indonesia. Jumlah komoditas yang dikenai lisensi impor berjumlah 1000 komoditas. Tetapi setelah AoA diterapkan, di tahun 1996 jumlah tersebut turun menjadi hanya 200 komoditas (Magiera, 2000 di dalam Amaliyah 2010). Penurunan jumlah ini diakibat kan oleh penghapusan hambatan non-tarif untuk komoditas yang diikat di WTO.
Indonesia memberlakukan tarif riil (applied tariff)[8] yang lebih rendah dari tarif yang diikat (bound tariff)[9] dalam AoA (Swastika and Nuryanti 2006, 260). Misalnya, tarif riil yang dipakai untuk beras dan gula adalah Rp 430/kg dan Rp 700/kg, yang mana sekitar 30 persen dan 60 persen dari tarif yang diikat. Sementara itu, tarif yang diikat untuk kedelai sebesar 27 persen dan 210 persen, tetapi tarif riilnya hanya 0 persen dan hampir seluruh applied tariff produk pertanian Indonesia lebih rendah dari bound tariff AoA. Beberapa komoditas malah tidak dikenakan tarif. Dibandingkan dengan negara maju, bound tariff Indonesia pada umumnya jauh lebih rendah dari negara maju, bahkan dari beberapa berkembang lainnya. Hal ini jelas terlihat dari rata-rata bound tariff Indonesia yang rata-rata berada pada kisaran 40%, hanya beras, susu, dan gula yang berada pada level tinggi. Rendahnya tarif yang dikenakan telah memicu membanjirnya produk pertanian negara lain masuk ke Indonesia, seperti kasus kedelai impor.
Separuh diantara kedelai impor yang masuk ke Indonesia berasal dari negara maju dan beberapa dari negara Amerika Latin, seperti Argentina dan Brazil. AS mendominasi ekspor kedelai ke Indonesia, mencapai hampir 50% dari total impor kedelai Indonesia setiap tahunnya sehingga harga produk pertanian impor menjadi lebih rendah dari yang seharusnya (Swastika and Nuryanti 2006, 260). Periode tahun 2002-2004, harga kedelai impor dari AS dan China Rp.1.800 - Rp.1.900 per kilogram, sedangkan harga kedelai domestik hanya Rp.2.500 per kilogram (Kompas, 2004 di dalam Amaliyah 2010). Kondisi ini jelas membuat kedelai domestik tidak kompetitif dibanding dengan kedelai impor.
Pada tahun 2004, Salah satu usaha Departemen Pertanian dalam menekan laju import kedelai pernah dengan meningkatkan tarif impor kedelai hingga 27 persen (sesuai dengan bound tariff tertinggi yang diperbolehkan WTO). Namun, tim tarif dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengisyaratkan hanya akan menetapkan tarif impor 10-15 persen dan jika tarif itu diberlakukan, harga kedelai impor akan jauh di atas kedelai lokal. Kondisi tersebut jelas akan sangat menguntungkan petani Indonesia. Namun pada akhirnya, pemerintah lebih berpihak pada konsumen dengan memutuskan untuk tetap pada tarif semula (0 persen) karena dengan begitu kedelai tetap murah di pasaran. Dilema antara menyediakan pangan murah dengan memberikan harga yang tinggi di tingkat produsen akan selalu ada dalam kebijakan pertanian, baik di negara maju maupun berkembang (Diaz-Bonilla et al. 2002, 19). Perbedaannya terletak pada solusi yang diambil. Negara maju memilih untuk menyiasati kenaikan harga di tingkat produsen melalui pajak. Sedangkan di negara berkembang, penyediaan pangan murah bagi rakyat banyak menjadi solusi tetap.
AoA membawa beberapa dampak bagi perkedelaian Indonesia, baik secara langsung dan tidak langsung. Damapak langsung bagi perkedelaiaan Indonesia, yaitu Indonesia menjadi negara yang ketergantungan terhadap kedelai impor, perubahan pada tata niaga kedelai, perubahan orientasi pertanian.
Tabel 1.  Import Kedelai Indonesia tahun 1995-2004
 










Sumber: www. agribisnis.deptan.go.id
Ketergantungan terhadap impor kedelai terus berlanjut dan terus meningkat. Dari tahun 1999, Indonesia sudah memenuhi separuh kebutuhan kedelai nasional dengan mengimpor. Di tahun 2002-2003 bahkan mencapai angka ketergantungan 70 persen, meski akhirnya turun sedikit menjadi 69,94 persen di tahun 2004. Rata-rata ketergantungan impor kedelai per tahun meningkat hampir dua kali dari sepuluh tahun sebelumnya hingga mencapai 51,5 persen.
Melihat besarnya nilai import, pihak pemerintah justru menyatakan bahwa impor merupakan bagian dari usaha memenuhi ketahanan pangan. Hal ini pernah disampaikan oleh Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Krisnamurthi (2003). Kebijakan impor menjadi pilihan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar. Pilihan ini merupakan konsekuensi yang dapat diterima di era globalisasi. Apalagi, kegiatan mengimpor ini didukung adanya kemudahan kredit ekspor yang diberikan khusus oleh pemerintah AS untuk para importir kedelai di Indonesia. Di tahun 2000, Departemen Pertanian AS (USDA - United State Department of Agriculture) meluncurkan kredit ekspor, GSM 102. Hal Ini dilakukan untuk menjaga insentif harga bagi petani AS yang produksinya melimpah. Kredit ekspor yang memberikan keleluasaan pembayaran hingga dua sampai tiga tahun ini, diberikan sebesar 12 juta dollar AS di tahun 2000 dan sebesar 750 juta dollar AS di tahun 2001. Dengan fasilitas kredit ini, importir Indonesia banyak yang mendatangkan kedelai dari AS[10].
Dampak akibat penerapan AoA juga dirasakan pada orientasi pertanian Indonesia. Akibat-akibat empiris penerapan AoA di Indonesia dan penyesuaian struktural ala IMF telah menyebabkan hampir semua ekspor komoditas pertanian merosot. Pertanian kedelai ditinggalkan petaninya karena kurang menguntungkan. Selain itu, sistem perdagangan kedelai di Indonesia menjadi bersifat oligopolis. Struktur ini rentan terhadap gejolak harga dan mudah bagi importir untuk mengendalikan pasokan dan akhirnya mengendalikan harga. Kasus kedelai impor menunjukkan adanya kebijakan kosong dalam hal ketahanan pangan, khususnya untuk kedelai yang menjadi bahan baku tempe sebagai makanan murah. Kebijakan pangan dan strategi produksi kedelai bisa dikatakan tidak ada sama sekali karena kebijakan liberal yang dibuat oleh pemerintah hampir tanpa tarif sama sekali sejak lama. Penurunan tarif impor hingga nol persen menjadikan kedelai sebagai tanaman pangan yang tidak menguntungkan untuk ditanam. Akibatnya, pertanian kedelai semakin memburuk dan tenggelam karena banyaknya kedelai impor.

2.6              Impor daging dan hubungannya dengan HAM

Proses impor merupakan usaha sebuah negara dalam melakukan suatu perdagangan internasional.  Dari negara pengekspor maupun pengimport mendapatkan keuntungan dari adanya perdagangan internasional. Negara pengekspor memperoleh pasar dan negara pengimpor memperoleh kemudahan dalam mendapatkan barang yang dibutuhkan. Dampak baiknya antara lain pertama dapat mempererat persahabatan , dari proses perdagagan ini akan ada rasa saling membutuhkan satu sama lain. Kedua adalah menambah kemakmuran negara , proses ekspor impor  ini akan menaikkan pendapatan masing-masing negara. Ketiga menjadi sumber pemasukan kas negara , proses perdagangan internasional dapat meningkatkan sumber devisa negara bahkan banyak negara yang mengandalkan sumber pendapatan dari pajak ekspor impor. Keempat menciptakan efisiensi dan spesialisasi Perdagangan internasional menciptakan spesialisasi produk. Negara-negara yang melakukan perdagangan internasional tidak perlu memproduksi semua barang yang dibutuhkan. Akan tetapi hanya memproduksi barang dan jasa yang diproduksi secara efisien dibandingkan dengan negara lain. Namun dari dampak positif yang dihasilkan terdapat celah dimana dampak negatif itu timbul. Pertama adalah adanya ketergantungan suatu negara dengan negara lain , kedua persaingan yang tidak sehat dalam perdagangan , ketiga banyaknya industri kecil yang kurang mampu menjadi gulung tikar , keempat adanya pola konsumsi masyarakat yang meniru konsumsi negara yang lebih maju. Dalam kasus ini diambil saja contohnya impor  daging. Daging dengan kualitas tentu sangat disukai oleh masyarakat, namun apakah setiap golongan dapat menjangkau harga dari daging impor? Tentu tidak. Pertanyaan kedua apakah setiap pedagang tradisional dapat menjual daging impor dengan harga tinggi? Ini merupakan permasalahan yang rumit yang dialami masyarakat sekitar. Para penjual yang tersaingi dengan harga daging impor yang hampir sama dengan daging lokal lalu memiliki kualitas baik. rencana pemerintah menaikkan kuota impor daging menyalahi Undang-undang (UU) Pangan. Alasannya, sesuai pasal 14 ayat 2 UU Pangan maka impor hanya bisa dilakukan manakala produksi dalam negeri tidak mencukupi. harga daging sapi yang terus meroket bisa jadi karena suplai yang tidak cukup. Selain itu, ia juga menduga distribusi tidak berjalan dengan baik. tiga faktor penyebab tingginya harga daging sapi di Indonesia. Yaitu akibat tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan permintaan, karena jalur distribusi yang sangat mahal, dan tak adanya sentra produksi sapi di sekitar kota-kota besar terutama di Jakarta.

2.7              Mengatasi Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian

Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang berbasis Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan. Kedaulatan Pangan mencerminkan hak menentukan kebijakan secara mandiri, menjamin hak atas pangan bagi rakyat, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan Kemandirian Pangan merupakan wujud kemampuan negara memproduksi pangan di dalam negeri secara bermartabat. Terwujudnya ketahanan pangan hanyalah ultimate goal, karena sejatinya pencapaian akhir yang diharapkan dari kondisi tersebut adalah ketahanan nasional yang tangguh.
Politik Pangan ini penting ditegaskan kembali karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling dasar, sehingga semua bangsa berupaya untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh warga negaranya dan menyimpan sebagian untuk cadangan pangan nasional. Indonesia memerlukan politik pangan berbasis kedaulatan dan kemandiran pangan didasarkan atas pertimbangan kondisi lingkungan internal dan eksternal serta analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang dihadapi Indonesia.
Ditinjau dari kondisi global, konsumsi pangan akan cenderung meningkat di seluruh dunia. Proyeksi PBB menyebutkan populasi penduduk dunia di tahun 2050 mencapai lebih dari 9 miliar jiwa, memerlukan tambahan pangan sebesar 70% dibandingkan sekarang. Di masa depan diprediksi akan terjadi kelangkaan pangan yang diakibatkan oleh beberapa hal seperti kerusakan lingkungan, konversi lahan, tingginya harga bahan bakar fosil, pemanasan iklim dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan negara produsen pangan akan mengamankan produksinya untuk kebutuhan dalam negeri dan bahkan meningkatkan impor pangan untuk mengamankan stok dalam negerinya.
Namun dengan keragaman sumberdaya dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda maka setiap negara memiliki cara sendiri untuk mewujudkan ketahanan pangan nasionalnya. Penelitian Zoelick (former President World Bank) yang mengamati progress pertumbuhan ekonomi di 101 negara pada tahun 1960 dan 2012, menunjukkan, bahwa hanya negara-negara yang konsisten membangun ketahanan pangannya, menyediakan infrastruktur yang mengkoneksi antar wilayah dan memberikan perlindungan sosial bagi warga negaranya yang mampu terlepas dari jeratan "middle income trap"[11].
Indonesia tidak akan terjebak sebagai negara middle income trap karena politik pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah tetap konsisten di jalurnya. Sektor pertanian/pangan menjadi prioritas dalam pembangunan. Produksi pangan dalam negeri terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat yang terus tumbuh baik jumlah maupun keragaman jenis pangannya.
Golongan menengah di Indonesia juga meningkat, ini berarti konsumsi bahan pangan lebih banyak lagi. Saat ini Indonesia memiliki 45 juta pangsa klas konsumen dan pada tahun 2030, akan tumbuh menjadi 135 juta. Demikian pula market opportunities dari 0,5 miliar menjadi 1,8 miliar di tahun 2030.
Sistem logistik dan distribusi pangan menjadi perhatian pemerintah dalam politik pangan nasional untuk memastikan bahwa ketahanan pangan dinikmati oleh setiap orang di Indonesia hingga ke pulau terdepan dan di daerah yang sulit terjangkau sekalipun. Untuk menghubungkan antar wilayah dan mempersingkat waktu tempuh bahan pangan, pemerintah memfokuskan pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas antar wilayah Indonesia.
Menyadari pentingnya penataan sistem logistik dalam persaingan domestik dan internasional, Indonesia telah menyusun blueprint pengembangan logistik yang menelaah jarak geografis antara kota-kota besar di Indonesia dan Singapura. Hal ini dilakukan agar biaya translaut dan kontainer dari sentra produksi ke sentra konsumen tidak lebih mahal jika dibandingkan pengiriman ke Singapura.

2.8              Kekuatan Indonesia

Indonesia diuntungkan oleh bonus demografi dengan tingginya jumlah angkatan muda dan mulai dirasakan pengaruhnya pada perekonomian nasional. Arus urbanisasi menyebabkan pertumbuhan daerah perkotaan sehingga menambah pangsa kelas konsumen. Indonesia juga terbukti mampu mengendalikan laju inflasi, menurunkan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran. Untuk mengimbanginya, maka pemenuhan pangan harus dilakukan dengan cara meningkatkan produksi dan produktivitasnya melalui intensifikasi (bukan ekstensifikasi), diversifikasi konsumsi melalui pengembangan pangan lokal, peningkatan daya saing, dan menurunkan kehilangan paska panen dan value-chain.
Pangan lokal dikembangkan karena Indonesia memiliki keragaman hayati yang sangat kaya dan belum dimanfaatkan secara optimal. Keanekaragaman tersebut mencakup tingkat ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetik, yang melibatkan makhluk hidup beserta interaksi dengan lingkungannya.
Produsen pangan nasional sudah saatnya menghidupkan kembali sumber-sumber pangan lokal untuk menghentikan kemerosotan keragaman varietas jenis pangan yang dibudidayakan oleh petani. Apabila kondisi ini terus dikembangkan di seluruh wilayah nusantara, maka kemampuan nasional untuk meningkatkan produksi pangan pasti akan meningkat sekaligus menghindarkan ketergantungan terhadap jenis pangan tertentu. Ini diperkuat oleh adanya UU No. 18 tahun 2012[12] Tentang Pangan, yaitu pada pasal 12 dijelaskan bahwa penyediaan pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara berkelanjuta. Dalam pasal 12 pemerintah juga menetapkan sentra produksi pangan lokal sesuai dengan usulan pemerintah daerah.
Kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah konsumen domestik yang besar menjadi pasar dalam negeri yang potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Disamping itu pemerintah telah berhasil dalam melakukan pengendalian tingkat inflasi, penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran.  Di sisi lain, situasi dunia akibat perubahan iklim dan faktor-faktor yang lain, seringkali menyebabkan supply pangan global terganggu sehingga menimbulkan fluktuasi harga secara cepat.
Perdagangan bebas dan Free Trade Area akan menciptakan global economic connectivity danborderless state. Asia menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di dunia sehingga posisi Indonesia yang strategis akan mendapatkan keuntungan. Dependency ratio negara maju meningkat seiring dengan majunya pertumbuhan ekonomi negara Asia. Situasi ini mengharuskan Indonesia memenuhi kecukupan pangannya diutamakan dari produksi dalam negeri. Potensi sumber pangan yang beragam dan letak geografis Indonesia di jalur khatulistiwa menyebabkan Indonesia relatif aman dari dampak global climate change, merupakan opportunity yang tidak boleh dilewatkan. Diperkuat dengan meningkatnya kesadaran terhadap green economy memberikan peluang Indonesia khususnya sebagai negara penyuplai pangan dunia (feed the world).
Kemampuan memproduksi pangan nasional diimbangi dengan keberadaan lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi sebagai stabilisator harga pangan strategis di pasar dalam negeri sekaligus mengelola sistem logistik pangan pemerintah. Pemerintah saat ini telah menetapkan Perum BULOG menjalankan fungsi tersebut, agar harga pangan tidak berfluktuasi dan cadangan pangan untuk kondisi darurat tetap terjaga. Bulog diharapkan mampu menjaga harga pangan di pasar lokal sehingga petani menerima harga jual yang tetap memberikan keuntungan bagi usaha taninya dan konsumen dapat membeli pangan dengan harga terjangkau. Setidaknya untuk beberapa produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi dan minyak goreng.

2.9              Empat Strategi

Memperhatikan kondisi lingkungan eksternal, regulasi yang mendukung seperti MP3EI dan analisis SWOT, setidaknya terdapat empat strategi yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan politik pangan yang berbasis pada kedaulatan dan kemandirian.
PertamaRegulasi. Harmonisasi implementasi Peraturan dan Undang-Undang antar kementerian lembaga/ legislatif dan antara pusat/daerah ; Sinergitas program Kementerian/ Lembaga, fokus pada sektor pertanian dalam arti luas (mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan) ; Alokasi anggaran APBD untuk pembangunan sektor pertanian yang signifikan;  Penguatan Kelembagaan yang terkait dengan pertanian, seperti R & D, Perbankan dan penyuluhan; dan Sinergitas Akademisi, Bisnis, Government (ABG) dan LSM untuk peningkatan inovasi dan produktivitas.
KeduaKetersediaan. Kesungguhan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan potensi pangan lokal di wilayah masing-masing; Revitalisasi BUMN pangan guna meningkatkan produksi untuk mendapatkan economy of scale sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan; dan dukungan Pemerintah untuk pengembangan sistem perbenihan dan perbibitan melalui pemanfaatan hasil riset baik oleh lembaga pemerintah, perguruan tinggi, swasta, maupun masyarakat.
KetigaKeterjangkauan. Melakukan penataan sistem logistik melalui perbaikan infrastruktur jalan, perhubungan dan pergudangan agar dapat menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan daya saing; Memperpendek supply chain pangan melalui peningkatan peran Bulog untuk stabilisasi harga komoditas pangan strategis dan menekan pasar yang bersifat oligopoli; dan Membangun Sistem Pengawasan terhadap distribusi pangan dan berbagai subsidi input produksi.
KeempatKetercukupan Gizi. Perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi protein dan menurunkan konsumsi karbohidrat sesuai dengan Pola Pangan Harapan; Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan lokal melalui pengembangan dan pemanfaatan sumber pangan di masing-masing wilayahnya; Modernisasi industri pangan lokal mulai dari pengolahan hingga pengemasan sehingga dapat menjadi kebanggaan dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat daerah; Peningkatan keamanan pangan untuk menjamin keselamatan konsumen melalui pemberdayaan Badan POM dan Laboratorium Universitas di masing-masing daerah.
Jadi, pelaksanaan Politik Pangan Indonesia  memerlukan sikap dan tindakan yang konsisten dan dinamis berdasarkan pertimbangan perkembangan lingkungan eksternal dan dihadapkan dengan analisis SWOT guna meningkatkan daya saing untuk menuju IndonesiaIncorporated. Juga, penjabaran Politik Pangan membutuhkan sinergitas pemerintah pusat dan daerah, antar kementerian/lembaga dengan melibatkan peran aktif perguruan tinggi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam membentuk regulasi untuk  membangun ketahanan pangan (ketersediaan, keterjangkauan dan ketercukupan gizi) sehingga dapat mewujudkan IndonesiaFeed the World.

2.10          Kebijakan Antisipatif Untuk Pengendalian Harga Daging Sapi

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan pendidikan yang semakin baik di Indonesia, maka permintaan dan kebutuhan konsumsi atas komoditas daging sapi di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan trend meningkat.
Berdasarkan data Susenas BPS 2011, tingkat kebutuhan konsumsi daging sapi bagi penduduk Indonesia (terbesar ke-4 dunia), rata-rata sebesar 1,83 kg/kapita/tahun atau meningkat konsumsi dari tahun sebelumnya sebesar 0,14 kg. Sedangkan jumlah total kebutuhan konsumsi daging sapi domestik selama tahun 2012 (tidak termasuk industri dan hotel, restoran serta katering) angkanya mencapai 441.605 ton. Jika dibandingkan dengan jumlah total produksi daging sapi yang dihasilkan di dalam negeri, masih mengalami kelebihan produksi sebesar 75.782 ton dari total produksi keseluruhan mencapai 465.823 ton. Prediksi awal, dengan kelebihan jumlah produksi tersebut diharapkan akan dapat mencukupi dan memenuhi permintaan kebutuhan daging sapi baik untuk konsumsi rumah tangga, industri dan sektor horeka selama satu tahun.
Harga komoditas daging sapi di dalam negeri dari tahun ke tahun kenyataannya terus mengalami kenaikan. Kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya sangat berhubungan erat dengan kenaikan permintaan, jumlah pasokan yang berkurang, serta impor dan harga daging sapi yang berlaku di pasar internasional. Kenaikan pemintaan komoditas daging sapi sangat signifikan pada saat menghadapi Hari Besar Keagamaan Nasional (HKBN) dan berpotensi pada harga daging sapi menjadi naik, apalagi jika tidak diimbangi dengan pasokan yang cukup maka lonjakan kenaikan harga akan semakin meningkat tajam.
Menurut data terbaru tahun 2013 yang dilansir dari Bank Dunia, harga komoditas daging sapi di Indonesia saat ini termasuk yang termahal di dunia dengan tingkat harga pada bulan Desember 2012 mencapai kisaran 9,76 dollar AS. Sementara tingkat harga yang terjadi di negara tetangga dan beberapa negara lainnya, seperti Malaysia kisarannya sebesar 4,3 dollar AS, Thailand 4,2 dollar AS, Australia sebesar 4,2 dollar AS, Jepang 3,9 dollar AS dan Jerman 4,3 dollar AS serta Negara India sebesar 7,4 dollar AS.

2.11          Fluktuasi Harga Daging Sapi  

Selama periode tahun 2012, terpantau rata-rata harga daging sapi di tingkat eceran angkanya telah mencapai Rp 74.991/kg atau mengalami kenaikan sebesar 7,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, jika menjelang hari Lebaran, harga daging sapi di beberapa kota di Indonesia dipastikan akan terus meningkat, angkanya sempat menyentuh Rp 85.000/kg sampai dengan Rp 100.000/kg atau mengalami kenaikan sekitar 20% dari bulan sebelumnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), rata-rata kenaikan harga komoditas daging sapi per tahun mencapai 9,0%. Dengan kenaikan harga tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai angka 14,4% dibandingkan pada tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 50.036/kg menjadi Rp 57.259/kg. Harga daging sapi pada periode tahun 2003-2012 mengalami gejolak kenaikan harga dengan tingkat koefisien variasi sebesar 27,3%. Secara nasional, perkembangan situasi harga daging sapi pada tahun 2012 (sampai dengan bulan September 2012) berangsur-angsur mengalami kenaikan dari awal Januari dan mulai mengalami lonjakan harga pada bulan Juli (menjelang puasa), yaitu mencapai angka 3,36% dari Rp 74.393/kg menjadi Rp 76.895/kg. Sedang tingkat harga pada bulan Agustus 2012 terus bergerak naik mencapai 3,78% dari Rp 76.895/kg menjadi Rp 79.800/kg.
Sudah 3 (tiga) bulan terakhir ini,  harga daging sapi tidak kunjung mengalami penurunan harga dan bertahan pada dikisaran sebesar Rp 90.000/kg dan diperkirakan akan bisa menyentuh pada tingkat level Rp 120.000/kg bila mendekati puasa dan lebaran, yang artinya harga tersebut sudah melampaui tingkat kemampuan daya beli masyarakat Indonesia. Sementara itu berdasarkan pemantauan dari data yang dirilis oleh BPS Tahun 2012, di beberapa daerah sentra produksi telah terjadi fluktuasi harga komoditas daging sapi baik tingkat konsumen antar waktu dan propinsi. Fluktuasi harga terbesar antar waktu terjadi pada periode tahun 2012 dan fluktuasi harga antar propinsi terjadi di daerah Aceh dan yang terendah ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur.

2.12          Stabilisasi Harga Daging Sapi

Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas yang selama ini mempunyai andil yang cukup besar pada perbaikan gizi masyarakat, khususnya kebutuhan protein hewani. Protein hewani sangat dibutuhkan dalam pembangunan manusia Indonesia karena sangat erat hubungannya dengan kondisi kesehatan fisik dan perkembangan kecerdasan manusia.
Untuk mengantisipasi kenaikan harga komoditas daging sapi, pemerintah perlu segera melakukan berbagai langkah-langkah dan upaya terobosan yang mendesak untuk dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka menengah, agar stabilitas harga atas komoditas daging sapi di pasaran dapat tetap terjaga dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Selama ini fluktuasi naiknya harga komoditas daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah pasokan yang mencukupi dalam mengimbangi tingginya permintaan lewat mekanisme pasar. Upaya intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga komoditas daging sapi pada tingkat yang normal sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, adalah dengan melakukan intervensi lewat keduanya, yaitu dari sisi jumlah pasokan dan konsumsi.
Pemerintah dapat menjaga dan mengatur titik keseimbangan atas jumlah pasokan berdasarkan hasil pemantauan mengenai peta jumlahnya, wilayah-wilayah produksinya serta tingkat konsumsi masyarakat terhadap daging sapi untuk kebutuhan per wilayah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, perkiraan mengenai jumlah pasokan yang harus tetap tersedia dapat terpantau dengan baik, apakah dengan menambah ataupun menjaga kondisi pasokannya pada area/pasar di wilayah tertentu.
Dampak lain yang dapat dicegah adalah harga pada tingkat konsumen tidak akan dapat dipermainkan lagi oleh pihak produsen. Pemerintah tentunya dapat menjaga kecukupan secara konsisten dan cepat tanggap dalam memperhitungkan jumlah pasokan dan kebutuhan yang harus selalu tersedia di wilayah pasar-pasar tertentu, yang didasarkan pada hasil kegiatan pemantauan yang sudah dilakukan sejak awal sebelum mengelontorkan pasokan komoditas daging sapi pada tingkat tertentu.

2.13          Akurasi dan Ketersediaan Data

Untuk memperhitungkan jumlah pasokan dan kebutuhan yang harus selalu tersedia di wilayah-wilayah pasar tertentu, seyogyanya dibarengi dengan kemampuan yang andal dalam melakukan proses pemantauan sehingga dapat diperoleh ketersediaan data yang cukup lengkap mengenai jumlah kemampuan pasokan maupun angka volume konsumsi masyarakat, sehingga pada akhirnya akan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengambil langkah-langkah kebijakan yang antisiaptif dalam mengendalikan stabilitas, baik harga maupun jumlah suatu komoditas atas produk pangan utamanya komoditas daging sapi.
Sayangnya di Indonesia mengenai data, selalu menjadi titik kelemahan utama. Untuk data konsumsi, misalnya, terdapat perbedaan sangat menyolok. Data pedagang menunjukan konsumsi daging masyarakat sekitar 4,5 kg/kapita/tahun, sedangkan menurut data dari pemerintah kurang dari 2 kg/kapita/tahun. Akurasi dan ketersediaan data itu akan sangat menentukan kualitas kebijakan yang akan ditempuh. Apabila pemerintah menggunakan data resmi dari pedagang, terjadi kekurangan pasokan dan kenaikan harga akan terjadi. Sebaliknya, apabila digunakan data pemerintah, karena dianggap lebih tepat, akan terjadi membanjirnya impor komoditas daging sapi yang tentu saja akan menghambat program pemerintah di bidang swasembada daging sapi. Harga yang rendah dan pasar makin sempit, akibat gempuran impor, pada akhirnya menjadi disinsentif bagi para peternak dalam negeri.
Data ini penting, tidak hanya untuk merencanakan pemenuhan pasokan dan pengendalian harga, tetapi juga sebagai salah satu upaya target besar pemerintah mencapai swasembada daging sapi. Target swasembada itu terus bergeser dari semula 2010 menjadi 2014. Bahkan, dikawatirkan mundur lagi karena sangat kuatnya desakan dari para pebisnis lewat organisasi internasional seperti OECD dan APEC, yang meminta pihak pemerintah Indonesia agar tidak menerapkan swasembada komoditas pangan utama termasuk komoditas daging sapi. Untuk mengatasi hal tersbut pemerintah membuat UU No. 18 Tahun 2012[13], pada pasal 36 dibahas bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

2.14          Gerakan Massal Penganekaragaman Pangan

Intervensi mendesak yang dapat dilakukan pemerintah lainnya, adalah dengan mengintensifkan pelaksanaan/implementasi di lapangan yang tertuang sebelumnya dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009[14] tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Dalam Perpres tersebut, pemerintah melalui pemerintah daerah memberikan arahan pentingnya penerapan gerakan massal kepada masyarakat melalui kegiatan deversifikasi/penganekaragaman atas komoditas pangan sebagai sumber energi, yaitu mengkonsumsi daging selain daging sapi, seperti daging ayam, itik, ikan dll. Jika diperlukan diperlombakan dalam event tingkat provinsi ataupun nasional, sehingga dapat merangsang masyarakat untuk membuat bahan baku makanan sebagai sumber gizi dan kesehatan dari komoditas pangan yang berbasis lokal.
Dari hasil sensus yang tercatat di BPS, 2012, bahwa populasi ternak sapi di indonesia jumlahnya sebanyak 14,5 juta ekor. Jumlah ini tentu masih dapat ditingkatkan lagi secara bertahap sehingga pada akhirnya akan dapat diperoleh jumlah produksi untuk mencapai kondisi swasembada daging sapi pada tahun 2014 yang dicanangkan pemerintah. Namun kita tidak boleh pesimistis, justru kebijakan pangan Indonesia dengan jumlah penduduk 240 juta tidak boleh berhenti hanya sebatas menjaga pasokan tanpa peduli akan sumber-sumber bahan pangan lainnya yang berlimpah di wilayah Nusantara yang dapat diolah sebagai sumber alternatif pasokan energi dan gizi bagi konsumsi masyarakat. Semua negara berpenduduk besar termasuk Indonesia selalu mendukung kebijakan pencapaian swasembada berbagai komoditas pangan.
Hal itu tentu sangat memerlukan komitmen tinggi dari pengambil kebijakan dan hasil kebijakan tersebut hendaknya dapat lebih komprehensif, baik mempertimbangkan sisi nilai produksi maupun jumlah konsumsinya. Dibarengi dengan upaya menekan biaya produksi agar terjadi efisiensi serta menciptakan kepastian harga dengan menjaga stabilitas harga di tingkat pasar konsumen, agar tidak terjadi gejolak ataupun fluktuasi kenaikan harga yang pada akhirnya memberatkan masyarakat. Memang hal tersebut tidak bisa hanya dengan kebijakan kulit sisi hilir, tetapi harus dapat menyentuh pada akar masalahnya dengan memetakan secara lebih terperinci baik data-data dan perhitungan yang tepat dan cermat mengenai jumlah produksi dan tingkat konsumsi masyarakat di wilayah tertentu di Indonesia sehingga dapat menjadi pedoman untuk mengambil kebijakan antisipatif baik saat ini maupun ke depan dalam mengatasi dan menjaga stabilitas gejolak tingkat harga komoditas produk pangan terutama harga komoditas daging sapi.

BAB III
PENUTUP



3.1              Kesimpulan

Berdasarkan Upaya yang telah dilakukan pemerintah atas langkah-langkah internasional tentang permasalahan kelaparan khususnya di negara-negara berkembang, masih belum terealisasikan untuk ketahanan pangan di Indonesia sendiri. Regulasi-regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah masih belum berjalan secara optimal hingga saat ini.

3.2       Saran

Tingkatkan sektor pertanian agar mensejahterakan penduduk Indonesia untuk mempertahankan pangan dikalangan masyarakat Indonesia yang belum memadai keanekaragaman, serta kestabilannya. Perlunya ketegasan dalam melaksanakan regulasi-regulasi ketahanan pangan yang telah dibuat pemerintah, agar berjalan sesuai dengan target dan yang diharapkan.

Disusun oleh:
Kelompok 7/A-P1
Ade Setiawan                         J3E111015
Rico Fernando Theo   J3E111044
Indah Kharisma          J3E111097
M. Fauzan                   J3E111129
Jessica Putri                 J3E211163


[1] Dikutip dari IAAS indonesia
[2] Dikutip dari Southeast Asian Food & Agricultural Sciene & Technology Center
[3] Dikutip dari KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK IDNONESIA
[4]  Dikutip dari: www.downtoearth-indonesia.org
[5] Kovenan adalah sebuah perjanjian mulitilateral yang mengikat pemerintahan suatu negara dengan hukum internasional untuk membuat satu aturan tentang satu hal/pemasalahan
[6] Piagam Petani menyatakan bahwa tujuan reforma agraria dan pembangunan pedesaan adalah transformasi kehidupan dan kegiatan pedesaan dalam semua aspeknya yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya, kelembagaan, lingkungan dan kemanusiaan.
[7] Dikutip dari: http://www.spi.or.id
[8] Daftar produk untuk tarif sesungguhnya
[9] daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat

[10] Kompas, 2008 di dalam Amaliyah 2010).

[11] Jebakan Kelas Menengah
[12] Dikutip dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
[13] Dikutip dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
[14] Dikutip dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar