Minggu, 20 Oktober 2013

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENCAPAIAN SWASEMBADA BERAS PADA PROGRAM PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN UNTUK MEMAJUKAN KESEJAHTERAAN UMUM


BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu masalah utama yang strategis bagi kehidupan bangsa, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pokok penduduk (SEAFAST, 2010). Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada di bawah konsumsi yang semestinya.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Penduduk Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 241 juta jiwa[1]. Pada tahun 2011, data BPS menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras mencapai 139 kg/kapita lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65 kg – 70 kg perkapita pertahun. Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting, bukan saja dilihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi juga mengandung konsekuensi politik yang besar. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap kelangsungan suatu kabinet pemerintah atau stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam kekurangan pangan atau kelaparan (Tambunan, 2008).
Ketahanan pangan sering dikaitkan sebatas kecukupan produksi pangan. Ketahanan pangan jarang dikaitkan dengan masalah akses semua penduduk untuk mendapatkan makanan yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan energi maupun kebutuhan gizi secara lengkap (Pardede, 2009).
Salah satu contoh masalah ketahanan pangan yang hingga sekarang masih menarik untuk dibahas adalah ketersediaan beras dan akses terhadap beras. Beras merupakan makanan pokok dari 98% penduduk Indonesia (Riyadi, 2002 dalam Kusumaningrum, 2008). Beras mempunyai peran yang strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan politik nasional (Suryana et. al., 2001 dalam Kusumaningrum , 2008). Beras bagi bangsa Indonesia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau ekonomi saja, tapi sudah merupakan komoditas politik dan keamanan. Suryana et al., (2001) dalam Kusumaningrum (2008) mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih menghendaki adanya pasokan (penyediaan) dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu, terdistribusi secara merata dengan harga yang terjangkau.
Selain itu, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jika dilihat rata-rata konsumsi kalori per kapita dalam sehari menurut kelompok makanan dari tahun 2001 sampai 2009, ternyata komoditas padi menjadi sumber utama terbesar penyumbang konsumsi kalori pada penduduk Indonesia. Dan apabila dilihat dari data presentase pengeluaran rata-rata per kapita dalam sebulan dari tahun 2002-2009, ternyata padi-padian masih menjadi komoditi pertama, kemudian dibawahnya ada komoditi makanan jadi, kacang-kacangan, dan umbiumbian.
Secara keseluruhan, kondisi tersebut menunjukan bahwa beras masih menjadi
komoditas strategis secara politis. Namun pada kenyatannya, beras masih belum dapat diakses penuh oleh seluruh masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut perlu diketahui faktor penyebab sulitnya akses terhadap beras dan juga pihak-pihak yang seharusnya berperan serta untuk mengatasi masalah tersebut agar nantinya ketahanan pangan beras di Indonesa tetap stabil dan terjaga.

1.2  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan konstitusi?
2.      Apakah yang dimaksud dengan pembukaan UUD?
3.      Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan dengan target swasembada beras?
4.      Bagaimana hubungan konstitusi dan pembukaan UUD mengenai swasembada beras?

1.2  Tujuan

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai konstitusi dan pembukaan UUD 1945.
  2. Untuk mengetahui hubungan antara konstitusi dan pembukaan UUD 1945 dengan ketahanan pangan.


















BAB II

PEMBAHASAN


Menurut Undang-undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17, konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia adalah bahwa "Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap rumah tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy, 2002 dalam Tambunan, 2008). Ketahanan pangan nasional harus dipahami dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses, serta konsumsi. Ketiga aspek tersebut saling terkait, tidak hanya cukup meningkatkan produksi pangan saja, serta memerlukan upaya pengawalan yang harus dilakukan secara terus menerus (Bappenas, 2011).
Suatu negara yang telah merdeka dan berdaulat memiliki dasar negara yang dijadikan pandangan hidup dalam mengatur ketatanegaraan. Negara yang memiliki pandangan hidup yang jelas berarti telah memiliki pegangan dan pedoman dalam memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang timbul dalam kehidupan masyarakatnya. Pada suatu pandangan hidup, terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa dan pikiran yang terdalam serta gagasan suatu bangsa mengenai kehidupan pada setiap zamannya. Pandangan hidup merupakan suatu kristalisasi nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya sehingga menimbulkan tekad pada bangsa tersebut untuk mewujudkannya. Pandangan hidup dapat pula dijadikan dasar negara yang menjadi sumber hukum dalam perundangan negara.
            Ketika menentukan dasar negara, faktor yang pada umumnya diperhatikan adalah dasar negara berisikan tentang fundamen yang kokoh dan kuat serta bersumber dari pandangan hidup dan falsafah bangsa, sehingga dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Falsafah bangsa memiliki pengertian yang berbeda dengan pandangan hidup yakni merupakan cerminan dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi, dan kepribadian yang berurat dan berakar dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa tersebut.

1.1  Konstitusi

2.2.1 Pengertian Konstitusi

            Istilah konstitusi sudah dikenal sejak zaman Yunani yang diartikan secara materil dan belum tercantum dalam suatu naskah tertulis. Ketika itu, Aristoteles membedakan istilah  “Politea” dan “Nomoi”. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan Nomoi diartikan sebagai undang-undang biasa. Di antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan nomoi, maksudnya adalah politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan nomoi hanya merupakan materi yang harus dibentuk.
            Istilah konstitusi secara literal berasal dari istilah dalam bahasa Prancis yaitu constituer yang memiliki arti “membentuk”. Penggunaan istilah konstitusi secara ketatanegaraan memiliki arti pembentukan suatu negara atau menyususn dan menyatakana suatau negara. Sedangkan dalam bahasa Belanda, istilah konstitusi dikenal dengan istilah gronwet yang berarti undang-undang dasar. Pengertian konstitusi dalam prakteknya tidak dapat dirumuskan secara pasti karena para ahli telah merumuskannya dengan pandangan masing-masing. Menurut Herman Heller ( dalam Aspirasi: 2011) membagi pengertian konstitusi menjadi tiga yakni konstitusi yang bersifat politik sosiologis, konstitusi bersifat yuridis, dan bersifat politis. Pada konstitusi yang bersifat politik sosiologis, konstitusi mencerminkan kehidupan politik masyarakat, sedangkan pada konstitusi yang bersifat yuridis dimaksudkan dengan konstitusi yang merupakan kesatuan kaidah yang hidup didalam suatu masyarakat dan konstitusi yang bersifat politis merupakan konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang.

2.2.2 Kedudukan konstitusi

            Kedudukan konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan pada suatu negara sangat berpengaruh karena dapat menjadi ukuran kehidupan dalam bernegara dan berbangsa. Konstitusi memegang peranan penting untuk mengetahui aturan-aturan pokok yang ditujukan kepada penyelenggara negara maupun masyarakat dalam ketatanegaraan. Kedudukan konstitusi dapat berupa sebagai hukum dasar maupun sebagi hukum tertulis.
            Kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar yaitu memuat aturan-aturan pokok mengenai penyelenggaraan negara. Dalam hal ini konstitusi berada dalam pengertian arti luas yang merupakan suatau keseluruhan aturan dan ketentuan dasar (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis) mengenai suatu pemerintahan yang diselenggarakan dalam suatu negara. Kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi yaitu memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap peraturan-peraturan yang lain dalam tata hukum dalam suatau negara. Pernyataan ini dimaksudkan dengan aturan-aturan dibawah konstitusi tidak bertentangan dan harus sesuai dengan aturan yang terdapat pada konstitusi.

2.2.3 Macam-macam, unsur, dan sifat konstitusi

            Konstitusi dapat dibedakan menjadi konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tertulis yaitu suatu naskah yang menjabarkan tentang kerangka dan tugas pokok dari badan-badan pemerintahan. Pada konstitusi tertulis ini mengandung pula tentang cara kerja dari badan-badan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang dasar. Konstitusi tidak tertulis merupakan suatu aturan yang tidak tertulis yang ada dan dipelihara dalam praktek penyelenggaraan suatu negara. Pada umumnya konstitusi tidak tertulis ini dikenal dengan sebutan konvensi.
            Konstitusi dibuat berdasarkan pemikiran-pemikiran dan hasil kesepakatan badan-badan pemerintahan yang harus memuat tiga unsur penting. Unsur-unsur tersebut adalah konstitusi sebagai perwujudan kontak sosial yang merupakan perjanjian dari kesepakatan antara warga negara dengan pemerintah, konstitusi sebagai penjamin hak asasi manusia yang merupakan penentu hak dan kewajiban warga negara dan badan pemerintahan, serta unsur yang terakhir harus memuat konstitusi sebagai forma regiments yaitu kerangka pembangunan pemerintah.
            Menurut pendapat C.F Strong (dalam Miriam Budiardjo:1985), sifat konstitusi dapat dibedakan menjadi dua yaitu konstitusi rigit dan flexible. Konstitusi yang bersifat kaku (rigid) merupakan konstitusi yanga hanya dapat diubah melalui prosedur yang berbeda dengan prosedur membuat undang-undang dalam negara yanag bersangkutan. Konstitusi yang bersifat supel (flexible) merupakan konstitusi yang dapat diubah melalui prosedur yang sama dengan prosedur prmbuat undang-undang pada negara yang bersangkutan.

2.2.4 Tujuan konstitusi, dan isi konstitusi

            Pada umumnya konstitusi memiliki tujuan untuk membatasi kekuasaan penyelenggaraan negara supaya tidak dapat berbuat sewenang-wenang serta dapat menjamin hak warga negaranya. Tujuan konstitusi tersebut merupakan suatu gagasan yang memenadang penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan atas nama rakyat.
            Konstitusi Negara Indonesia pada umumnya memuat beberapa hal diantaranya adalah gagasan politik, moral, keagamaan, dan perjuangan bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD Republik Indonesia 1945, ketentuan organisasi negara yang memuat mengenai kekuatan pembagian kekuasaan badan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi dapat  pula memuat ketentuan hak asasi manusia serta aturan-aturan menjamin dan melindungi hak asasi manusia sebagai warga negara, konstitusi dapat pula memuat ketentuan prosedur mengubah undang-undang dasar dan memuat aturan mengenai prosedur dalam mengubah konstitusi negara yang bersangkutan

2.2 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

2.2.1 Isi dan Kedudukan UUD 1945

            UUD 1945 merupakan keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan UUD 1945 yang terdapat dalam empat alinea, Batang Tubuh UUD 1945 yang memuat aturan  dan ketentuan pokok yang terdiri dari 16 bab, 73 pasal, 3 pasal aturan peralihan, dan 2 pasal aturan tambahan. UUD 1945 memuat pula tentang Penjelasan UUD 1945 yang terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
            Kedudukan UUD 1945 memiliki kekuatan yang mengikat terhadap pemerintah, lembaga kemasyarakatan, warga Negara Indonesia, dan penduduk. Kedudukan UUD 1945 juga memuat tentang aturan dasar sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan hukum tertinggi yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan urutan perundang-undangan di Indonesia terdiri dari UUD 1945, UU/Perpu, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah. UUD 1945 juga memiliki kedudukan sebgai sumber hukum yang menyatakan bahwa semua peraturan perundangan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentengan dengan UUD 1945.

2.2.2 Makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945

            Pembukaan UUD 1945 memiliki tempat yang sangat fundamental dalam UUD 1945 karena Pembukaan UUD 1945 memuat tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Setiap alinea dalam pembukaaan UUD 1945 memiliki pengertian berbeda, yang pada prinsipnya menggambarkan cita-cita dan tujuan terbentuknya Negara Indonesia. Pada Alinea pertama yang berbunyi “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” mengandung beberapa pengertian. Pada alinea pertama terdapat pengakuan bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi hak kodrat setiap bangsa untuk merdeka, pada alinea ini terdapat pula pernyataan bahawa bangsa Indonesia tidak menyetujuai adanya penjajahan diatas dunia karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia siap membantu bangsa lain untuk merdeka, hal ini didukung oleh pernyataan bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk melepaskan diri dari penjajahan.
            Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Dan Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemedekaannya. Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” Pada alinea kedua dapat diartikan kedalam beberapa makna di antaranya adalah bahwa perjuangan bangsa Indonesia telah sampai pada saat yang tepat yaitu Kemerdekaan. Pada alinea ini mengandung makna bahwa kemerdekaan bukan merupakan akhir perjuangan bangsa Indonesia, melainkan hanya merupakan suatu jembatan untuk menuju terwujudnya cita-cita bangsa yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Selain itu, pada alinea kedua dapat pula diartikan bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati jasa para pahlawan yang telah mengantarkan bangsa Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan.
            Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”. Pada Alinea ketiga ini, mengandung makana bahwa Indonesia mengakuai adanya pengakuan religius dalam memperoleh kemerdekaan yang merupakan berkat dan rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan kemerdekaan Indonesia di motivasi oleh keinginan luhur untuk menciptakan suatu bangsa yang bebes dari penjajahan dan penderitaan. Pada alinea ini mengandung makna adanya pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
            Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disususnlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatau susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pada alinea keempat ini mengandung bebrapa makna yaitu terdapatnya keinginan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan terdapatnya keinginan untuk memejukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu pada alinea ini mengandung makna bahwa bangsa Indonesia ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi serta mengakui adanya dasar negara yaitu pancasila.

2.2.3 Pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

            Pokok-pokok pemikiran Pembukaan UUD 1945 meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia. Pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita yang menguasai hukum dasar negara secara tertulis (undang-undang) dan berupa hukum dasar nrgara tidak tertulis (konvensi).  Pokok-pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Pokok pikiran I
Pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4 berbunyi “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”  Kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa negara mengatasi segala paham golongan dan perseorangan dan menghendaki persatuan yang meliputi segenap bangsa Indonesia.
b.      Pokok pikiran II
Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan menjadikannya merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Negara berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat.
c.       Pokok pikiran III
Pokok pikiran yang ketiga terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi “berkedaulatan permusyawaratan/perwakilan”. Pada pokok pikiran ini mengandung arti bahwa system negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan berdasarkan atas permusyawaratan/perwakilan.
d.      Pokok pikiran IV
Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea empat yang berbunyi “Berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pada pokok pikiran ini undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

2.3  Kebijakan pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan dengan target swasembada beras

Ketahanan pangan merupakan prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap II 2010-2014. Adapun kebijakan Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 berkaitan dengan pembangunan ketahanan pangan yaitu :
1.      Melanjutkan dan memantapkan kegiatan tahun sebelumnya yang terbukti sangat baik kinerja dan hasilnya, antara lain bantuan benih/bibit unggul, subsidi pupuk, alsintan, Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT);
2.      Melanjutkan dan memperkuat kegiatan yang berorientasi pemberdayaan  masyarakat seperti Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Sarjana Membangun Desa (SMD) dan Penggerak Membangun Desa (PMD), dan rekrutmen tenaga pendamping lapang guna mempercepat pertumbuhan industri pertanian di perdesaan;
3.      Pemantapan swasembada beras melalui peningkatan produksi yang berkelanjutan;
4.      Pencapaian swasembada kedelai, daging sapi, dan gula industri;
5.      Peningkatan produksi susu segar, buah lokal, dan produk-produk substitusi komoditas impor;
6.      Peningkatan kualitas dan kuantitas public goods melalui perbaikan dan pengembangan infrastruktur pertanian seperti irigasi, embung, jalan desa, dan jalan usahatani;
7.      Jaminan penguasaan lahan produktif;
8.      Pembangunan sentra-sentra pupuk organik berbasis kelompok tani;
9.      Penguatan kelembagaan perbenihan dan perbibitan nasional;
10.  Pemberdayaan masyarakat petani miskin melalui bantuan sarana, pelatihan, dan pendampingan;
11.  Penguatan akses petani terhadap iptek, pasar, dan permodalan bunga rendah;
12.  Mendorong minat investasi pertanian dan kemitraan usaha melalui promosi yang intensif dan dukungan iklim usaha yang kondusif;
13.  Pembangunan kawasan komoditas unggulan terpadu secara vertikal dan/atau horizontal dengan konsolidasi usahatani produktif berbasis lembaga ekonomi masyarakat yang berdaya saing tinggi di pasar lokal maupun internasional;
14.  Pengembangan bio-energi berbasis bahan baku lokal terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat khususnya di perdesaan dan mensubstitusi BBM;
15.  Pengembangan diversifikasi pangan dan pembangunan lumbung pangan masyarakat untuk mengatasi rawan pangan dan stabilisasi harga di sentra produksi;
16.  Peningkatan keseimbangan ekosistem dan pengendalian hama penyakit tumbuhan dan hewan secara terpadu;
17.  Penguatan sistem perkarantinaan pertanian;
18.  Penelitian dan pengembangan berbasis sumberdaya spesifik lokasi (kearifan lokal) dan sesuai agro-ekosistem setempat dengan teknologi unggul yang berorientasi kebutuhan petani;
19.  Pengembangan industri hilir pertanian di perdesaan yang berbasis kelompok tani untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, membuka lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan keseimbangan ekonomi desa-kota;
20.  Berperan aktif dalam melahirkan kebijakan makro yang berpihak kepada petani seperti perlindungan tarif dan non tarif perdagangan internasional, penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi;
21.  Peningkatan promosi citra petani dan pertanian guna menumbuhkan minat generasi muda menjadi wirausahawan agribisnis;
22.  Peningkatan dan penerapan manajemen pembangunan pertanian yang akuntabel dan good governance.
Ketahanan pangan nasional selama ini dicapai melalui kebijaksanaan swasembada pangan dan stabilitas harga. Oleh sebab itu pemantapan swasembada beras merupakan salah satu fokus dalan terwujudnya ketahanan pangan. Hal ini dalam rangka mewujudkan Visi, Misi dan Tujuan dari Kementrian Pertanian yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 15/Permentan/Rc.110/1/2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014.
Adapun kebijakan Kementrian Pertanian yang terkait penetapan target pelaksanaan swasembada beras sebagai penunjang terwujudnya swasembada beras adalah:
a.       Mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan sumberdaya lokal, serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem agribisnis.
b.      Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan.
c.       Menjadikan petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi.

2.3    Hubungan antara konstitusi dan pembukaan UUD dengan swasembada beras

Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab itu, ketahanan pangan merupakan program utama dalam pembangunan pertanian saat ini dan masa mendatang. Definisi ketahanan pangan menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Salah satu target yang akan dicapai Kementrian Pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan melakukan swasembada beras. Dapat dikatakan ketahanan pangan merupakan konsentrasi untuk mewujudkan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi. Dalam ketahanan pangan terdapat 3 (tiga) komponen penting pembentukan ketahanan pangan yaitu: produksi dan ketersediaan pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan[2].
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Komoditi beras memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang dari aspek ekonomi, tenaga kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya dan politik. Masalah beras bukan hal yang sederhana dan sangat sensitif sehingga penangannya harus dilakukan secara hati-hati. Kesalahan yang dilakukan dalam kebijaksanaan perberasan akan berdampak tidak saja pada kondisi perberasan nasional tetapi juga pada berbagai bidang lain yang terkait. Bencana alam dan bencana sosial yang tidak dapat diprediksi ada di setiap tahun. Musim kering pada setiap tahun mengakibatkan sebagian masyarakat mengalami rawan pangan. Mereka butuh bantuan pangan (terutama beras). Pangan tersebut tersedia, namun akibat bencana tersebut, mereka tidak mampu memperolehnya, sebab tidak memiliki dana untuk membelinya. Ada masa panen dan masa paceklik dalam produksi ini.
Produksi padi sampai 1 Juli 2011 diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering giling (GKG) (atau setara 39,2 juta ton beras dengan laju konversi 0,57). Konsumsi beras 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton, sehingga ”selisih” produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton.[3] Dengan adanya masalah ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor beras pada tahun 1983. Di samping itu, harga beras impor cenderung menurun dengan pelepasan stok yang cukup besar dari negara-negara produsen. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini membuat segelintir orang memanfaatkan kesempatan ini. Dengan lemahnya pengawasan terhadap impor, terjadi pemasukan impor beras ilegal yang tidak terkendali dengan harga yang lebih murah dibanding HDPP (Harga Dasar Pembelian Pemerintah). Rendahnya harga beras di pasar dalam negeri dan terbatasnya kemampuan BULOG untuk menyerap kelebihan pasar (marketed surplus) mengakibatkan petani tidak lagi menikmati besarnya pendapatan yang sejalan dengan kenaikan harga-harga input produksinya. Secara tidak langsung, kebijakan pemerintah mengenai impor produk holtikultura, termasuk beras di dalamnya, tidak relevan dengan pembukaan UUD 1945 alinea 1-3 mengenai Kemerdekaan Indonesia. Memang secara hukum, Indonesia telah menjadi negara berdaulat sejak dibacakannya naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno. Namun apabila dipandang dari sisi lain, Indonesia sebenarnya masih terjajah. Salah satunya pada sektor pertanian. Indonesia merupakan negara agraris dengan tanahnya yang subur serta sumber daya alam yang melimpah namun kurangnya lahan akibat pembangunan perumahan ataupun gedung-gedung pencakar langit oleh investor asing menyebabkan Indonesia kekurangan pasokan holtikultura. Selain itu, hal ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia untuk mengolah sumber daya alam yang melimpah tersebut. Hal ini dapat berpengaruh terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Lahan sawah mempunyai arti yang terpenting dalam menentukan ketahan pangan nasional. Ketahanan pangan meliputi aspek ketersediaan bahan pangan, aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan, dan keamanan pangan (food safety).
Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai peraturan impor produk holtikultura yang tertuang di dalam Peraturan Kementrian Pertanian No 60 Tahun 2012 dan peraturan mengenai ketentuan angka pengenal impor yang tertuang di dalam Peraturan Kementrian Perdagangan No. 27 Tahun 2012, salah satu di dalamnya tercantum peraturan pembatasan produk impor untuk menjaga keseimbangan pangan lokal di Indonesia. Berdasarkan hubungan konstitusi yang mengatur mengenai ketahanan pangan di Indonesia dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang mengandung beberapa makna yaitu terdapatnya keinginan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan terdapatnya keinginan untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pertanian mengeluarkan kebijakan mengenai swasembada beras yang telah dimulai tahun 1979.
            Kesejahteraan umum salah satunya ditandai dengan tercukupinya kebutuhan pangan suatu bangsa. Dengan demikian isi pembukaan Undang-undang Dasar alinea keempat secara tidak langsung menegaskan bahwa perlu dilakukanya upaya-upaya membangun ketahanan pangan agar kesejahteraan umum dapat tercapai. Dalam kehidupan manusia yang layak harus terpenuhi kebutuhan primer yaitu sandang, pangan, dan papan agar dapat berupaya untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan yang lainnya. Kebutuhan akan pangan bagi masyarakat sampai saat ini dikatakan belum terpenuhi secara merata, demikian juga papan sehingga upaya pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan ditempuh dengan berbagai cara. Dari pernyataan umum yang terdapat pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu untuk mensejahterakan umum maka dibentuklah suatu kebijakan pemerintah yang mengatur urusan pangan. Salah satu peraturan mengatur mengenai ketahanan pangan,  yaitu Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002. Peraturan tersebut sebagian besar berisi mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun ketahanan pangan di Indonesia. Kebijakan pemerintah tentang pangan tentunya dimaksudkan untuk menyokong dan membangun ketahanan pangan bangsa yang berperan dalam program peningkatan ketahanan pangan nasional.
            Langkah pembangunan ketahanan pangan dapat ditempuh melalui memasyarakatkan program diversifikasi pangan baik horizontal maupun vertikal. Untuk itu pemetaan wilayah sebaran dan wilayah program pengembangan sumber pangan lokal di Indonesia perlu mendapat perhatian pemerintah.
            Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 14 Ayat (1) menegaskan bahwa Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Undang undang tersebut secara tidak langsung menargetkan bahwa Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan panganya sendiri. Untuk mendukung berhasilnya program ketahanan pangan diantaranya ditempuh dengan swasembada karena selama ini ketahanan nasional dicapai melalui kebijakan program swasembada pangan dan stabilisasi harga. Swasembada pangan merupakan target utama kementrian Pertanian dalam rangka mewujudkan Ketahanan Pangan. Seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 15/Permentan/Rc.110/1/2010 selama lima tahun ke depan (2010-2014), dalam membangun pertanian di Indonesia, Kementerian Pertanian mencanangkan 4 (empat) target utama, yaitu: (1) Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan.  (2) Peningkatan Diversifikasi Pangan. (3) Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor. (4) peningkatan Kesejahteraan Petani.
            Swasembada ditargetkan pada komoditas pertanian yang dianggap sebagai pangan pokok seperti beras. Alasan mengapa beras menjadi objek swasembada adalah karena beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh 98% penduduk Indonesia. Selain itu, Beras mempunyai peran yang strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan politik nasional. Swasembada beras sebelumnya ditetapkan pada periode tahun 2005-2009 dari hasil swasembada didaptkan hasil yang positif berupa peningkatan produksi beras tiap tahunya. Melihat keberhasilan yang dicapai untuk itu akan diberlakukan lagi swasembada lanjutan dengan komoditas yang masih sama dengan periode tahun 2010-2014. Sasaran produksi beras yang ingin dicapai pemerintah pada 2014 ditargetkan sebesar 75,70 juta ton gabah kering giling (GKG) dan jagung 29 juta ton pipilan kering atau masing-masing tumbuh 3,22 persen per tahun (padi). Target yang ingin dicapai didasarkan pada pertumbuhan penduduk nasional, permintaan bahan baku industri, kebutuhan stok nasional dan peluang ekspor.
            Dalam mewujudkan program swasembada beras perlu adanya integrasi dari berbagai pihak terkait peningkatan produksi beras. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai penyedia fasilitas untuk mendukung petani dalam menghasilkan beras yang cukup melalui kebijakan kebijakan yang telah diatur oleh pemerintah. Bentuk dukungan pemerintah dalam mensukseskan swasembada tertuang dalam  Peraturan Menteri Pertanian No. 15/Permentan/Rc.110/1/2010 yakni (1) Penyediaan pupuk (subsidi dan non-subsidi): urea 35,15 juta ton, SP-36 22,23 juta ton, ZA 6,29 juta ton, KCL 13,18 juta ton, NPK 45,99 juta, dan organik 53,09 ton. (2) Subsidi: pupuk, benih/bibit dan kredit/bunga. (3)Perluasan lahan baru-baru 2 juta ha untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, hijauan makanan ternak dan padang penggebalaan. (4) Investasi pemerintah dan swasta di bidang pertanian.
            Kebijakan-kebijakan pangan yang telah diatur pemerintah tak lain adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa Indonesia melalui salah satunya tercukupinya pangan. Jadi dengan demikian upaya upaya pemerintah dalam membangun ketahanan pangan, kebijakan-kebijakan tentang pangan yang telah dibuat merupakan wujud implementasi dari Pembukaan UUD 1945.












BAB III

PENUTUP


2.1    Kesimpulan

            Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara pembukaan UUD 1945 dan konstitusi dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional di Indonesia. Pembukaan UUD 1945 merupakan penggambaran jiwa masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi Ketuhanan yang maha Esa, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan dalam bermusyawarah serta keadilan.
            Ketahanan pangan nasional berhubungan erat dengan pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-1 sampai ke-3 yang memiliki makna kemerdekaan. Indonesia ingin mencapai kemerdekaan seutuhnya, salah satunya melalui swasembada beras dengan membatasi seminimal mungkin impor beras dari luar negeri. Dengan melakukan swasembada beras yang mengacu pada Undang-undang dan Peraturan Pemerintah ini dapat meningkatkan ketahanan pangan yang berdampak pada ketahanan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia sehingga dapat menyejahterakan rakyat Indonesia seperti yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang memiliki makna kesejahteraan.

3.2 Saran

Sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan dalam membangun ketahanan pangan dengan berprinsip pada UUD 1945 yang tersirat di dalam pembukaan UUD 1945. Gerakan ketahanan pangan yang sesuai dengan keinginan dan kondisi masyarakat Indonesia akan tercipta dengan menjalankan amanat dan tujuan yang ada di dalam pembukaan UUD 1945. Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membatasi beras impor untuk membantu meningkatkan produksi beras lokal sehingga para petani akan lebih sejahtera. Hal ini sebagai bentuk untuk menjalankan prinsip dan tujuan yang ada di dalam pembukaan UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA


Badan Perencanaan Dan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2011. Penjelasan Tentang Ketahanan Pangan. www.bappenas.go.id [22 Februari 2013]

Hargiyono, M. 2011. Mewujudkan Ketahanan Pangan Dengan Bertani Padi. http://www.foxitsoftware.com [22 Februari 2013]

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim.

Kusumaningrum, R. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar PembelianPemerintah Terhadap Penawaran Dan Permintaan Beras di Indonesia. http://riakusumaningrum.staff.ipb.ac.id [22 Februari 2013]

Pardede, E. 2009. Ketidaktahanan Pangan Akibat Perubahan Iklim. http://www.hariansumutpos.com [23 Februari 2013]

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2001 Tentang Ketahanan Pangan.

PIBC. 2011. http://bkp.deptan.go.id [22 Februari 2013]

SEAFAST. 2010. Ketahanan pangan dan perspektif kebijakannya. http://seafast.ipb.ac.id [23 Februari 2013]

Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2009. http://www.bps.go.id [22 Februari 2013]

Tambunan, T. 2008. Ketahanan pangan di indonesia mengidentifikasi beberapa penyebab. www.kadin-indonesia.or.id [23 Februari 2013]

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.








TANYA
Kebijakan pemerintah yang mana saja dan bagaimana kebijakannya yg bisa dikategorikan berlandaskan konstitusi dan pembukaan dlm pencapaian swasembada.
RPJMD
Perda Provinsi/Kab/Kota
1.      Sonya kel 5: bagimana menciptakan swasembada berdasarkan konstitusi keterkaitan kebijakan yg dilakukan pemerintah
2.      Reko kel 7: bagaimana indonesia bsa swasembada beras dibarengi tekhnologi pdahal lahan skrg terbatas
3.      Ardam kel 11: apa yg dilakukan pemerintah yg konkrit mendukung swasembada beras
4.      Langgeng kel 9: upaya atau tinjauan apa yg sudah dilakukan pemerintah terhadap buruh tani? Upaya apa yg dilakukan pemerintah dlm melakukan swasembada?
5.      Galih kel 2: apa masih ada penyuluhan mengenai swasembada beras? Kalau jd pemerintah ada saran masukan lain dlm penyelesaian swasembada?
6.      Nissa kel 6: mengapa indonesia belum pernah mencapai swasembada beras seperti zaman soeharto? Apa alasannya?

Oleh:
Kelompok 8
A / P2
1.    Ambar Rezky Firsttianty    J3E111019
2.    Nurul Ulfah Dzulfadillah   J3E111046
3.    Tia Esha Nombiga              J3E111073
4.    Dewi Arfika Yuliyati         J3E111098
5.    Galih Wirandi                     J3E111130
6.    Rendy Agus Widyatmoko J3E211164


[1] “BKKBN: Jumlah Penduduk Indonesia 241 Juta”, www.gatra.com  
[2] Tupan, “Wujud Ketahanan Pangan dengan Kearifan Lokal”, Bidang informasi, Pusat dokumentasi dan Informasi IlmiahLembaga Ilmu Pengetahuan (PDIILIPI), www.pdii.lipi.go.id 
[3] Arifin, Bustanul, “Anekdot Kebijakan Surplus Beras 10 Juta Ton”, www.metrotvnews.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar