Minggu, 20 Oktober 2013

PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM REFORMASI AGRARIA UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi ketahanan pangan nasional hingga saat ini masih rentan. Setidaknya masih terdapat penduduk rawan pangan yang masih relatif tinggi kurang lebih 13% dari total penduduk Indonesia. Sementara produksi pangan juga masih lemah, jauh dibandingkan ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan yang masih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari impor beras yang masuk ke Indonesia sampai Oktober 2011 sudah mencapai 536.000 ton beras dari yang dikontrak 1,6 juta ton.
Secara umum permasalahan dan tantangan ketahanan pangan di Indonesia antara lain menyangkut beberapa aspek, yaitu:  aspek kertersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Termasuk dalam hal ini adalah sedikitnya lahan pertanian yang dimiliki petani (rata-rata 0,3 hektar per orang), sementara konversi lahan pertanian mencapai 50 ribu hektar per tahunnya.
Di sisi lain, rencana memperbaiki kondisi kepemilikian lahan pertanian bagi para petani dan petani penggarap masih belum terlaksana. Upaya reformasi agraria bahkan masih belum beranjak dari niatan semata. Padahal, reformasi agraria diharapkan mampu memperbaiki kondisi lahan pertanian dan meningkatkan besar lahan yang dimiliki oleh petani, sehingga pada akhirnya meningkatkan kemakmuran petani dan sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatnya jumlah produksi bahan pangan. Disinilah diharapkan penerapan nilai-nilai pancasila dalam reformasi agraria dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional dimana pancasila sebagai ideologi negara, pandangan hidup (falsafah) bangsa, dan dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV melandasi pencapaian tujuan nasional. Sebagai bangsa yang merdeka maka Indonesia memiliki tujuan nasional, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

1.2 Rumusan Masalah

a.       Bagaimana kondisi ketahanan pangan nasional saat ini?
b.      Apa tujuan dari reformasi agraria dan sejauh mana pelaksanaan reformasi agraria dijalankan?
c.       Nilai-nilai Pancasila yang seperti apakah yang dapat diimplementasikan dalam reformasi agraria agar dapat meningkatkan ketahanan pangan?

1.3 Tujuan

Membahas tentang implementasi nilai-nilai pancasila dalam reformasi agraria guna meningkatkan ketahanan pangan

BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia

Kondisi ketahanan pangan Indonesia hingga saat ini masih rentan. Setidaknya masih terdapat penduduk yang rawan pangan masih relatif tinggi  ±13% dari total penduduk  Indonesia. Sementara produksi pangan juga masih lemah, misalnya beras. Indonesia masih  bergantung  dengan negara lain dalam memproduksi beras atau mengimpor beras dari luar. Hal ini diakibatkan oleh pola konsumsi yang masih sangat mengandalkan nasi sebagai konsumsi pokok oleh masyarakat Indonesia.  Keterbatasan kepemilikan tanah  bagi para petani menyebabkan produktivitas pangan masih rendah .Disisi lain Indonesia juga menghadapi tantangan alam berupa daerah yang rawan bencana alam.
Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia, setelah udara dan air.  Oleh karenanya ketahanan pangan individu, rumah tangga, dan komunitas merupakan hak asasi manusia.  Lebih dari pada itu ketahanan pangan merupakan hak segala bangsa dan semua umat manusia.  Sehingga pangan memiliki arti yang teramat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah ditegaskan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang dirumuskannya sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta  terjangkau oleh setiap individu.
Demikian pula dengan  FAO dalam Siti Zunariyah, yang tentu berkepentingan terhadap isu ketahanan pangan (food security) dunia. Bahwa setiap orang mempunyai hak asasi untuk bebas dari kelaparan dan kakurangan gizi serta memperoleh kehidupan yang bermartabat sehingga aksesnya terhadap pangan yang diinginkan sepanjang waktu terjamin. Oleh karena itu, ketahanan pangan menyangkut ketersediaan dan keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bermutu.  Dalam hal ini terdapat aspek pasokan (supply), yang mencakup produksi dan distribusi pangan.  Disamping itu juga terdapat aspek daya beli, yang mencakup pula tingkat pendapatan individu dan rumah tangga.  Juga terdapat aspek aksesibilitas setiap orang terhadap pangan, yang berarti mencakup hal yang berkaitan dengan keterbukaan dan kesempatan individu dan keluarga mendapatkan pangan[1].
 Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.  Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan. Petani adalah produsen pangan dan petani juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan.  Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Begitu juga dengan masyarakat lainnya yakni mampu dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka sehingga dapat dikatakan ketahanan pangan di Indonesia telah terpenuhi.

2.2 Reformasi Agraria

Sejak awal kemerdekaan, pemerintah berupaya merumuskan UU agraria baru untuk mengganti UU agraria kolonial. Pada 1948 pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogya. Namun, gejolak politik membuat upaya itu selalu kandas. Panitia agraria pun turut berganti-ganti: Panitia Agraria Jakarta 1952, Panitia Suwahyo 1956, dan Panitia Sunaryo 1958. Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Sunaryo, kerjasama Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada membuahkan rancangan UU agraria. Melalui perdebatan politis dan kompromi, RUU itu disetujui DPR-GR pada 24 September 1960 sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA).
Reformasi agraria bersandar pada UUPA No. 5 tahun 1960, deng[2]an istilah yang populer pada masa orde lama, land reform yaitu pembagian tanah kepada petani yang tidak mempunyai lahan untuk dimanfaatkan dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi petani. Adapun tujuan dari land reform atau reformasi agraria ini adalah untuk menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Hal ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang  merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.
Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya. Landreform dalam pengertian luas akhirnya dapat disamakan dengan “agrarian reform” (reforma agraria), yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi reforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus2.
Selain itu land reform juga digunakan untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan. Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut, kemudian secara langsung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.       .
Hambatan utama pelaksanaan land reform adalah lemahnya kemauan politik pemerintah pada masa orde baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu untuk terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera disuatu negara harus memperhatikan beberapa hal pokok yaitu sumber daya manusia sebagai anggota masyarakat yang akan mengelola sumber daya alam (bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya) yang disebut agraria dalam arti luas serta hubungan manusia dengan sumber-sumber daya alam termasuk didalamnya mewujudkan keadilan dalam mendapatkan kesempatan untuk memperoleh manfaat dari agraria tersebut, bukannya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata.
Sumber daya manusia disuatu negara umumnya sebanding dengan kemajuan negara tersebut, apa lagi bila ditunjang oleh sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh negara itu yang didistribusikan secara adil dan merata. Sebaliknya faktor-faktor tersebut justru akan menimbulkan masalah bila pemerataan pemilikan dan penguasaannya tidak diperhatikan dan tidak ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
             Upaya reformasi agraria ini belum terlaksana dengan baik meskipun pemerintahan Soekarno telah mengeluarkan kebijakan reformasi agraria yang tercakup dalam UU Pokok Agraria (UUPA) No.5 tahun 1960 yakni produk hukum perundang-undangan yang paling berpihak pada kaum tani miskin, karena UUPA tersebut mereformasi ketimpangan penguasaan tanah menuju kearah kemakmuran yang berkeadilan. UUPA No.5 tahun 1960 ini diberlakukan  untuk melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda, warisan kolonial penguasaan struktur tanah yang timpang (“Agrarische Wet”  dalam Staatsblad 1870 No.55) yakni adanya tanah partikelir.
Tanah partikelir merupakan tanah yang oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), yakni berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara, padahal hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara. Reformasi agraria hingga saat ini dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya, hal ini terlihat dari ketimpangan kepemilikan lahan antara petani dan pengusaha sangat mencolok. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penggunaan lahan untuk sawah hanya mencapai 7,89 juta hektar, jauh di bawah perkebunan negara dan swasta seluas 18,49 juta hektar.
Derasnya laju alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian dapat menyebabkan krisis produk pangan. Oleh karena itu, pemerintah harus memberi batasan pengusaan lahan untuk perusahaan agar tidak terjadi ketimpangan struktur kepemilikan lahan antara petani dan pengusaha. Jadi reformasi agraria perlu dilaksanakan bukan hanya sebuah rencana belaka.
Reformasi agraria ini diharapkan mampu memperbaiki kondisi lahan pertanian dan meningkatkan besar lahan yang dimiliki oleh petani karena petani adalah tulang punggung produksi pangan nasional, sehingga pada akhirnya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan pelaksanaan dari reformasi agraria ini tentunya harus didukung oleh semua elemen masyarakat, mulai dari pemerintahan pusat sampai daerah. Masing-masing individu juga harus mempunyai rasa tanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan reformasi agraria.

2.3  Penerapan Nilai Pancasila dalam Reformasi Agraria

            Dengan adanya reformasi agraria ini diharapkan mampu meluruskan kembali tujuan pokok dan utama yang tercantum pada Undang Undang Pokok Agraria sehingga berbagai konflik mengenai masalah agraria dapat segera terselesaikan dengan baik. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan nilai-nilai dasar Pancasila untuk menyusun agenda ini menjadi agenda yang berpihak pada masyarakat, falsafah dasar dan tujuan nasional NKRI. Penerapan Nilai Pancasila dalam Reformasi Agraria dapat menjadi salah satu alasan yang jelas dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia khususnya untuk petani dan masyarakat.

2.3.1 Penerapan Sila Ketuhanan yang Maha Esa

Secara kultural nilai-nilai Pancasila harus tertanam dalam watak, kepribadian dan perilaku masyarakat. Nilai-nilai dasar Pancasila menjadi inti dambaan yang memberikan makna hidup, tuntutan, tujuan hidup yang merupakan ukuran dasar seluruh perikehidupan bangsa. Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa, sebagai inti semangat bersama Pancasila berisi 5 asas moral yang relevan bagi dasar negara RI. Berbagai pandangan hidup Pancasila masih banyak menghadapi kendala dalam implementasinya. Sila-sila Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman dalam sikap dan perilaku warga negara Indonesia ternyata banyak yang berbias bahkan ditinggalkan dari watak, kepribadian, dan perilaku masyarakat.
Rumusan permasalahan yang diperlukan adalah bagaimanakah mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dapat meningkatkan ketahanan pangan rakyat dalam rangka ketahanan nasional. Keseluruhan makna Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa tergambar dari sila-sila dalam Pancasila. Pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yaitu masing-masing warga meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan tujuan akhir, baik dalam hati, kata-kata dan tingkah laku sehari-hari. Pancasila membuat umat beragama dan kepercayaan untuk hidup rukun, walaupun berbeda-beda keyakinan. Pada sila pertama ini, Pancasila menuntut umat beragama dan berkepercayaan untuk hidup rukun walaupun berbeda-beda keyakinannya.
Begitu juga dalam meningkatkan ketahanan pangan, setiap warga Negara harus saling menghargai pada norma-norma yang berlaku pada agamanya masing-masing. Misalkan, umat muslim yang diharamkan memakan daging babi berbeda dengan umat kristiani yang diperbolehkan memakan babi harus saling menghargai dan tidak boleh menjerumuskan. Sehingga tidak ada perpecahan diantara keduanya dan proses meningkatkan ketahanan pangan berjalan baik walaupun didalamnya terdapat umat beragama yang berbeda-beda.

2.3.2 Penerapan Sila kemanusiaan Yang Adill dan Beradab

Di dalam masyarakat juga harus dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam bidang Agraria dapat meningkatkan ketahanan pangan. Yaitu nilai pengamalan yang melekat dalam meningkatkan ketahanan pangan adalah sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab).
Secara eksternal, memang harus ada ketersediaan pangan (dunia), namun secara internal juga harus kuat (kedaulatan pangan nasional). Begitu pula, nil –nilai bangsa yang berdaulat dan berkeadilan, yang kesemuanya merupakan cerminan dari landasan nilai–nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila, harus mampu mengisi dan diimplementasikan dalam setiap visi pembangunan, serta kebijakan ketahanan pangan.
Hal ini bertujuan agar arah pembangunan ketahanan pangan bukan semata konsep ideal ekonomi-politik, melainkan arah tersebut harus mengandung nilai–nilai yang berpihak pada kepentingan nasional, melindungi rakyat untuk dapat hidup makmur dan sejahtera. Oleh karena itu, ketahanan pangan harus mampu menciptakan kedaulatan pangan yang berarti masyarakat hidup dalam suasana ketersediaan pangan.
Terwujudnya perlakuan yang adil dan beradab terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya secara kondusif dan proporsional juga terwujud dalam penyelenggaraan Reformasi Agraria. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya rasa ketidakpuasan dan kecemburuan sosial dari sebagian masyarakat  terhadap hasil reformasi agraria. Berikutnya akan tercipta suasana kesetaraan terhadap hak kewajiban, saling menghormati dan terhindar sikap semena-mena serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan individu dalam masyarakat bangsa Indonesia, sehingga proses dan hasil reformasi agraria tidak akan mengakibatkan kekacauan sosial.
Salah satu contohnya dalam pelaksanaan Reformasi Agraria adalah konsep Landreform. Landreform di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, yang bertujuan agar pembagian hasil tanah yang adil antara pemilik dan penggarap. Kemudian diterbitkan UU NO. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan UU induk landreform.
Sila kedua mengamalkan dimana masyarakat harus mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini berkaitan dengan memperlakukan petani sesuai dengan harkat dan martabatnya. Salah satu program Landreform adalah sistem redistribusi tanah dimana pengambil alihan sebagian atau seluruh tanah tuan-tuan tanah dan pembagian kembali kepada petani-petani yang tidak memiliki tanah atau petani yang mempunyai tanah yang sangat sempit; biasanya diberikan dalam bentuk ladang-ladang kecil yang dimiliki secara pribadi tetapi ada kalanya seperti Ejido di Mexico, diberikan dalam bentuk tanah kepunyaan bersama.[3]
Tujuan dari pelaksanaan redistribusi tanah di Indonesia adalah untuk lebih meningkatkan penghasilan dan taraf hidup petani sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur[4]
Dinyatakan juga bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, bahwa terdapat konsepsi dwi tunggal di dalamnya. meskipun tanah diakui dan dapat dimiliki secara perdata, tetapi ia tidak sepenuhnya menjadi hak dari para pemiliknya  dan oleh sebab itu mengandung unsur publik. Hubungan demikian tidak dalam pengertian hubungan milik, namun menempati posisi teratas yaitu pada tingkatan seluruh wilayah nusantara.
Adanya kepentingan publik tersebut dilaksanakan oleh negara berdasarkan hak menguasai sebagaimana rumusan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA. Perlu dipahami bahwa pengertian menguasai di sini berbeda dengan memiliki. Hak menguasai menempatkan negara sebagai koordinator, penyaluran dan pengelolaan sumber daya yang ada agar peruntukkannya sesuai dengan UU dan demi kepentingan rakyat. Penguasaan yang dilakukan oleh negara haruslah dilaksanakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Artinya adalah negara dengan hak menguasainya tetaplah tidak boleh sewenang-wenang mengelola tanah, air, dan seluruh kekayaan alam Indonesia terkecuali demi kepentingan rakyatnya. Negara harus meletakkan kepentingan rakyat pada level teratas dalam penguasaan dan pengelolaannya.

2.3.3 Implementasi Sila Persatuan Indonesia

Pancasila berisi seperangkat nilai yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. Nilai-nilai Pancasila tersebut termasuk dalam tingkatan nilai dasar. Nilai nilai ini terdiri dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai-nilai ini mendasari nilai lainnya yaitu nilai instrumental. Nilai dasar sekaligus mendasari semua aktifitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai dasar bersifat fundamental dan tetap. Pancasila dalam jenjang norma hukum berkedudukan sebagai norma dasar atau grundnorm daripada tertib hukum Indonesia. Sebagai norma dasar maka Pancasila mendasari dan menjadi sumber bagi pembentukan hukum serta peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pancasila menjadi sumber hukum dasar nasional yaitu sumber bagi penyusunan peraturan perundang-undangan nasional.
Secara umum makna nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam sila persatuan Indonesia adalah
  1. Mengakui dan menghormati adanya perbedaan dalam masyarakat Indonesia
  2. Menjalin kerjasama yang erat dalam wujud kebersamaan dan kegotongroyongan
  3. Kebulatan tekad bersama untuk mewujudkan persatuan bangsa
  4. Mengutamakan kepentingan bersama diatas pribadi dan golongan
Reformasi agraria diharapkan mampu memperbaiki kondisi lahan pertanian dan meningkatkan besar lahan yang dimiliki oleh petani, sehingga pada akhirnya meningkatkan kemakmuran petani dan sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatnya jumlah produksi bahan pangan. Disinilah diharapkan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam reformasi agraria dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Implementasi nilai-nilai persatuan dalam pancasila tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 pada pasal 4 ayat 1, Pasal 5, Pasal 11 ayat 1, Pasal  12 ayat 1 dan 2. Pada pasal 4 ayat 1 disebutkan “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Pada pasal 5 disebutkan “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Pada pasal 11 ayat 1 disebutkan “Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas”.
Pada pasal 12 ayat 1 disebutkan “Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya”. pada pasal 12 ayat 2 juga disebutkan “Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria”.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengimplementasikan pancasila dalam reformasi agraria, salah satunya adalah pembuatan Undang-undang  yang mampu menjembatani atau membangun relasi mutual antara hukum negara dan ‘hukum’ masyarakat adat. Penyusunan peraturan perundang-undangan yang berbasis masyarakat menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan. Jika ada salah satu sistim yang terlalu dominan, maka yang terjadi adalah peluang konflik. Masyarakat adat melihat penguasaan tanah mereka melanggar kelaziman, sedangkan hukum negara melihat perlawanan masyarakat sebagai perbuatan kriminal.
Adanya pembaruan agraria yang diartikan sebagai upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi kesejahteraan masyarakat desa. Dengan kata lain, pembaruan agraria yaitu merupakan upaya pemerintah yang bekerjasama dengan masyarakat untuk mengubah struktur penguasaan tanah, memperbaiki tata guna tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dengan memperbaiki jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam yang menyertainya.
Nilai-nilai persatuan diharapkan dapat mempersatukan kaum penguasa dan rakyat kecil sehingga kasus-kasus konflik agraria yang terjadi di ima, mesuji, pulau padang dan daerah lainnya tidak terulang lagi. Dalam sebuah media massa elektronik (berdikarionline.com) disebutkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat pada 2011 saja terjadi 163 konflik agraria diseluruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan.

2.3.4 Implementasi Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan

Secara umum dalam sila ke empat ini, jika dalam suatu masyarakat ada masalah maka harus diselesaikan dengan cara mufakat atau musyawarah.
Implementasi didalam kehidupan bermasyarakat ialah :
Ø  Menerima kritik dan saran dengan baik dan tidak marah
Ø  Melaksanakan hasil musyawarah apapun dengan penuh tanggung jawab
Ø  Apabila terjadi suatu masalah maka dipecahkan melalui musyawarah mufakat
Ø  Menghargai pendapat,ide, kritik, dan sran dari orang lain saat sedang musyawarah
Ø  Saat berpendapat tidak memaksakan kehendak
Ø  Mengemukakan pendapat saat musyawarah dimuka umum,tidak setelah musyawarah selesai
Ø  Menaati apa yang telah disepakati dalam musyawarah dan tidak menentangnya
Dalam sila keempat ini terdapat  nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (diktator mayoritas), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.
Pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat oleh masyarakat dan penentu kebijakan dalam reformasi agraria akan meningkatkan kesadaran dan semangat semua stake holder pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan, karena aspirasi masyarakat diabsorsi secara baik.
Dengan adanya prinsip musyawarah-mufakat ini diharapkan akan tumbuh juga timbul kejujuran dan kerpercayaan antar masyarakat dalam membangun ketahanan pangan dunia. Dengan adanya musyawarah-mufakat, kejujuran, dan rasa saling percaya maka masyarakat dapat menciptakan ketahanan pangan dan harus mampu menciptakan kedaulatan pangan yang berarti masyarakat hidup dalam suasana ketersediaan pangan yang tidak tergantung pada negara lain (impor).

2.3.5 Implementasi Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Secara umum nilai yang terkandung dalam sila kelima adalah kita harus berbuat adil kepada setiap masyarakat di Indonesia. Implementasinya dalam kehidupan sehari-hari ialah :
a.                   Menghargai hasil karya orang lain
b.                  Memberikan sesuatu pada orang lain sesuai haknya
c.                   Membayar pajak dengan tepat waktu
d.                  Saling meembantu pada masyarakat lain yang sedang membutuhkan
e.                   Bergotong royong saat membangun jalan dan sebagainya
f.                   Berlaku adil pada sesama masyarakat dan tidak membeda-bedakan
g.                  Masyarakat tidak bergaya hidup mewah
h.                  Bersama – sama dengan masyarakat lain memajukan daerahnya dan berusaha untuk adil dalam setiap hal.
Dalam reformasi agraria, sila ini dapat dilakukan dengan terwujudnya keadilan bagi masyarakat, khususnya petani yang selama ini tidak memiliki lahan yang cukup. Hal ini berarti pula bahwa masyarakat memperoleh jaminan dari negara untuk mendapatkan kehidupan yang layak secara ekonomi, diberikan kesempatan berusaha sehingga mampu memberikan kehidupan kepada keluarga dan tanggung jawab sosialnya serta lebih jauh, berkontribusi terhadap ketahanan pangan bangsa.
Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekeluargaan. Peran individu (pasar) diberdayakan, dengan tetap menempatkan negara dalam posisi penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial.



BAB III

 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa reformasi agraria yang diamanatkan oleh UU Pokok-pokok Agraria Tahun 1960 merupakan kewajiban yang harus diimplementasikan oleh pemerintah pusat dan daerah.

            Reformasi agraria yang dijalankan harus diamalkan dan diterapkan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang ada. Penerapan Nilai Pancasila dalam Reformasi Agraria dapat menjadi salah satu alasan yang jelas dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia khususnya untuk petani dan masyarakat.

 

3.2 Saran

Dalam meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia, pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan guna Optimalisasi perumusan instrumental dibidang pangan berlandaskan kepada nilai-nilai Pancasila, penegakan hukum dibidang pangan dan optimalisasi program-program untuk mengurangi permasalahan ketahanan pangan.
Pemerintah juga harus membenahi dan menciptakan peraturan perundang-undangan dibidang pangan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila melalui koordinasi, akselerasi, penelitian dan pengkajian, regulasi, serta pemasyarakatan perundang-undangan dan penegakan hukum yang tegas, pasti, adil dan bermamfaat bagi kemaslahatan.



DAFTAR PUSTAKA

Hermawan. 2012. Impelementasi Nilai Pancasila dalam Reformasi Agraria. http://hermawaneriadi.com [22 Februari 2013]
Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat BPN-RI. 1997. Reforma agraria Mandat politik, konstitusi dan hukum dalam rangka mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Jakarta: BPN-RI
Sukanti, Arie. 1985. Program Redistribusi Tanah di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
Zunariyah, Siti. 2011. Isu Ketahanan Pangan. http://sitizunariyah.staff.fisip.uns.ac.id
[ 23 Februari 2013]



















SAYA:
1.      Reformasi agraria yg seperti apa yg kelompok kalian sebutkan?
2.      REDISTRIBUSI LAHAN, bagaimana jika pembagian lahan pertanian tersebut jika diberikan kepemilikan kepada para petani, akan lebih banyak dampak negatifnya, yang pertama bisa semakin mengurangi jumlah lahan hijau di Indonesia, kedua memberikan keuntungan lebih kepada para pemilik modal besar karena tidak ada regulasi pengaturan nya,  

MODERATOR DARI KEL 2: SHAFIYUDDIN SHADIQIN

BERTANYA:
1.      ARDAN Kel 11: apa upaya yang dilakukan agar reformasi agraria berjalan dengan baik pemerintah dan kelompok?
2.      DESI SUGIANTI kel 6: mengenai impor beras, bagaimana agar tidak mengimpor lagi?
3.      MUTIA AFIFAH Kel 4: penerapan sila ketiga, bagaimana uu yg dibuat pemerintah tidak menyulitkan petani, sehingga bisa saling menguntungkan?
4.      MUHAMMAD FAUZAN Kel 7: ada atau tidak langkah internasional yang melandasi Indonesia dalam mewujudkan reformasi agraria

NILAI: 85


[1]  Dianto Bachriadi, Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY, Diskusi Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007.
[2]Dianto Bachriadi, Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY, Diskusi Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007.
[3] Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Rajawali Press,   1985,   hal.25
[4] BPN-RI, Reforma agraria Mandat politik, konstitusi dan hukum dalam rangka mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat” 2007, hal.19.

Oleh: 
Ayen Nita                               J3E111005
Ayu Dwi Aryanti                    J3E111011
Embun Novita Atmanegara    J3E111049
Rosi Rizki R.                           J3E111034
Dina Crownia                          J3E111087
Chitra Ayu Lestari                  J3E211151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar