BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan
merupakan salah satu masalah utama yang strategis bagi kehidupan bangsa,
khususnya dalam memenuhi kebutuhan pokok penduduk (SEAFAST, 2010). Indonesia
memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi
penduduknya. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan
kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga
mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada di bawah konsumsi yang
semestinya.
Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi.
Penduduk Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 241 juta jiwa[1].
Pada tahun 2011, data BPS menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras mencapai 139
kg/kapita lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya
berkisar 65 kg – 70 kg perkapita pertahun. Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan
salah satu topik yang sangat penting, bukan saja dilihat dari nilai-nilai
ekonomi dan sosial, tetapi juga mengandung konsekuensi politik yang besar.
Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap kelangsungan suatu kabinet
pemerintah atau stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam
kekurangan pangan atau kelaparan (Tambunan, 2008).
Ketahanan
pangan sering dikaitkan sebatas kecukupan produksi pangan. Ketahanan pangan
jarang dikaitkan dengan masalah akses semua penduduk untuk mendapatkan makanan
yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan energi maupun kebutuhan gizi secara
lengkap (Pardede, 2009).
Salah
satu contoh masalah ketahanan pangan yang hingga sekarang masih menarik untuk
dibahas adalah ketersediaan beras dan akses terhadap beras. Beras merupakan
makanan pokok dari 98% penduduk Indonesia (Riyadi, 2002 dalam Kusumaningrum,
2008). Beras mempunyai peran yang strategis dalam memantapkan ketahanan pangan,
ekonomi dan politik nasional (Suryana et. al., 2001 dalam Kusumaningrum
, 2008). Beras bagi bangsa Indonesia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau
ekonomi saja, tapi sudah merupakan komoditas politik dan keamanan. Suryana et
al., (2001) dalam Kusumaningrum (2008) mengatakan bahwa sebagian besar
penduduk Indonesia masih menghendaki adanya pasokan (penyediaan) dan harga
beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu, terdistribusi secara merata dengan
harga yang terjangkau.
Selain itu, berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik, jika dilihat rata-rata konsumsi kalori per
kapita dalam sehari menurut kelompok makanan dari tahun 2001 sampai 2009,
ternyata komoditas
padi menjadi sumber utama terbesar penyumbang konsumsi kalori pada penduduk
Indonesia. Dan apabila dilihat dari data presentase pengeluaran rata-rata per kapita
dalam sebulan dari tahun 2002-2009, ternyata padi-padian masih menjadi komoditi pertama,
kemudian dibawahnya ada komoditi makanan jadi, kacang-kacangan, dan umbiumbian.
Secara keseluruhan,
kondisi tersebut menunjukan bahwa beras masih menjadi
komoditas strategis secara politis. Namun pada
kenyatannya, beras masih belum dapat diakses penuh oleh seluruh masyarakat.
Berdasarkan kenyataan tersebut perlu diketahui faktor penyebab sulitnya akses
terhadap beras dan juga pihak-pihak yang seharusnya berperan serta untuk
mengatasi masalah tersebut agar nantinya ketahanan pangan beras di Indonesa
tetap stabil dan terjaga.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apakah
yang dimaksud dengan konstitusi?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan pembukaan UUD?
3.
Bagaimana
kebijakan pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan dengan target swasembada
beras?
4.
Bagaimana
hubungan konstitusi dan pembukaan UUD mengenai swasembada beras?
1.2 Tujuan
Adapun
tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui penjelasan mengenai konstitusi dan pembukaan UUD 1945.
- Untuk mengetahui hubungan antara konstitusi dan pembukaan UUD 1945 dengan ketahanan pangan.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut
Undang-undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17, konsep
ketahanan pangan yang dianut Indonesia adalah bahwa "Ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". UU ini
sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan
Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni
akses setiap rumah tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada
setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food
Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap rumah
tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk
keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai
atau budaya setempat (Pambudy, 2002 dalam Tambunan, 2008). Ketahanan pangan nasional
harus dipahami dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses, serta
konsumsi. Ketiga aspek tersebut saling terkait, tidak hanya cukup meningkatkan produksi
pangan saja, serta memerlukan upaya pengawalan yang harus dilakukan secara terus
menerus (Bappenas, 2011).
Suatu negara yang telah
merdeka dan berdaulat memiliki dasar negara yang dijadikan pandangan hidup dalam
mengatur ketatanegaraan. Negara yang memiliki pandangan hidup yang jelas
berarti telah memiliki pegangan dan pedoman dalam memecahkan masalah politik,
ekonomi, sosial, dan budaya yang timbul dalam kehidupan masyarakatnya. Pada
suatu pandangan hidup, terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang
dicita-citakan oleh suatu bangsa dan pikiran yang terdalam serta gagasan suatu
bangsa mengenai kehidupan pada setiap zamannya. Pandangan hidup merupakan suatu
kristalisasi nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang
diyakini kebenarannya sehingga menimbulkan tekad pada bangsa tersebut untuk
mewujudkannya. Pandangan hidup dapat pula dijadikan dasar negara yang menjadi
sumber hukum dalam perundangan negara.
Ketika
menentukan dasar negara, faktor yang pada umumnya diperhatikan adalah dasar
negara berisikan tentang fundamen yang kokoh dan kuat serta bersumber dari
pandangan hidup dan falsafah bangsa, sehingga dapat diterima oleh semua lapisan
masyarakat. Falsafah bangsa memiliki pengertian yang berbeda dengan pandangan
hidup yakni merupakan cerminan dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi, dan
kepribadian yang berurat dan berakar dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan
bangsa tersebut.
1.1 Konstitusi
2.2.1 Pengertian Konstitusi
Istilah
konstitusi sudah dikenal sejak zaman Yunani yang diartikan secara materil dan
belum tercantum dalam suatu naskah tertulis. Ketika itu, Aristoteles membedakan
istilah “Politea” dan “Nomoi”. Politea
diartikan sebagai konstitusi, sedangkan Nomoi diartikan sebagai undang-undang
biasa. Di antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politea
mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan nomoi, maksudnya adalah
politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan nomoi hanya merupakan materi yang
harus dibentuk.
Istilah
konstitusi secara literal berasal dari istilah dalam bahasa Prancis yaitu constituer yang memiliki arti
“membentuk”. Penggunaan istilah konstitusi secara ketatanegaraan memiliki arti
pembentukan suatu negara atau menyususn dan menyatakana suatau negara.
Sedangkan dalam bahasa Belanda, istilah konstitusi dikenal dengan istilah gronwet yang berarti undang-undang
dasar. Pengertian konstitusi dalam prakteknya tidak dapat dirumuskan secara
pasti karena para ahli telah merumuskannya dengan pandangan masing-masing.
Menurut Herman Heller ( dalam Aspirasi: 2011) membagi pengertian konstitusi
menjadi tiga yakni konstitusi yang bersifat politik sosiologis, konstitusi
bersifat yuridis, dan bersifat politis. Pada konstitusi yang bersifat politik
sosiologis, konstitusi mencerminkan kehidupan politik masyarakat, sedangkan
pada konstitusi yang bersifat yuridis dimaksudkan dengan konstitusi yang
merupakan kesatuan kaidah yang hidup didalam suatu masyarakat dan konstitusi
yang bersifat politis merupakan konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah
sebagai undang-undang.
2.2.2 Kedudukan konstitusi
Kedudukan
konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan pada suatu negara sangat berpengaruh
karena dapat menjadi ukuran kehidupan dalam bernegara dan berbangsa. Konstitusi
memegang peranan penting untuk mengetahui aturan-aturan pokok yang ditujukan
kepada penyelenggara negara maupun masyarakat dalam ketatanegaraan. Kedudukan
konstitusi dapat berupa sebagai hukum dasar maupun sebagi hukum tertulis.
Kedudukan
konstitusi sebagai hukum dasar yaitu memuat aturan-aturan pokok mengenai
penyelenggaraan negara. Dalam hal ini konstitusi berada dalam pengertian arti
luas yang merupakan suatau keseluruhan aturan dan ketentuan dasar (hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis) mengenai suatu pemerintahan yang
diselenggarakan dalam suatu negara. Kedudukan konstitusi sebagai hukum
tertinggi yaitu memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap
peraturan-peraturan yang lain dalam tata hukum dalam suatau negara. Pernyataan
ini dimaksudkan dengan aturan-aturan dibawah konstitusi tidak bertentangan dan
harus sesuai dengan aturan yang terdapat pada konstitusi.
2.2.3 Macam-macam, unsur, dan sifat konstitusi
Konstitusi
dapat dibedakan menjadi konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis.
Konstitusi tertulis yaitu suatu naskah yang menjabarkan tentang kerangka dan
tugas pokok dari badan-badan pemerintahan. Pada konstitusi tertulis ini
mengandung pula tentang cara kerja dari badan-badan pemerintah yang dituangkan
dalam bentuk undang-undang dasar. Konstitusi tidak tertulis merupakan suatu
aturan yang tidak tertulis yang ada dan dipelihara dalam praktek
penyelenggaraan suatu negara. Pada umumnya konstitusi tidak tertulis ini
dikenal dengan sebutan konvensi.
Konstitusi
dibuat berdasarkan pemikiran-pemikiran dan hasil kesepakatan badan-badan
pemerintahan yang harus memuat tiga unsur penting. Unsur-unsur tersebut adalah
konstitusi sebagai perwujudan kontak sosial yang merupakan perjanjian dari
kesepakatan antara warga negara dengan pemerintah, konstitusi sebagai penjamin
hak asasi manusia yang merupakan penentu hak dan kewajiban warga negara dan
badan pemerintahan, serta unsur yang terakhir harus memuat konstitusi sebagai
forma regiments yaitu kerangka pembangunan pemerintah.
Menurut
pendapat C.F Strong (dalam Miriam Budiardjo:1985), sifat konstitusi dapat
dibedakan menjadi dua yaitu konstitusi rigit dan flexible. Konstitusi yang
bersifat kaku (rigid) merupakan konstitusi yanga hanya dapat diubah melalui
prosedur yang berbeda dengan prosedur membuat undang-undang dalam negara yanag
bersangkutan. Konstitusi yang bersifat supel (flexible) merupakan konstitusi
yang dapat diubah melalui prosedur yang sama dengan prosedur prmbuat
undang-undang pada negara yang bersangkutan.
2.2.4 Tujuan konstitusi, dan isi konstitusi
Pada
umumnya konstitusi memiliki tujuan untuk membatasi kekuasaan penyelenggaraan
negara supaya tidak dapat berbuat sewenang-wenang serta dapat menjamin hak
warga negaranya. Tujuan konstitusi tersebut merupakan suatu gagasan yang
memenadang penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu kumpulan kegiatan yang
diselenggarakan atas nama rakyat.
Konstitusi
Negara Indonesia pada umumnya memuat beberapa hal diantaranya adalah gagasan
politik, moral, keagamaan, dan perjuangan bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD
Republik Indonesia 1945, ketentuan organisasi negara yang memuat mengenai
kekuatan pembagian kekuasaan badan legislative, eksekutif, dan yudikatif.
Konstitusi dapat pula memuat ketentuan
hak asasi manusia serta aturan-aturan menjamin dan melindungi hak asasi manusia
sebagai warga negara, konstitusi dapat pula memuat ketentuan prosedur mengubah
undang-undang dasar dan memuat aturan mengenai prosedur dalam mengubah
konstitusi negara yang bersangkutan
2.2 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
2.2.1 Isi dan Kedudukan UUD 1945
UUD
1945 merupakan keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan UUD 1945 yang
terdapat dalam empat alinea, Batang Tubuh UUD 1945 yang memuat aturan dan ketentuan pokok yang terdiri dari 16 bab,
73 pasal, 3 pasal aturan peralihan, dan 2 pasal aturan tambahan. UUD 1945
memuat pula tentang Penjelasan UUD 1945 yang terdiri dari penjelasan umum dan
penjelasan pasal demi pasal.
Kedudukan
UUD 1945 memiliki kekuatan yang mengikat terhadap pemerintah, lembaga
kemasyarakatan, warga Negara Indonesia, dan penduduk. Kedudukan UUD 1945 juga
memuat tentang aturan dasar sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan hukum
tertinggi yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan
urutan perundang-undangan di Indonesia terdiri dari UUD 1945, UU/Perpu,
peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah. UUD 1945 juga
memiliki kedudukan sebgai sumber hukum yang menyatakan bahwa semua peraturan
perundangan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentengan dengan UUD 1945.
2.2.2 Makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
Pembukaan
UUD 1945 memiliki tempat yang sangat fundamental dalam UUD 1945 karena
Pembukaan UUD 1945 memuat tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Setiap alinea
dalam pembukaaan UUD 1945 memiliki pengertian berbeda, yang pada prinsipnya
menggambarkan cita-cita dan tujuan terbentuknya Negara Indonesia. Pada Alinea
pertama yang berbunyi “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” mengandung
beberapa pengertian. Pada alinea pertama terdapat pengakuan bahwa bangsa
Indonesia menjunjung tinggi hak kodrat setiap bangsa untuk merdeka, pada alinea
ini terdapat pula pernyataan bahawa bangsa Indonesia tidak menyetujuai adanya
penjajahan diatas dunia karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
keadilan. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 mengandung pengertian bahwa bangsa
Indonesia siap membantu bangsa lain untuk merdeka, hal ini didukung oleh
pernyataan bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk melepaskan diri dari
penjajahan.
Alinea
kedua Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Dan Perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemedekaannya. Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” Pada alinea
kedua dapat diartikan kedalam beberapa makna di antaranya adalah bahwa
perjuangan bangsa Indonesia telah sampai pada saat yang tepat yaitu
Kemerdekaan. Pada alinea ini mengandung makna bahwa kemerdekaan bukan merupakan
akhir perjuangan bangsa Indonesia, melainkan hanya merupakan suatu jembatan
untuk menuju terwujudnya cita-cita bangsa yaitu masyarakat yang adil dan
makmur. Selain itu, pada alinea kedua dapat pula diartikan bahwa bangsa
Indonesia menghargai dan menghormati jasa para pahlawan yang telah mengantarkan
bangsa Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan.
Alinea
ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”. Pada
Alinea ketiga ini, mengandung makana bahwa Indonesia mengakuai adanya pengakuan
religius dalam memperoleh kemerdekaan yang merupakan berkat dan rahmat Allah
yang Maha Kuasa, dan kemerdekaan Indonesia di motivasi oleh keinginan luhur
untuk menciptakan suatu bangsa yang bebes dari penjajahan dan penderitaan. Pada
alinea ini mengandung makna adanya pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Kemudian daripada itu, untuk membentuk
suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disususnlah
kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatau susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pada alinea
keempat ini mengandung bebrapa makna yaitu terdapatnya keinginan untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
terdapatnya keinginan untuk memejukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan
kehidupan bangsa. Selain itu pada alinea ini mengandung makna bahwa bangsa
Indonesia ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan
perdamaian abadi serta mengakui adanya dasar negara yaitu pancasila.
2.2.3 Pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Pokok-pokok
pemikiran Pembukaan UUD 1945 meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara
Indonesia. Pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita yang menguasai hukum dasar
negara secara tertulis (undang-undang) dan berupa hukum dasar nrgara tidak
tertulis (konvensi). Pokok-pokok pikiran
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pokok
pikiran I
Pada
Pembukaan UUD 1945 alinea 4 berbunyi “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia.” Kalimat
tersebut mengandung pengertian bahwa negara mengatasi segala paham golongan dan
perseorangan dan menghendaki persatuan yang meliputi segenap bangsa Indonesia.
b.
Pokok pikiran II
Negara
hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan
menjadikannya merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Negara berkewajiban
untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat.
c.
Pokok pikiran III
Pokok
pikiran yang ketiga terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang
berbunyi “berkedaulatan permusyawaratan/perwakilan”. Pada pokok pikiran ini
mengandung arti bahwa system negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar
harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan berdasarkan atas permusyawaratan/perwakilan.
d.
Pokok pikiran IV
Pokok
pikiran yang keempat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea empat yang
berbunyi “Berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Pada pokok pikiran ini undang-undang dasar harus mengandung isi yang
mewajibkan budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur.
2.3 Kebijakan pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan dengan target swasembada beras
Ketahanan pangan
merupakan prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) tahap II 2010-2014. Adapun kebijakan Kementerian Pertanian tahun
2010-2014 berkaitan dengan pembangunan ketahanan pangan yaitu :
1.
Melanjutkan
dan memantapkan kegiatan tahun sebelumnya yang terbukti sangat baik kinerja dan
hasilnya, antara lain bantuan benih/bibit unggul, subsidi pupuk, alsintan,
Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT);
2.
Melanjutkan
dan memperkuat kegiatan yang berorientasi pemberdayaan masyarakat seperti Pengembangan Usaha
Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3),
Sarjana Membangun Desa (SMD) dan Penggerak Membangun Desa (PMD), dan rekrutmen
tenaga pendamping lapang guna mempercepat pertumbuhan industri pertanian di
perdesaan;
3.
Pemantapan swasembada beras melalui peningkatan
produksi yang berkelanjutan;
4.
Pencapaian
swasembada kedelai, daging sapi, dan gula industri;
5.
Peningkatan
produksi susu segar, buah lokal, dan produk-produk substitusi komoditas impor;
6.
Peningkatan
kualitas dan kuantitas public goods melalui perbaikan dan pengembangan
infrastruktur pertanian seperti irigasi, embung, jalan desa, dan jalan
usahatani;
7.
Jaminan
penguasaan lahan produktif;
8.
Pembangunan
sentra-sentra pupuk organik berbasis kelompok tani;
9.
Penguatan
kelembagaan perbenihan dan perbibitan nasional;
10.
Pemberdayaan
masyarakat petani miskin melalui bantuan sarana, pelatihan, dan pendampingan;
11.
Penguatan
akses petani terhadap iptek, pasar, dan permodalan bunga rendah;
12.
Mendorong
minat investasi pertanian dan kemitraan usaha melalui promosi yang intensif dan
dukungan iklim usaha yang kondusif;
13.
Pembangunan
kawasan komoditas unggulan terpadu secara vertikal dan/atau horizontal dengan
konsolidasi usahatani produktif berbasis lembaga ekonomi masyarakat yang
berdaya saing tinggi di pasar lokal maupun internasional;
14.
Pengembangan
bio-energi berbasis bahan baku lokal terbarukan untuk memenuhi kebutuhan
energi masyarakat khususnya di perdesaan dan mensubstitusi BBM;
15.
Pengembangan
diversifikasi pangan dan pembangunan lumbung pangan masyarakat untuk mengatasi
rawan pangan dan stabilisasi harga di sentra produksi;
16.
Peningkatan
keseimbangan ekosistem dan pengendalian hama penyakit tumbuhan dan hewan secara
terpadu;
17.
Penguatan
sistem perkarantinaan pertanian;
18.
Penelitian
dan pengembangan berbasis sumberdaya spesifik lokasi (kearifan lokal) dan
sesuai agro-ekosistem setempat dengan teknologi unggul yang berorientasi
kebutuhan petani;
19.
Pengembangan
industri hilir pertanian di perdesaan yang berbasis kelompok tani untuk
meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, membuka lapangan
kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan keseimbangan ekonomi desa-kota;
20.
Berperan
aktif dalam melahirkan kebijakan makro yang berpihak kepada petani seperti
perlindungan tarif dan non tarif perdagangan internasional, penetapan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP), dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi;
21.
Peningkatan
promosi citra petani dan pertanian guna menumbuhkan minat generasi muda menjadi
wirausahawan agribisnis;
22.
Peningkatan
dan penerapan manajemen pembangunan pertanian yang akuntabel dan good
governance.
Ketahanan pangan
nasional selama ini dicapai melalui kebijaksanaan swasembada pangan dan
stabilitas harga. Oleh sebab itu pemantapan swasembada beras merupakan salah
satu fokus dalan terwujudnya ketahanan pangan. Hal ini dalam rangka mewujudkan
Visi, Misi dan Tujuan dari Kementrian Pertanian yang terdapat dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor: 15/Permentan/Rc.110/1/2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian
Pertanian 2010-2014.
Adapun kebijakan
Kementrian Pertanian yang terkait penetapan target pelaksanaan swasembada beras
sebagai penunjang terwujudnya swasembada beras adalah:
a. Mewujudkan sistem
pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan sumberdaya lokal,
serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem agribisnis.
b. Menciptakan keseimbangan
ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan produksi dan
produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan.
c. Menjadikan petani yang
kreatif, inovatif, dan mandiri serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya
lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi.
2.3 Hubungan antara konstitusi dan pembukaan UUD dengan swasembada beras
Ketahanan pangan
merupakan salah satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara,
baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab itu, ketahanan
pangan merupakan program utama dalam pembangunan pertanian saat ini dan masa
mendatang. Definisi ketahanan pangan menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan, pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa “Ketahanan Pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Salah
satu target yang akan dicapai Kementrian Pertanian dalam rangka mewujudkan
ketahanan pangan adalah dengan melakukan swasembada beras. Dapat dikatakan
ketahanan pangan merupakan konsentrasi untuk mewujudkan akses setiap individu
untuk memperoleh pangan yang bergizi. Dalam ketahanan pangan terdapat 3 (tiga)
komponen penting pembentukan ketahanan pangan yaitu: produksi dan ketersediaan
pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan[2].
Indonesia merupakan
negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Komoditi
beras memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia
dipandang dari aspek ekonomi, tenaga kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya
dan politik. Masalah beras bukan hal yang sederhana dan sangat sensitif
sehingga penangannya harus dilakukan secara hati-hati. Kesalahan yang dilakukan
dalam kebijaksanaan perberasan akan berdampak tidak saja pada kondisi
perberasan nasional tetapi juga pada berbagai bidang lain yang terkait. Bencana
alam dan bencana sosial yang tidak dapat diprediksi ada di setiap tahun. Musim
kering pada setiap tahun mengakibatkan sebagian masyarakat mengalami rawan
pangan. Mereka butuh bantuan pangan (terutama beras). Pangan tersebut tersedia,
namun akibat bencana tersebut, mereka tidak mampu memperolehnya, sebab tidak
memiliki dana untuk membelinya. Ada masa panen dan masa paceklik dalam produksi
ini.
Produksi padi sampai 1
Juli 2011 diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering giling (GKG) (atau
setara 39,2 juta ton beras dengan laju konversi 0,57). Konsumsi beras 139,15 kg
per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya
33 juta ton, sehingga ”selisih” produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton.[3]
Dengan adanya masalah ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor
beras pada tahun 1983. Di samping itu, harga beras impor cenderung menurun
dengan pelepasan stok yang cukup besar dari negara-negara produsen. Kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah ini membuat segelintir orang memanfaatkan
kesempatan ini. Dengan lemahnya pengawasan terhadap impor, terjadi pemasukan
impor beras ilegal yang tidak terkendali dengan harga yang lebih murah
dibanding HDPP (Harga Dasar Pembelian Pemerintah). Rendahnya harga beras di
pasar dalam negeri dan terbatasnya kemampuan BULOG untuk menyerap kelebihan
pasar (marketed surplus) mengakibatkan
petani tidak lagi menikmati besarnya pendapatan yang sejalan dengan kenaikan
harga-harga input produksinya. Secara tidak langsung, kebijakan pemerintah
mengenai impor produk holtikultura, termasuk beras di dalamnya, tidak relevan
dengan pembukaan UUD 1945 alinea 1-3 mengenai Kemerdekaan Indonesia. Memang
secara hukum, Indonesia telah menjadi negara berdaulat sejak dibacakannya
naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno. Namun apabila
dipandang dari sisi lain, Indonesia sebenarnya masih terjajah. Salah satunya
pada sektor pertanian. Indonesia merupakan negara agraris dengan tanahnya yang
subur serta sumber daya alam yang melimpah namun kurangnya lahan akibat
pembangunan perumahan ataupun gedung-gedung pencakar langit oleh investor asing
menyebabkan Indonesia kekurangan pasokan holtikultura. Selain itu, hal ini
disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia untuk mengolah sumber daya alam
yang melimpah tersebut. Hal ini dapat berpengaruh terhadap ketahanan pangan di
Indonesia. Lahan sawah mempunyai arti yang terpenting dalam menentukan ketahan
pangan nasional. Ketahanan pangan meliputi aspek ketersediaan bahan pangan,
aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan, dan keamanan pangan (food safety).
Oleh karena itu,
pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai peraturan impor produk holtikultura
yang tertuang di dalam Peraturan Kementrian Pertanian No 60 Tahun 2012 dan peraturan
mengenai ketentuan angka pengenal impor yang tertuang di dalam Peraturan
Kementrian Perdagangan No. 27 Tahun 2012, salah satu di dalamnya tercantum
peraturan pembatasan produk impor untuk menjaga keseimbangan pangan lokal di
Indonesia. Berdasarkan hubungan konstitusi yang mengatur mengenai ketahanan
pangan di Indonesia dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat
yang mengandung beberapa makna yaitu terdapatnya keinginan untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan terdapatnya
keinginan untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan
bangsa, maka pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pertanian mengeluarkan
kebijakan mengenai swasembada beras yang telah dimulai tahun 1979.
Kesejahteraan
umum salah satunya ditandai dengan tercukupinya kebutuhan pangan suatu bangsa.
Dengan demikian isi pembukaan Undang-undang Dasar alinea keempat secara tidak
langsung menegaskan bahwa perlu dilakukanya upaya-upaya membangun ketahanan
pangan agar kesejahteraan umum dapat tercapai. Dalam
kehidupan manusia yang layak harus terpenuhi kebutuhan primer yaitu sandang,
pangan, dan papan agar dapat berupaya untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan
yang lainnya. Kebutuhan akan pangan bagi masyarakat sampai saat ini dikatakan
belum terpenuhi secara merata, demikian juga papan sehingga upaya pemerintah
untuk mencukupi kebutuhan pangan ditempuh dengan berbagai cara. Dari
pernyataan umum yang terdapat pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu
untuk mensejahterakan umum maka dibentuklah suatu kebijakan pemerintah yang
mengatur urusan pangan. Salah satu peraturan mengatur mengenai ketahanan
pangan, yaitu Peraturan Pemerintah No.
68 Tahun 2002. Peraturan tersebut sebagian besar berisi mengenai upaya-upaya
yang dilakukan untuk membangun ketahanan pangan di Indonesia. Kebijakan
pemerintah tentang pangan tentunya dimaksudkan untuk menyokong dan membangun
ketahanan pangan bangsa yang berperan dalam program peningkatan ketahanan
pangan nasional.
Langkah pembangunan ketahanan pangan dapat ditempuh
melalui memasyarakatkan program diversifikasi pangan baik horizontal maupun
vertikal. Untuk itu pemetaan wilayah sebaran dan wilayah program pengembangan
sumber pangan lokal di Indonesia perlu mendapat perhatian pemerintah.
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012
Pasal 14 Ayat (1) menegaskan bahwa Sumber penyediaan pangan berasal dari
produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Undang undang
tersebut secara tidak langsung menargetkan bahwa Indonesia harus bisa memenuhi
kebutuhan panganya sendiri. Untuk mendukung berhasilnya program ketahanan
pangan diantaranya ditempuh dengan swasembada karena selama ini ketahanan
nasional dicapai melalui kebijakan program swasembada pangan dan stabilisasi
harga. Swasembada pangan merupakan target utama kementrian Pertanian dalam
rangka mewujudkan Ketahanan Pangan. Seperti yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Pertanian No. 15/Permentan/Rc.110/1/2010 selama lima tahun ke depan
(2010-2014), dalam membangun pertanian di Indonesia, Kementerian Pertanian
mencanangkan 4 (empat) target utama, yaitu: (1) Pencapaian Swasembada dan
Swasembada Berkelanjutan. (2) Peningkatan
Diversifikasi Pangan. (3) Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor. (4)
peningkatan Kesejahteraan Petani.
Swasembada
ditargetkan pada komoditas pertanian yang dianggap sebagai pangan pokok seperti
beras. Alasan mengapa beras menjadi objek swasembada adalah karena beras merupakan
bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh 98% penduduk Indonesia. Selain itu,
Beras mempunyai peran yang strategis dalam memantapkan ketahanan pangan,
ekonomi dan politik nasional. Swasembada beras sebelumnya ditetapkan pada
periode tahun 2005-2009 dari hasil swasembada didaptkan hasil yang positif
berupa peningkatan produksi beras tiap tahunya. Melihat keberhasilan yang
dicapai untuk itu akan diberlakukan lagi swasembada lanjutan dengan komoditas
yang masih sama dengan periode tahun 2010-2014. Sasaran produksi beras yang
ingin dicapai pemerintah pada 2014 ditargetkan sebesar 75,70 juta ton gabah
kering giling (GKG) dan jagung 29 juta ton pipilan kering atau masing-masing
tumbuh 3,22 persen per tahun (padi). Target yang ingin dicapai didasarkan pada
pertumbuhan penduduk nasional, permintaan bahan baku industri, kebutuhan stok
nasional dan peluang ekspor.
Dalam
mewujudkan program swasembada beras perlu adanya integrasi dari berbagai pihak
terkait peningkatan produksi beras. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai
penyedia fasilitas untuk mendukung petani dalam menghasilkan beras yang cukup
melalui kebijakan kebijakan yang telah diatur oleh pemerintah. Bentuk dukungan
pemerintah dalam mensukseskan swasembada tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No.
15/Permentan/Rc.110/1/2010 yakni (1) Penyediaan pupuk (subsidi dan
non-subsidi): urea 35,15 juta ton, SP-36 22,23 juta ton, ZA 6,29 juta ton, KCL
13,18 juta ton, NPK 45,99 juta, dan organik 53,09 ton. (2) Subsidi: pupuk,
benih/bibit dan kredit/bunga. (3)Perluasan lahan baru-baru 2 juta ha untuk
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, hijauan makanan ternak dan padang
penggebalaan. (4) Investasi pemerintah dan swasta di bidang pertanian.
Kebijakan-kebijakan
pangan yang telah diatur pemerintah tak lain adalah untuk mensejahterakan
kehidupan bangsa Indonesia melalui salah satunya tercukupinya pangan. Jadi
dengan demikian upaya upaya pemerintah dalam membangun ketahanan pangan, kebijakan-kebijakan
tentang pangan yang telah dibuat merupakan wujud implementasi dari Pembukaan
UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah dipaparkan di dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat
keterkaitan yang sangat erat antara pembukaan UUD 1945 dan konstitusi dalam
rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional di Indonesia. Pembukaan UUD 1945
merupakan penggambaran jiwa masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi
Ketuhanan yang maha Esa, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan dalam
bermusyawarah serta keadilan.
Ketahanan
pangan nasional berhubungan erat dengan pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-1
sampai ke-3 yang memiliki makna kemerdekaan. Indonesia ingin mencapai
kemerdekaan seutuhnya, salah satunya melalui swasembada beras dengan membatasi
seminimal mungkin impor beras dari luar negeri. Dengan melakukan swasembada
beras yang mengacu pada Undang-undang dan Peraturan Pemerintah ini dapat
meningkatkan ketahanan pangan yang berdampak pada ketahanan sosial, politik,
dan ekonomi Indonesia sehingga dapat menyejahterakan rakyat Indonesia seperti
yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang memiliki makna
kesejahteraan.
3.2 Saran
Sebaiknya
pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan dalam membangun ketahanan pangan
dengan berprinsip pada UUD 1945 yang tersirat di dalam pembukaan UUD 1945. Gerakan
ketahanan pangan yang sesuai dengan keinginan dan kondisi masyarakat Indonesia akan
tercipta dengan menjalankan amanat dan tujuan yang ada di dalam pembukaan UUD
1945. Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
membatasi beras impor untuk membantu meningkatkan produksi beras lokal sehingga
para petani akan lebih sejahtera. Hal ini sebagai bentuk untuk menjalankan
prinsip dan tujuan yang ada di dalam pembukaan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Perencanaan Dan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2011. Penjelasan Tentang
Ketahanan Pangan. www.bappenas.go.id [22 Februari 2013]
Hargiyono,
M. 2011. Mewujudkan Ketahanan Pangan Dengan Bertani Padi.
http://www.foxitsoftware.com [22 Februari 2013]
Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi
Beras Nasional dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim.
Kusumaningrum,
R. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar PembelianPemerintah Terhadap Penawaran
Dan Permintaan Beras di Indonesia. http://riakusumaningrum.staff.ipb.ac.id [22
Februari 2013]
Pardede,
E. 2009. Ketidaktahanan Pangan Akibat Perubahan Iklim. http://www.hariansumutpos.com
[23 Februari 2013]
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2001 Tentang Ketahanan Pangan.
PIBC.
2011. http://bkp.deptan.go.id [22 Februari 2013]
SEAFAST.
2010. Ketahanan pangan dan perspektif kebijakannya. http://seafast.ipb.ac.id [23
Februari 2013]
Survei
Sosial Ekonomi Nasional. 2009. http://www.bps.go.id [22 Februari 2013]
Tambunan,
T. 2008. Ketahanan pangan di indonesia mengidentifikasi beberapa penyebab. www.kadin-indonesia.or.id
[23 Februari 2013]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996
Tentang Pangan.
TANYA
Kebijakan pemerintah yang mana saja dan bagaimana kebijakannya
yg bisa dikategorikan berlandaskan konstitusi dan pembukaan dlm pencapaian
swasembada.
RPJMD
Perda Provinsi/Kab/Kota
1.
Sonya kel 5:
bagimana menciptakan swasembada berdasarkan konstitusi keterkaitan kebijakan yg
dilakukan pemerintah
2.
Reko kel 7: bagaimana
indonesia bsa swasembada beras dibarengi tekhnologi pdahal lahan skrg terbatas
3.
Ardam kel 11: apa
yg dilakukan pemerintah yg konkrit mendukung swasembada beras
4.
Langgeng kel 9:
upaya atau tinjauan apa yg sudah dilakukan pemerintah terhadap buruh tani?
Upaya apa yg dilakukan pemerintah dlm melakukan swasembada?
5.
Galih kel 2: apa
masih ada penyuluhan mengenai swasembada beras? Kalau jd pemerintah ada saran
masukan lain dlm penyelesaian swasembada?
6.
Nissa kel 6:
mengapa indonesia belum pernah mencapai swasembada beras seperti zaman
soeharto? Apa alasannya?
Oleh:
Kelompok 8
A
/ P2
1. Ambar
Rezky Firsttianty J3E111019
2. Nurul
Ulfah Dzulfadillah J3E111046
3. Tia
Esha Nombiga J3E111073
4. Dewi
Arfika Yuliyati J3E111098
5. Galih
Wirandi J3E111130
6. Rendy
Agus Widyatmoko J3E211164
[2] Tupan,
“Wujud Ketahanan Pangan dengan Kearifan Lokal”, Bidang informasi, Pusat
dokumentasi dan Informasi Ilmiah‐Lembaga
Ilmu Pengetahuan (PDII‐LIPI),
www.pdii.lipi.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar